6/02/2013

(Masih) Minor

Awal mula aku menggandrungi music Underground, saat aku duduk di bangku SMP. Saat itu, penggemar Underground di lingkunganku belum banyak seperti sekarang. Kalaupun ada, berarti itu hanya mereka yang benar-benar menyukai Underground. Bukan fans karbitan yang seperti sekarang marak menjamur. Apalagi untuk perempuan sepertiku. Tampaknya mmenyenangi music Underground seperti sebuah anomali di lingkunganku.
Karena aku menggandrungi underground dengan sendirinya, bukan ikut-ikutan, aku tetap kukuh dengan apa yang aku senangi. Tak terpengaruh hinaan dan pandangan miring sekitarku. Seperti slogan salah satu komunitas kebanggaanku, “Bandung Death Metal” yang berbunyi PANCEG DINA GALUR, yang filosofinya aku pegang hingga kini. Selama tidak merugikan siapapun, aku akan tetap berteguh pada apa yang aku genggam.
Empat tahun berlalu. Saat aku duduk di bangu SMK, pergerakan Underground di Bandung sudah makin menggeliat. Tentu saja beriringan dengan itu, aku mendapat teman-teman yang ‘sealiran’ denganku. Senang, karena di antara lingkaran putih ini masih ada pasukan hitam yang nyambung denganku. Meski sudah empat tahun bergelut dalam hari-hari penuh distorsi, aku masih belum memiliki kontribusi berarti untuk dunia underground :( Sejauh ini aku hanya mampu menikmati, belum bisa menjadi pelaku yang ikut memberi warna untuk music ini.
Sekarang, setelah melewati empat tahun masa putih abu-abu, aku mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan farmasi terbesar di Indonesia. Tepatnya di Cikarang, Bekasi. Tadinya aku berharap, aku bisa berkarya di sini untuk music Underground. Tapi sejauh ini, aku malah tidak menemukan satupun teman yang klop dalam urusan ini.
Seperti berada di titik balik suatu masa. Return to zero, maybe. Di mana untuk ke dua kalinya aku merasa minor di sini. Tujuh tahun sudah aku tumbuh bersama alunan music brutal. Seiring bertambahnya usia, tentu banyak perkembangan dalam diriku. Aku terus mencari dan menjalani semacam proses pendewasaan diri. Meski banyak berubah, tetap saja kesukaanku terhadap music Underground  tidak akan hilang :)

Indie di mata Anda


Sedari kecil saya sudah menggemari musik. Bahakan sebelum saya mengerti musik, Ayah saya sering memutar lagu-lagu tradisional sepeti keroncong dan music etnik Jawa. Padahal kami asli dari Sunda :) Saya tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan yang menyenangi music. Walaupun di antara keluarga saya tidak ada yang menjadi musisi atau sejenisnya, tapi kami sangat menikmati hampir segala jenis music.
Waktu umur tiga tahunan, saya didaftarkan ke TK menyanyi yang merupakan salah satu stasion radio di Bandung, RRI. Saya memang senang menyanyi dari dulu, dan itu berlanjut hingga sekarang. Tapi selama ini saya mengalami perkembangan dan transformasi genre music yang saya minati. Sejak SMP, saya justru menggandrungi music underground. Dan kerennya, orang tua saya tak pernah mempermasalahkan :) . Memang, sih, sebelumnya Ayah sempat rada menentang dengan hobi saya. Tapi akhirnya beliau mengerti.
Sebenarnya saya juga menyenangi lagu pop, tapi yang jalurnya indie. Entah mengapa, saya lebih respect pada band-band indie dibandingkan band-band yang menjamur di permukaan dan mengejar pasar. Band-band indie itu memiliki idealisme tinggi dalam bermusik. Mereka berkarya sesuai kata hati dan kepuasan mereka. Bahkan jika ditelusuri lebih lanjut, mereka lebih banyak mengukir prestasi dibanding kontroversi :D
Setelah saya besar, saya masih menggandrungi music indie, baik yang cadas maupun yang pop. Saya dan kalian tahu, sampai detik ini dunia music tanah air masih didominasi oleh band-band yang notabenenya mengejar pasar dan popularitas. Sah-sah saja, sih. Sementara band-band yang mengambil jalur indie biasanya hanya santer di kalangan tertentu saja. Begitupun yang terjadi di tempat saya bekerja sekarang.
Di sini, rekan-rekan saya juga banyak yang menyukai music. Ya, kita tahu bahwa hampir semua orang pasti menyukai music. Tua muda, pria wanita, kaya miskin.. tanpa music akan terasa hampa. (aciyeee :p). Tapi di sini, rekan-rekan kerja saya cenderung menyukai music yang (menurut saya) mainstream. Saat mereka tahu saya menyukai lagu-lagu indie dibandingkan lagu yang belakangan lagi ngetrend, mereka justru menganggap saya aneh.
Bagi mereka, saya sebagai orang Bandung seharusnya lebih up to date mengenai lagu-lagu yang sedang hits. Karena di Bandung banyak sekali musisi yang ngetop juga handal. Tapi mereka juga mengaku maklum, karena di Bandung komunitas indienya banyak dibandingkan di sana (Bekasi).
Lalu bagaimana pandangan mereka terhadap music indie?
Ternyata, selain menganggap saya aneh, mereka juga ada yang bilang anak indie itu alay. Entah atas dasar apa, mungkin bercanda atau apa. Hehe. Pendapat mereka mengenai music underground? Gak usah tanya, saya juga malas bertanya itu pada mereka. Pandangan mereka terhadap music indie yang tak cadas pun sudah minor, apalagi underground?! :D
Oh ya, salah satu rekan kerja senior saya di sana ada yang mengoleksi banyak lagu yang bagus. Ada yang hits jadul, banyak pula yang sedang ngetrend. Saat dia bertanya pada saya, “Kamu tau lagu-lagu Glee gak, Bel?”, saya jawab “Glee? Siapa itu?” , dan dia hanya mengernyitkan kening sambil tersenyum heran.
Sebenarnya saya pernah beberapa kali membaca nama “Glee” di layar kaca saat seorang kakak kelas memutar DVD lagu-lagu berbahasa Inggris. Rupanya si Glee itu memang sudah terkenal, ya. Dasar saja saya yang kurang gaul. Hahaha.
Di lain kesempatan, rekan saya itu kembali membahas Glee. Ternyata Glee itu semacam serial film drama musical. Saya yang memang tidak begitu suka menonton, pada akhirnya tak menjadi heran kalau tidak tahu mengenai keberadaan si Glee itu. Para pemain dalam serial itu merupakan orang-orang yang lolos casting audisi untuk mengisi film tersebut. Akan tetapi, banyak pula artis lain yang sudah tenar ikut berpartisipasi dalam film itu, misalnya Britney Spears. Dalam drama musical itu, para pengisi acara banyak yang merecycle hits-hits penyanyi/band papan atas dunia dengan aransmen berbeda.
“Kalau suka music, harusnya tahu Glee”, ujar rekan kerja saya itu.
Saya tersenyum simpul mendengar pernyataannya. Saya tak mau kalau harus berdebat hanya karena opininya itu. Lantas, adakah standar untuk mengetahui seseorang itu layak disebut pecinta music? Bukankah music itu universal? Bagaimana dengan orang-orang yang sepanjang hidupnya bergelut dengan music tradisional, tanpa pernah tersentuh oleh lantunan music Barat misalnya; apakah mereka juga tidak layak disebut penggemar music? Mereka bahkan lebih dari penyuka, melainkan orang-orang yang mencipta karya.
Sementara mereka yang lebih menggandrungi music mainstream justru memandang pelaku music di jalur indie dengan sebelah mata. Tak mampu merasakan apa yang kami rasakan. Hanya menilai kesuksesan berdasarkan ketenaran. Memandang kualitas hanya dari segi kuantitas.
#GoIndieGo

my blackclouds :*

Hari-hari berlalu, guys. Dan kabar dari Kalbe belum juga berembus. Waktu itu saya nginep di rumah Novi di GBA. Karena besoknya mau foto kelas buat yearbook di Balkot pagi-pagi sekali. Kalo saya berangkat dari rumah, udah pasti gak bisa tepat waktu. Udah mah gak ada yang nganterin. Maklum aja, mbloo K
Yang nginep di rumah Novi banyakan ternyata. Makin sini, kami sekelas jadi makin akrab. Walaupun sebelumya sempat beberapa kali ada konflik internal, tapi itu gak pernah sampe berkepanjangan. Sempet ngerenung, sih. Kenapa keakraban kita baru terjalin sekarang-sekarang; saat kita akan terbang lepas memilih jalan kehidupan kita yang sebenarnya. Memang, sih, kedekatan yang makin menjadi-jadi ini gak menghinggapi kita bertigapuluh. Tapi lihat, dua tahun lalu waktu kita pertama kali duduk di ruangan dan waktu yang sama. Wajah-wajah itu emang gak asing, wajah yang dua tahun belakangan kita lihat di sekolah. Tapi pribadi kita satu sama lain seolah menolak untuk dekat, hanya karena ego untuk mempertahankan teman-teman lama kita di kelas sebelas.
Tapi pada akhirnya kita tahu, Tuhan tidak pernah gagal merencanakan. Betapa beruntungnya kita bertemu di kelas dua belas. Kalian juga belum lupa dong, gimana paniknya kita saat ada kabar kalo kelas tiga belas bakal dipecah lagi. Kenapa panik? Bukannya dulu kita sama-sama menolak buat bersama? Tapi kita manusia yang punya rasa. Setelah setahun menjalani segala proses bareng-bareng, kita jadi saling sayang satu sama lain. Kita juga lapang nerima kekurangan teman-teman yang lain.
Kalau kita adalah butir-butir tasbih yang bernyawa, mungkin sekarang kita tahu bahwa benang tipis yang menyambungkan jarak antara kita ini bakal segera terlepas. Sebentar lagi kita akan berhamburan, mengikuti garis nasib yang membawa kita pada takdir masing-masing.
Saya beruntung  pernah kenal, bahkan didekatkan dengan orang-orang seperti kalian. Kalian hebat bukan karena semata-mata yang berprestasi. Tapi juga untuk yang tegar walaupun banyak dihina, yang tiis walau banyak masalah, yang  kuat walau nilai udah di ujung tanduk, yang  tabah walau tempat PKLnya bikin ngenes. Kalian luar biasaaa :*
Saya sayang kalian,guys :*
Meskipun kita (katanya) alay, omongannya mesum melulu, pada gak tau malu, tapi saya dan kalian yang lebih tahu bagaimana kita yang sebenarnya.  Ingat guys, siapapun yang lebih dulu sukses, masing-masing dari kita punya andil dalam keberhasilan itu. Semua cuma masalah waktu. Lagipula, tolok ukur suatu keberhasilan itu relatif. Kerja di perusahaan impian; kuliah di universitas negeri; menyelesaikan buku karangan; jadian sama gebetan; move on dari mantan; bisa bangun pagi; mutihin kulit; ninggiin badan; solat tepat waktu; nurunin berat badan; kebeli hape baru… bisa jadi buat sebagian orang, itu adalah salah satu dari keberhasilannya. Yang susah payah diusahakan, dengan doa gak pernah putus. Tapi tetap, ada orang lain yang (kita sadar atau enggak) ikut andil dalam pencapaiannya itu.
 Bersyukurlah kita punya teman yang pribadinya bermacam-macam. Bersyukurlah kita pernah punya masalah. Karena dari mereka, kita belajar.  Kita belajar sabar. Kita belajar menghargai.  Menghargai apapun; waktu, perasaan, kebersamaan, bahkan perpisahan.
Thanks guys. I’m glad to be part of you. I know that I still can’t give the best for this class. I never gave a meaningful contribution for all of you. At least, someday you’’ll remember that I’ve ever be your friend. I love you :*

thanks, God


Sendirian di pojok kamar kosan.

Kadang suka terharu. Kenapa Tuhan begitu baik sama saya? Saya yang sering lalai beribadah. Saya yang jarang ingat untuk bersyukur. Saya yang bergelimang dosa. Saya yang dalam sebulan ngajinya bisa dihitung jari.
Jika tertimpa musibah, saya malah sering mengumpat. Bukannya merenungkan salah saya di mana. Jika diberi nikmat, saya terlena. Oh, Tuhan. Ampuni saya yang hina ini. Jangan berhenti bemberkahi dan merahmati saya dan keluarga saya, amiin…
Tuhan mempermudah segala urusan saya. Bahkan yang saya tidak sungguh-sungguh inginkan, diberikan-Nya pada saya. Saya sungguh beruntung. Segala yang terjadi pada kehidupan saya, saya yakin bukan suatu kebetulan. Adalah Tuhan, yang Maha Mengatur dan Maha Menentukan.
Tuhan menjawab doa-doa saya, meski tak selalu pok torolong. Bahkan, doa-doa saya jaman dahulu (yang saya malah gak inget), Tuhan berikan kini. Ia lebih tahu kapan doa kita pantas dikabul. Karena Tuhan akan memberikan yang kita butuhkan, bukan semata yang kita inginkan.
Terima kasih, Ya Rabb, atas semua yang Kau berikan pada saya selama ini. Ampuni dosa-dosa saya, juga orang tua saya. Berkahi kami, ampuni kami, damaikan kami dalam kasih-Mu.
Amiin ..