8/15/2016
5/03/2016
Perjalanan Impian
X: “Kamu
suka jalan-jalan?”
Y: “Hmm..
semacem jalan-jalan ke mall? Atau naik gunung? Atau memantai? Atau hunting kuliner? Jalan-jalan yang gimana
dulu?”
X: “Kamu
sukanya yang mana?”
Y: “Sebenernya
aku gak begitu suka semuanya. Kenapa nanya-nanya begitu? Mau ngajakin jalan-jalan? Haha..”
X: “Haha...
Ya kalo udah tau kamu gak begitu suka jalan, aku ragu mau ngajaknya juga. Apa yang bikin kamu gak seneng
jalan-jalan?”
Y: (Garuk-garuk
kepala) “Nah kan, udah beda lagi aja pertanyaannya..”
X: (Masang
muka heran) “Beda lagi apanya?”
Y: “Iya,
pertama kamu tanya, suka jalan-jalan atau enggak. Yang kedua, kamu tanya kenapa
aku gak seneng jalan-jalan. Meskipun suka masih bersinonim dengan senang, tapi aku menangkapnya lain. Suka
di sini bisa jadi berarti sering,
lho..”
X: (Makin
bingung)
Y: “Nih, ya,
coba denger kalimat ini, ‘Kalo pulang kesorean suka macet, aku sebel!’ ..”
X: (Diam.
Mungkin menunggu penjelasan. Mungkin juga mulai bete.)
Y: “Tuh,
katanya suka macet, tapi jadinya sebel. Karena pengertian suka di situ adalah sering atau menunjukkan kebiasaan.”
X: “Pemikiran
kamu ribet, ya. Dasar cewek!”
Y: “Hahaha..
abisnya aku bingung pertanyaanmu itu sebenarnya suka yang macem mana?”
X: “Seneng
atau enggak? Tuh, ya, udah aku koreksi.”
Y: “Nah
gitu, dong. Haha.. Hmm, sebenarnya aku
gak begitu seneng jalan-jalan. Meski pada akhirnya
saat aku mengikutinya aku juga jadi ikutan seneng , apalagi ke tempat yang
belum pernah aku datengin dan
ternyata bagus.”
X: “Nah itu
berarti kamu seneng. Ah, dasar si ribet!”
Y: “Aku kirain
orang yang seneng jalan-jalan itu macem mereka yang sering banget ngincer tanggal libur panjang di kalender,
terus ngerencanain jalan ke manaaaa gitu.. Dan aku bukan termasuk orang kayak gitu.
Senggaknya sampai hari ini.”
X: “Oh,
hahaha.. Iya gak mesti, sih. Kadang kalo jalan-jalan yang gak direncanain
justru jadi. Dibanding
direncanain jauh-jauh hari tapi cuma berakhir sebatas wacana.”
Y: “Dan aku
termasuk orang yang hampir selalu kayak gitu. Kalo diajak jauh-jauh hari malah biasanya kutolak. Soalnya aku gak
tau kan besok lusa bakal ada hal ngedadak apa, dan siapa tau lebih penting.
X: “Hmm..
Kamu punya perjalanan impian?”
Y: “Wow...
Apa, ya? Naik Haji!” (Pasang muka sumringah)
X: “Aamiin.
Tapi maksudku, perjalan impian itu kayak... apa, ya? Hmm, misalkan mau dengan cara apa, naik apa, nanti di sana
ngapain aja.. Yang terdekat dulu, deh. Dan yang termudah ya...”
Y: “Mau
wujudin? Haha... Aneh ah, nanya-nanya beginian.”
X: “Ya ampun
cuma disuruh jawab aja susah banget yaaaa.. Ayo ceritain aja! Gampang, kan?”
Y: “Mulai
keliatan galaknya yaa. Haha.. (Mulai mikir, atau berkhayal lebih tepatnya). Sebenernya kalo kamu pengen tau,
vakansi terjauhku itu cuma sampe Jogja doang. Aku kesana waktu perpisahan sekolah. Naik bis, yang di dalemnya
temen-temen sekelas. Aku gakseneng
perjalanan jauh tuh soalnya, em... aku mabokan orangnya, haha..”
X: “Serius?
Ke Jogja doang mabok? Haha.. “
Y: “Iyaaa,
mungkin karena gak terbiasa dengan perjalanan jauh. Secara ya, lebaran aja gak pernah mudik. Kampungku kan di sini.
Haha...”
X: “Ah,
payah. Cupuuuu.. hahaha..”
Y: “Biarin!
Haha.. Kalo soal perjalanan impian, aku pengen jalan-jalan agak jauh. Kategori
jauh menurutku di sini cukup luar
Jawa Barat, hehe... Jumlah peserta yang ikut bisa 4-6 orang, lah. Biar gak bikin kubu sendiri-sendiri kayak
ramean. Gak masalah kalo aku gak kenal kesemua
personilnya, tapi seenggaknya harus ada minimal 1 orang yang aku kenal. Haha. Hm, apa lagi, ya? Oh ya, aku
pengen jalan-jalannya pake kereta. Soalnya aku belum pernah naik kereta jarak jauh. Kalo perlu yang
memakan waktu semaleman. Pengen tau aja gimana rasanya..”
X: (Manggut-manggut:
yang artinya cuma dia dan Tuhan yang tahu)
4/18/2016
The Curved Story
Senang rasanya ketika akhirnya Nala berhasil menemukanku
yang teronggok sendirian di sebuah beermart yang jauh dari rumahku ini. Wajahnya
yang tampan sengaja ditekuk untuk memberitahuku bahwa ia tak senang.
“Anak perempuan jam segini di tempat beginian,” ujarnya
dingin seraya melingkarkan sweater yang sudah disiapkannya ke badanku.
“No alkohol, sumpah,” sahutku membuntutinya. Ia berjalan
mendahuluiku. Selalu begitu kalau sedang marah.
“Kalo mau minum susu beruang kan di mini market juga banyak.”
Aku menyusul langkahnya yang panjang-panjang. “Lah siapa
yang minum susu beruang?!”
Susu beruang yang dimaksud adalah susu sapi dengan kemasan
kaleng bergambar beruang. Kulihat rahang Nala mengeras. Langkahnya terhenti. Aku
ikut berhenti.
“Terserah lu ya. Lain kali gue gak mau nyusulin lu lagi. Cukup
ini yang terakhir.” Mata elangnya membidik mata bulatku.
Aku melangkah cuek menuju mobilnya yang kulihat berjarak tak
jauh. “Coba aja. Gak bakalan tega.”
Nala membukakan pintu. Aku duduk melesakkan tubuhku hingga
terasa tak nyaman.
“Yang bener duduknya, Anak Manja!” Nala membantuku
membenarkan letak duduk.
“Iya. Andaikan gue bisa jadi anak yang bener-bener manja,”
timpalku sekenanya.
Terdengar helaan napas
panjang dari pria di sebelahku ini. “Mulai, deh..”
Sudah dua tahun aku dan Nala berhubungan dekat. Tanpa status.
Dibilang pacaran sebenarnya tidak juga. Hubungan kami tak seperti orang-orang
yang menjalin percintaan lewat pacaran. Aku sayang padanya, dan aku juga merasa
ia sayang kepadaku. Entah sebagai apa. Kami tak selalu melakukan segalanya
bersama. Nala juga tak pernah cemburu
ketika tahu aku sedang bersama lelaki lain. Begitu juga aku padanya, kecuali
pada beberapa kasus. Hmm..
Nala tahu betul siapa aku ini; bagaimana aku ini. Bagiku, ia
seperti malaikat tanpa sayap yang Tuhan hadiahkan padaku. Entah apa aku ini
baginya. Nala punya segalanya: harta yang mewah, keluarga harmonis, prestasi
cemerlang, dan yang paling berharga adalah sifatnya yang sangat peduli. Padaku!
Sangat terbalik dengan kondisiku. Hancur –sehancur-hancurnya.
Tapi ia “menerimaku” tanpa pernah mengintimidasi sedikitpun. Ada sisi dalam
diriku yang hanya bisa muncul ketika aku di dekatnya. Yang seakan membunuh pekatnya sisi kelamku di
bagian lainnya.
Aku mengecilkan volume tape. Memandang ke arah trotoar yang
basah oleh serbuan titik hujan. Dua tahun di dekatnya tak pernah membuat
jantungku berdebar di luar kebiasaan. Tapi rasa nyaman yang diciptanya selalu
sama sejak awal hingga sekarang.
“Denger, Elora. Kalo lo ada masalah jangan kabur-kaburan
lagi, lah. Kan bisa whatsapp gue. Nanti gue
anter ke mana elo mau. Bukan kayak gini caranya..”
Aku tahu Nala bicara sambil memandangku. Tapi mataku sudah
tertawan oleh pemandangan licinnya jalan berspal. “Ya gimana, Nal. Udah hobi
gue, kali.”
“Hobi yang bikin orang lain jadi susah,” komentarnya.
Aku memalingkan muka padanya. Mendaratkan pandangan pada sepasang
alis gondrong nan indah itu. “Tapi kan lo bukan orang lain.”
Ya, aku tahu aku kelewatan. Kuhitung-hitung, ini adalah kali
keenam aku bertindak begini. Empat di antaranya melibatkan Nala untuk kemudian
kurepotkan. Saat ada masalah yang tak bisa kupecahkan, aku “menyasarkan” diriku
dengan menaiki angkot yang jurusannya belum pernah kukenali sebelumnya. Turun di
mana aku mau. Lalu disambung lagi dengan angkot lain yang membawaku ke tempat yang
entah berantah. Naik bis juga pernah. Dan sialnya, aku tak pernah bisa
mengingat jalan dengan mudah. Selama masih ada uang dan baterai handphone yang
cukup, kegiatan seperti itu kemudian aku ulang-ulang.
“Nal, menurut lu, cewek kayak gue nanti bisa dapet cowok
yang bener gak ya?” tanyaku serius.
Nala terkekeh. “Kenapa? Kebelet kawin, lo? Haha.. Elora
Oriana, dua tahun gue kenal lo, baru sekarang lo mengajukan pertanyaan konyol macem
ini! Haha...”
Nala tampan saat tertawa. Berkali-kali lipat. Tapi tidak
malam ini. Karena dia menertawakan hal yang serius yang malah ia sebut konyol. Aku
memasang muka ngambek. Lalu Nala sadar dan meminta maaf. Perlahan tawanya reda,
lalu menepikan mobil ke depan sebuah ruko (mungkin?) yang sudah tutup.
Aku mengernyitkan dahi. “Kok berhenti? Di sini? Di mekdi,
kek. Di tukang soto, kek,” rengekku. Kali ini Nala yang memasang raut serius. Teduh
sekali.
“Lu kenapa?”
Aku menarik napas panjang. Lalu mulai bercerita panjang
padanya. Tentang kekhawatiranku akan masa depan. Aku yang membutuhkan sosok
yang kelak akan membimbingku menuju perbaikan. Perbaikan dalam segala hal! Banyak
hal pada diriku yang harus ditambal di sana dan sini.
“Pasti jodoh lo nanti, siapa pun itu, adalah yang Tuhan
pilihkan khusus buat lo. Cowok baik ya
untuk cewek baik. Gue yakin, Tuhan tahu mana umatnya yang bersungguh-sungguh. Ya
mungkin lo belum merasa cukup baik sekarang, tapi kalo lo emang serius
berusaha, Tuhan akan kasih lo cowok yang baik untuk melengkapi dan
menyempurnakan kekurangan lo.”
“Kalo gitu, gue pengen nikahnya sama elo aja deh. Kan lo
udah tau cacatnya gue di mana. Rewelnya gue kayak apa. Haha..”
Nala menoyor kepalaku. “Ngacooo!! Hahaha.. lu ngomong pengen
nikah sama gue macem pengen beli es krim ke Indomaret! Hahaha..”
“Iya juga.”
“So what’s your next step?”
“Umm.. Nyiapin diri aja kali, ya. Mulai dari... selalu mandi
dulu sebelum keluar rumah, meski cuma jajan es krim bentar ke Indomaret. Biar kalo-kalo
ketemu jodoh di jalan, gue gak malu-malu amat. Haha..”
*Entah kenapa ceritanya jadi begini. Padahal dari awal
ngetik tulisan, bukan mau nulis kayak gini. Di tengah-tengah cerita, gue tetiba
inget tweetnya Sujiwo Tejo: “Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kau bisa
berencana menikahi siapa; tapi tak dapat kaurencanakan cintamu untuk siapa.”
Udah lama sebenernya baca tweet itu. Entah kenpaa tadi
terngiang begitu aja. Hehe.
Kosmar III, 18 April 2016 Masehi.
4/17/2016
The Circle
“Kopi buatanmu numero unoooo!” Elang menirukan iklan kopi
instan yang terdengar menggelikan kalau dia yang bilang.
“Puji aja terus! Itu gak bakal bikin gue sudi bikinin lu
kopi tiap hari,” ancamku.
Elang selonjoran di sofa dengan santainya. Tangannya dilipat
di bawah kepala. Nikmat betul.
“Please, Lang. Don’t act like a boss di apartemen gue yang
mahal ini!” Aku menekankan kata ‘mahal’ dengan miris.
“Apartemen lu soak! Hahaha..” tawa si bocah semprul makin
menjadi.
Bangunan yang kusebut sebagai apartemen barusan adalah
sebuah rumah kontrakan yang hanya memiliki satu kamar tidur, sebuah ruang tamu
imut, plus dapur yang sering dialihfungsikan sebagai tempat jemuran, dan kamar
mandi. Sofa yang kini sedang dijajah Elang adalah satu-satunya benda mewah yang
ada di sini, kurasa.
“Lu beli TV ‘napaaa?”
“Ngapain? Ada waktu buat nontonnya aja enggak,” jawabku yang
tak mengalihkan pandangan dari larutan pudding yang sedang kuaduk.
“Sok sibuk lu!”
“Ngerecokin mulu ah berisik!”
“Iya maaf, Tuan Putriiiii..” Kulihat sekilas ia memejamkan
mata. Bersiap tidur dimanjakan angin yang bersumber dari kipas listrik di
dekatnya.
Oh, ya, buat yang belum tahu Elang itu adalah temanku sejak
kelas 2 SMA. Itu artinya sudah hampir enam tahun kami berteman. Kenapa dia ada
di kontrakanku? Itu karena aku masak hari ini. Aku tak mungkin menghabiskan
masakanku sendiri. Kenapa harus Elang yang kuajak ke sini? Karena aku tak
banyak memiliki teman. Kenapa? Karena aku tak mudah percaya pada orang lain.
Dan mengapa aku mengontrak rumah? Karena tempatku bekerja jauh sekali dari
rumah orang tuaku. Sudah cukup jelas, ya?
Pudding coklat ini tinggal menunggu beku. Spaghetti yang
tadi kumasak tinggal kueksekusi di piring terbaik yang kumiliki. Tidak lupa
buah-buahan dari kulkas sudah kucuci bersih. Asik!
Tahu-tahu si Elang sudah di belakangku. “Ada yang perlu gue
bantu gak?”
“Nanti, bagian cuci piring,” jawabku yang sedang berkutat
dengan pasta.
“Anjrit!” Elang mengumpat gemas. Aku anggap itu sebagai
persetujuan –walau tak senang. Bodo amat!
Kami makan di ruang tamu. Di atas karpet biru tua.
“Heh, Pemakan Buah! Tumben pedes masakan lu,” Elang memberi
komentar. Tapi aku tahu dia menyukainya karena ini sudah porsinya yang kedua.
“Iya, gak diicip dulu. Haha..”
“Gimana perkembangan hubungan lu sama si Mas-mas Aneh itu?”
Aku tersedak. Padahal kuharap makanan dalam mulutku ini
tersembur saja ke mukanya yang pas-pasan itu. “Semmmmmbarangan lu!”
Elang tertawa dan menjitak kepalaku keras. Beneran! Sialan
dia itu.
“Gak tau lah, Lang. Gue kan cewek, ya nunggu aja. Kalo jodoh
ya syukur. Kalo bukan ya..”
“Sukurin!” potongnya.
Aku melotot ke arahnya. “Denger yaaaa, Elang-Gedebage. Jodoh
itu udah ada yang ngatur. Dan inget, yang suka ngatur-ngatur belum tentu
jodoh!”
Elang mendelik kesal. Aku memasang tampang songong dan puas.
Dan... buat yang gak tahu apa itu ‘Elang-Gedebage’, itu adalah trayek angkot di
Bandung. Haha..
“Lagian lu naksir orang kayak gitu. Gak jelas..”
Mulai, deh. “Iya, emang gak jelas. Kalo udah jelas mah gak
akan kayak gini, Lang. Semuanya masih kabur. Burem. Tapi cinta dalam diam itu
menurut gue lebih mulia dibanding harus diumbar-umbar.”
Si Elang ini nampak tersinggung lagi buat kedua kalinya.
Yes. Sukurin!
“Lah kalo ternyata dia udah ada calon gimana? Apa gak sakit
hati? Haha..”
Aku menyuapkan spaghetti terakhir dari piringku. Menelannya.
Medorongnya dengan setengah gelas air lemon encer.
“Kalo dibayangin sekarang, gue rasa sakit hati, kali. Tapi
kan konyol jadinya. Jalan aja gak pernah. Ngobrol langsung juga jarang banget.
Dan gue juga gak tau kan, kalo misalnya ternyata besok-besok ketemu jodoh gue
yang sebenarnya. Ya udah sih. Rencana Tuhan udah pasti paling oke.”
Entah jujur atau hanya menghibur diriku sendiri. Tapi
jawaban itu lancar menglir tanpa perlu kupikir-pikir.
“Menurut lu dia tau?”
“Tau apa?”
“Perasaan lu lah..”
Aku angkat bahu. “Beresin sana ke wastafel! Gue ambilin dulu
puddingnya. Udah dingin, kali.”
Gerak-gerik si Elang ini seperti menunjukkan kalau ia puas
dengan keadaanku. Semprul amat dia itu.
Ia memetik-metik Sigit. Mencipta alunan sendu untuk kemudian
merambati udara di sekitar kami. Membaur dan memecah sunyi. Barangkali masuk
sampai ke hati.
Sigit itu nama gitarku.
“Lu menutup diri, sih..,” Elang membuka suara.
Aku tak jadi menyuapkan pudding cokelat. “Menutup diri
apaan?”
“Lu ngerasa gak, sih, selama ini lu bergaul dengan orang
yang itu-itu aja..”
Suara gitar masih merambat lewat udara. Menembus dinding. Bahkan
mungkin juga plafon.
“Maksud lu? Lu bosen gitu temenan sama gue terus?” Sisi
sensitif perempuanku mulai muncul.
Suara gitar tak lagi terdengar. Elang membetulkan letak
duduknya di sofa. Menaruh Sigit kembali ke dudukannya.
“Enggak gitu. Enggak sama sekali. I know you so well. Lu gak
banyak percaya sama orang. Lu bahkan ngejudge kalo friends are fake, and bestfriend
is bullshit. Gue juga gak tau posisi gue di hidup lu tuh apa. Sebagai orang
yang lu cap fake-kah, atau bahkan bullshit. Gue gak peduli itu sama sekali.”
Tumben.
“Gue juga tau kalo lu emang udah gak akan mau
pacaran-pacaran lagi. Tapi dengan hidup lu yang sekarang ini, kok rasanya lu
seperti menutup diri dengan tembok yang tebal. Siapa yang tau kalo di baliknya
ternyata ada sosok yang... apa, ya? Menurut
gue sih, cukup menyenangkan.”
Aku menaikkan sebelah alis, memasang ekspresi ‘terus?’
“Ah, enam tahun temenan sama lu ternyata belum bisa bikin
gue ngertiin lu banyak.”
“Emang,” timpalku enteng.
Elang merebut puddingku tanpa kuberikan perlawanan. Tampaknya
dia sudah selesai. Baiklah, aku yang angkat bicara.
“Elang-Gedebage, makasih udah jadi temen gue. Menjadi salah
satu lingkaran yang ada di deket gue. Tempat gue bolak-balik dan muter-muter di
situ-situ aja. Lu lagi lu lagi. Gue gak minta lu atau siapa pun untuk
benar-benar mengerti karakter gue. Karena kadang gue juga sulit mendefinisikan
diri gue.”
Elang makan tanpa memandangku.
“Kadang gue bingung harus
menyikapi masalah yang ada di depan mata; yang mungkin menurut kebanyakan orang
bukan merupakan masalah. Kadang panik, kadang tenang. Dan gue masih belum tau
faktor apa yang memengaruhinya. Sama kayak masalah yang sedang gue hadapi
sekarang, yang lu bahas dari tadi itu.”
Elang sedang berakting tuli. Tak ada
respon meski hanya lewat ekspresi. Aku melanjutkan.
“Lang, gue udah kenyang makan
galau. Galau yang sepele tapi digede-gedein. Lu tau lah sumber galaunya apa:
laki-laki. Yang belum tentu jodoh gue pula. Makanya gue gak mau sisa hidup gue
digelayuti sama hal-hal bodoh kayak gitu lagi.”
Elang menusuk telak kedua bola
mataku dengan tatapannya. “Lu trauma?”
Aku tergelak. Garing. “Bukaaaan. Bukan. Gue cuma mencoba belajar
dari kesalahan. Apapun yang gue rasakan, gue serahkan sama Tuhan. Biar Dia yang
pelihara. Bukan gue gak mau membuka diri dengan berteman lebih banyak orang. Pergaulan
gue luas kok. Tapi gak semua bisa masuk ke lingkaran gue. Dan gue juga gak mau
masuk ke sembarang lingkaran. Cukup di tepian aja.”
Pudding di atas piring tandas. Hanya
ada sedikit sisa vla. Elang masih diam. Menunggu kalimat berikutnya meluncur. Mungkin.
“Gue selesai,” kataku. Sebenarnya masih
ada yang inginaku sampaikan. Tapi, biar saja hanya aku dan Tuhan yang tahu. Ah,
mungkin hanya Tuhan saja. Aku masih belum tahu betul.
Elang ngeloyor.
“Ke mana?”
“Bikin kopi.”
“Sekalian cuci piring! Haha..”
4/16/2016
Kupu-kupu dalam Kanvas
Aku mendapat
kado yang terlambat untuk ulang tahunku yang ke dua puluh empat. Sebuah lukisan
dengan kupu-kupu biru sebagai objeknya. Surprised,
tentu. Ulang tahunku ‘kan, sudah tujuh bulan terlewat.
“Selamat ulang
tahun, ya,” ujarnya seraya menyodorkan sesuatu.
“Terimakasih,”
kataku sewaktu menerimanya.
Dia hanya senyum
seulas, lalu pamit. Mau berenang, katanya.
Benda itu diserahkannya seusai jam pulang kerja di
depan mushala lantai dua. Terbungkus oleh kertas koran dan disimpan di dalam
tas berbahan kertas daur ulang yang sering kulihat di toko buku atau penjual
cindera mata.
Sehari
sebelumnya memang dia sudah memberi tahuku, katanya mau ada perlu sebentar. Aku
yang tak begitu ingin tahu, hanya mengiyakan. Ternyata memang benar-benar
sebentar. Sangat sebentar.
Tanpa membuka
dahulu apa isinya, aku menaruhnya begitu saja sesampainya di rumah. Kemudian
mengirim sebuah pesan singkat untuknya:
‘Hei, makasih ya.
Tapi kan ultahku udah
lewat jauh banget, hahaha..’
Kuraih bungkusan
itu. Menimbang-nimbang, menerka isinya. Terlalu ringan untuk sebuah bingkai
foto. Tapi ukurannya cukup besar, mungkin sekitar 30 x 30 centi. Tapi aku
benar-benar tak merasa tertarik. Maksudku, aku tidak merasa perlu buru-buru
untuk membukanya.
Maka setelah
mandi, aku berkutat dengan laptopku. Lupa dengan kado, bahkan handphoneku sendiri. Sampai akhirnya
sebuah alert berbunyi, menandakan
baterai handphoneku sudah penuh. Saat
hendak mencabut kabel charger, ternyata
ada dua buah pesan masuk. Salah satunya dari dia.
‘Sama2.
Dulu kan blm kenal. Haha.’
Tak kubalas. Mau
balas apa untuk sms macam itu? Hmm.
Dan tiba-tiba
aku kehilangan minat untuk mengerjakan laporan bulanan di laptopku. Pandanganku
teralih pada tas kertas berwarna cokelat darinya. Akhirnya, benda itu berhasil
mencuri perhatianku.
Apa-apaan,
hadiah ulang tahun katanya? Kurasa ia hanya mengarang. Mungkin ia memang ingin
memberiku ini, tapi bingung dalam
rangka apa. Bisa saja, kan? Tapi kenapa? Ngapain?
Perlahan aku
merobek koran yang membungkus benda itu. Voila! Sebuah lukisan kupu-kupu biru,
dengan dasar merah yang sengaja dibuat bergradasi. Jelas bukan buatan
professional. Tidak nampak teknik-teknik khusus pada pemulasan warnanya.
Buatannya-kah?
Buat apa orang
itu repot-repot membuat benda menggelikan ini? Tidak ada pesan apa-apa yang
tersisip di lukisan ataupun di tas kertas itu. Tapi bagaimana pun aku
menghargainya.
Nyatanya, sampai
hari ini, lukisan itu masih tersimpan baik di kamarku. Meskipun tidak begitu
bagus, tapi lumayanlah, buat meramaikan isi kamarku. Di kemudian hari, jauh
hari setelah ia memberiku hadiah itu, aku pernah bertanya mengenai lukisan itu
padanya.
“Itu bukan
lukisan,” katanya.
Apa dia pikir
aku bodoh? Lalu apa itu? Kupu-kupu yang diawetkan?
Dia membaca kerut
di keningku, lalu cepat-cepat menjelaskan, “itu cuma gambar yang diwarnai. Terlalu berlebihan
kalau disebut lukisan. Gambarnya pun bukan aku yang bikin. Aku gak bisa menggambar.
Aku juga gak bisa mewarnai, tapi aku seneng ngelakuinnya.”
Tadinya aku ingin bertanya, kenapa dia memberiku
lukisan gambar itu sebagai hadiah ulang tahun, padahal sudah lama
terlewat. Tapi urung. Sudahlah, mungkin karena memang hanya ingin memberi saja.
Terkadang, ada banyak hal di dunia ini yang bisa dilakukan tanpa dasar yang
jelas. Mungkin dia salah satu pelakunya.
Lalu aku
memutuskan untuk mengganti dengan pertanyaan lain, “kenapa kupu-kupu? Apa gak
ada serangga lain yang lebih maskulin buat cowok?” tanyaku dengan nada
bercanda. Tapi sungguh aku serius dengan pertanyaan ini.
Dia hanya
tertawa sebentar, lalu dengan santai menanggapi, “kalau dulu aku denger kamu
bersenandung lagu ‘Kumbang-kumbang di Taman’, mungkin aku bakal ngasih kamu
gambar kumbang..”
Lagi-lagi aku
bertanya dengan isyarat kening berkerut.
Dia paham. “Dulu
aku pernah denger kamu bersenandung kecil. Lagunya Ebiet, Kupu-kupu Kertas.
Mungkin kalau dulu kamu nyanyiin yang Camelia, aku juga gak tau bakal gambar
apa. Hahaha..”
Enteng sekali
dia bicara. Aku tidak bisa membedakan dia sedang bercanda atau memang jujur
atas jawabannya tadi.
Aku
berhenti bicara. Aku berhenti bertanya. Andaikata dia hanya bercanda, aku tidak
punya opsi lain sebagai jawaban alternatifnya. Bagaimana jika dia jujur? Ah,
nyatanya dalam hati aku masih bertanya.-Cileunyi, November 2015
Langganan:
Postingan (Atom)