Sesaat setelah aku lepas dari dia,ada sesuatu yang perlahan-lahan menutup luka robek yang sudah menganga sedemikian parah. Luka yang sejatinya ditorehkan oleh dia. Yang dia ukir tak beraturan dengan sebilah belati yang menari-nari setiap hari. Di hati aku. Di tubuh aku. Di jiwa aku. Berbekas selamanya.
Benang-benang fibrin yang menutupi sedikit demi sedikit lukaku adalah kalian; teman-temanku, sahabat-sahabatku. Di luar itu, memang ada yang lain yang menjadi katalis pengobat lukaku. Sungguh, aku menikmati proses penyembuhan ini. Aku tau ini tak akan berlangsung cepat. Luka ini terlalu dalam, juga terlalu banyak di mana-mana. di sekujur aku.
Kalian tau? Kadang, dia masih suka datang. Dia hadir seolah ingin membantu aku mengobati luka ini. Sepertinya dia tau, aku yang lemah ini mustahil harus merawat lukakusendirian. Tapi lihat, yang tejadi malah sebaliknya. Bayangkan kauterjatuh, lalu kulitmu berdarah. Lukamu yang masih baru dan basah itu ditutupi dengan plester, lalu seketika itu juga dicabut dengan paksa. Seperti itulah yang dia lakukan padaku. Lihat lagi, lukaku kian parah kan sekarang?
Ada yang mengganjal sebenarnya. Seperti kataku di awal, ada yang lain yang menjadi katalis dalam proses pendewasaanku ini. Aku bersyukur atas kehadirannya di hidupku yang sedang rapuh ini. Dia menyemangati aku dalam banyak hal. Ya! Dia si katalis itu...
Seiring berjalannya waktu, sisi jiwaku yang satu mulai tak karuan. Rasa nyaman yang tercipta secara alami, tak dibuat-buat, dan apa adanya selalu hinggap saat aku bersama dia. Aku bisa dengan gamblang bercerita apapun kepada dia. Tanpa jaim, tanpa malu, tanpa sensor! Pola pikir kami yang satu tipe, membuat semua mengalir seolah tanpa hambatan. Tapi sebenarnya, tidak.
Sisi jiwaku yang lain menahanku. Sepertinya sisi sebelah sini lebih mendominasi. Seperti mengingatkanku kalau dia hanya katalis, yang secara teori, tak pernah terlibat dalam reaksi. Tidak akan pernah... Bagaimana mungkin dia dan aku terlibat dalam suatu reaksi, jika pandangan kami mengenai "benar" dan "salah" saja sudah bertentangan?
Memikirkan itu, aku jadi merasa rapuh sendiri. Kau bisa bayangkan, bagaimana rasanya menahan perasaan yang makin hari makin membesar. Sementara logika menyuruhku untuk menekan pertumbuhan rasa itu. Tapi aku tak ingin memikirkannya lama-lama. Biar akunikmati siksaan indah ini. Bukankah katalis ada untuk mempercepat reaksi menuju...kesempurnaan?
Aku rasa, dia bisa membaca pikiranku. Aku juga tau dia merasakan perasaan yang sama padaku. Tapi aku bingung jika suatu saat ia bertanya. Aku takut salah bicara, salah menyampaikan. Aku takut dia pergi karena merasa tak nyaman lagi denganku.
Oh, Tuhan... Apa kataku barusan? Aku takut dia pergi?
2/24/2013
2/23/2013
OPINI - pemimpin populer, pentingkah?
Pemimpin
popular, pentingkah?
Selama jelang musim pemilu di Indonesia
belakangan ini, banyak dijumpai calon-calon pemimpin yang mendaftarkan diri
dengan modal popularitas yang dimilikinya. Kebanyakan orang-orang popular
tersebut digaet untuk ditempatkan sebagai wakil pemimpin. Masalahkah? Menurut
saya itu hal yang sah-sah saja. Tapi pertanyaannya, apakah sosok popular yang
digaet atau justru mencalonkan dirinya itu memiliki pemahaman yang mumpuni di
bidang politik?
Sebagai contohnya, pada putaran Pemilu Gubernur
Jabar periode lalu, Pak Ahmad Heryawan meminang Pak Dede Yusuf untuk menjadi
wakilnya. Setelah terpilih dan memimpin Jabar selama ini, saya rasa “hasil
pekerjaan” beliau-beliau ini cukup memuaskan dan ada hasilnya. Banyak program
kerja yang terealisasikan dengan baik. Imej Pak Aher di mata masyarakatpun
dinilai positif. Lalu apa hubungannya dengan topik pemimpin popular ini?
Seandainya saja dulu Pak Aher tidak
didampingi oleh Pak Dede yang notabenenya adalah seorang public figure yang
sudah dikenal masyarakat sejak lama, mungkin
beliau tidak akan terpilih menjadi Gubernur seperti sekarang ini, sebab
sosok Pak Aher sebelum menjadi gubernur tidak terlalu dikenal khususnya oleh
masyarakat awam. Syukurlah, beliau bisa membuktikan kinerja bagusnya untuk
Jabar. Jadi menurut saya, dalam hal ini Pak Dede bukan dijadikan sebagai tameng
untuk memenangkan banyak suara pada pemilu periode lalu.
Menjadi sosok yang popular memang tidak
lepas dari peranan media. Misalnya artis yang sering muncul di layar kaca yang
kemudian tenggelam dan tiba-tiba naik ke permukaan dalam balutan profesi yang
berbeda. Pada kasus ini biasanya program entertainment banyak
menggembar-gemborkan berita itu. Sebut saja Rieke Diah Pitaloka, Angelina
Sondah, Rano Karno, dll. Dari sanalah masyarakat kemudian mengetahui informasi
tersebut. Berbeda dengan tokoh yang memang mengawali karir politiknya bukan dari
jalur keartisan, sebagus apapun prestasi mereka, hanya segelintir orang saja
yang mengetahuinya. Sangat jarang hal tersebut dibesar-besarkan.
Walau sangat jarang, bukan berarti tidak
ada. Karena meskipun tidak pernah menjadi artis, ada pula pemimpin yang
kemundian menjadi amat terkenal. Masih segar dalam ingatan kita semua, belum
lama ini Gubernur DKI terpilih untuk periode 5 tahun ke depan adalah Pak Jokowi
yang dulunya menjadi walikota di Solo. Beliau dinilai berprestasi dan sukses
dalam jabatannya sebagai pemimpin. Namun barangkali yang mengetahui kesuksesan
beliau itu tadinya hanya warga Solo dan segelintir petinggi-petinggi lainnya
saja. Tapi sekarang, Pak Jokowi menjadi sosok yang sangat popular, bukan hanya
di Jakarta atau Solo, bahkan sepertinya se-Indonesia pun tahu siapa beliau.
Berbeda dengan Pak Jokowi yang
popularitasnya melejit karena prestasi, Bupati Kabupaten Garut, Pak Aceng Fikri
juga sedang ramai dibicarakan. Beliau mendadak tenar di seantero media massa
nasional karena kasus pernikahan sirinya selama empat hari. Dulunya Pak Aceng
menggaet Pak Dicky Chandra yang pada akhirnya mengundurkan diri jauh sebelum kasus
Pak Aceng ini heboh. Kalau seperti ini, bukan tidak mungkin bahwa orang popular
hanya dijadikan alat untuk mendongkrak perolehan suara saat pemilu. Karena
kebanyakan masyarakat di kita ini tidak banyak mengetahui sosok calon
pemimpinnya, sehingga cenderung memilih sosok yang menurutnya familiar.
Bagaimana dengan sosok Raja Dangdut; Rhoma Irama? Diberitakan bahwa
beliau akan maju sebagai calon presiden. Popularitas beliau di Indonesia sudah
tak perlu diragukan lagi. Sepertinya dari Sabang sampai Merauke juga mengetahui
sosoknya. Apakah jika memang beliau fix maju sebagai capres, lagi-lagi
masyarakat kita akan memilih hanya karena familiar saja? Apakah pemimpin yang
popular memang mutlak diperlukan dan menjamin bahwa kepemimpinannya bisa
sukses??
TERLILIT ....
TERLILIT
..
Aku pernah merasa disukai. Tapi sering
pula aku merasa dibenci dan dihinakan. Aku pernah merasa berguna. Tapi tak
jarang aku juga pernah merasa sangat bebal dan menyusahkan orang. Sekarang aku
sedang merasa dibenci. Sangat dibenci!
Perasaan tidak enak ini muncul sudah empat
hari belakangan. Saat aku pulang kantor, istriku menyambut dengan wajah masam.
Aku pulang bukannya disuguhi minuman hangat seperti biasanya, apalagi
disediakan air panas untuk mandi. Aku mencoba memasang wajah biasa. Tapi istriku
langsung menyemprotku dengan serapahnya melihat aku yang seakan tak bersalah.
“Apa ini, Mas?!” semprot istriku.
“Tunggulah sebentar. Suami pulang malah
main bentak saja..” ujarku pura-pura tak tahu.
Lalu istriku menyodorkan surat tagihan
utang dari bank ke atas meja. “Utang apa ini, Mas? Kok aku tidak pernah tahu
soal ini? Kamu pakai apa uang sebanyak itu??”
Aku terhempas di kursi yang sudah
doyong. Mendadak keningku terasa pening. Aku bingung harus menjelaskan apa.
Istriku masih berdiri di seberang meja di hadapanku, dengan napas memburu dan
siap meledak. Tapi sebelum itu terjadi, aku segera keluar dan membanting pintu.
Ya, aku minggat dari rumah. Untuk sementara
aku menginap di kontrakan teman kerjaku, Anto namanya. Dia masih bujangan,
sehingga tinggal sendirian di sana. Beruntung aku diijinkannya menginap. Dan
sudah empat hari pula aku tidak masuk kantor. Aku sudah tidak punya muka untuk
datang ke sana. Karena aku tahu, pihak bank juga pasti akan melayangkan
tagihannya ke alamat kantor. Tentu saja aku meminta Anto untuk tutup mulut
mengenai keberadaanku pada siapapun.
Bukannya aku tidak merasaa malu untuk
berlama-lama menginap di sini. Kemarin aku sempat berniat pulang ke rumah. Tapi
tak jauh dari rumahku, aku melihat dua orang
yang sudah pasti mereka itu debt collector, sedang memaki-maki istriku.
Yang satu orangnya tinggi besar dan putih. Dan rekannya agak tambun dengan
warna kulit lebih gelap. Sementara istriku bersikeras berkata bahwa dia tidak
tahu apa-apa. Kasihan sekali istriku. Ingin sekali aku meminta maaf dan
menjelaskan yang sebenarnya terjadi. Tapi aku tahu, jika aku pulang saat itu,
maka habislah aku! Maka setelah itu aku kembali lagi ke kontrakan Anto. Dan dia
tidak berkeberatan, entah jujur atau tidak.
Aku bingung harus bagaimana. Aku memang
telah meminjam uang lima belas juta rupiah dari bank empat bulan yang lalu.
Tapi sungguh, aku mempergunakannya untuk usaha jaket kulit bersama temanku,
Imas. Dan aku memang sudah terlibat dalam usahanya. Sebenarnya dia adalah mantan
pacarku waktu SMA dulu. Dan sialnya, dia membawa kabur seluruh uang modal
beserta keuntungannya! Padahal beberapa minggu yang lalu, pesanan jaket sudah
banyak kami terima. Dan ada seorang ibu-ibu yang memesannya secara langsung
padaku,katanya untuk hadiah ulang tahun suaminya. Awalnya aku hanya kasihan
ketika Imas bercerita bahwa dia ditinggal suaminya, dan sedang ingin merintis
usaha jaket kulit yang dibilangnya lumayan, karena sekarang ia tak memiliki
penghasilan apapun untuk menyambung hidup lagi. Gaya bicaranya sangat meyakinkan,
sial!
Sebenarnya aku bukan hanya kasihan pada Imas.
Tapi aku memang masih memendam rasa buatnya. Asal tahu saja, istriku yang
sekarang aku nikahi itu adalah pilihan orang tuaku. Karena orang tuaku terlilit
utang pada keluarga istriku. Dan oleh karena orangtuaku tidak mampu
melunasinya, pihak pemilik piutang membuat penawaran dengan orang tuaku. Mereka
ingin aku menikahi anak sulungnya. Dan sebagai anak yang ingin meringankan
beban orang tua, aku dengan berat hati setuju saja. Maka perawan tua bernama
Dedeh itu akhirnya menjadi istriku kini.
Sekarang entah aku harus bagaimana. Jika
aku jujur pada istriku, ia tentu akan semakin murka. Gara-gara aku ingin
membantu mantan pacar, sampai dikejar-kejar debt collector. Aku memang suami
tidak tahu diri. Padahal biaya hidup keluarga saja, sebagian besar ditanggung
istriku yang bekerga sebagai guru. Gajiku tidak lebih besar daripada dia. Dan
dia tidak pernah merendahkan aku seperti yang dilakukan orangtuanya padaku.
Kurang baik apa istriku?! Ah, sungguh aku menyesal telah begini.
Di tengah lamunanku, sebuah sms
mengagetkanku. Begini isinya;
“Pak,
gmn ini jket udh sblan lbih blm jadi2 aja! Bpa mau nipu?? Balikin diut sy!!”
Oh Tuhan…. Sudah seminggu ini orang itu
terus menagih. Dia tidak lain adalah ibu-ibu yang memesan jaket untuk kado
ulang tahun suaminya. Aku sudah
membohonginya dengan berbagai alasan. Entah harus ditaruh di mana mukaku ini.
Sebenarnya aku menjanjikan jaket akan jadi seminggu setelah pembayaran.
Seminggu, dua minggu, dan sekarang sudah lewat dari sebulan, jaket seharga
delapan ratus ribu itu belum sampai ke tuannya. Tentu saja karena memang belum
dibuatkan, gara-gara uangnya sudah raib bersama si Imas sialan itu! Yang lebih
membuatku panik, ibu-ibu itu membawa keponakan laki-lakinya saat menagih
utangku. Aku pernah menemui mereka, dan keponakannya yang masih muda itu
mengobarkan mata yang menyala-nyala tiap aku berkelit untuk mengulur
waktu.
Tak lama, sebuah panggilan masuk
berdering di handphoneku. Itu nomer keponakan ibu-ibu itu! Aku tidak berani
untuk mengangkatnya. Aku sudah kehabisan alasan! Tentu saja telepon itu berdering
tak hanya sekali. Anak muda itu juga mengirim sms-sms umpatan dan makian yang
dialamatkan padaku. Aku sama sekali tidak tersinggung dengan kata-katanya yang
kasar, karena aku tidak memungkiri bahwa aku pantas untuk menerimanya.
Seminggu berlalu. Dan selama itu aku
dihantui perasaan tidak tenang. Telepon dan sms makian dari anak muda keponakan
ibu-ibu itu memenuhi handphoneku. Bayangan-bayangan mengenai istri dan anak
perempuanku di rumah juga berkelebat tiap waktu. Dua orang debt collector
tinggi besar itu selalu datang ke mimpiku, menyeretku ke pengadilan dengan perlakuan
yang keji. Aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi dalam situasi seperti ini.
Malam itu juga aku pulang ke rumah. Aku
tidak peduli jika nanti di rumah istriku memaki, atau ada debt collector yang
menunggu di rumah dan kemudian memukuliku sampai mati. Setidaknya aku sempat meminta maaf pada
istriku sebelum kematian menjemput.
Rumah sepi. Pagar rumah agak terbuka.
Aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Tak ada sahutan. Aku membuka
sendiri pintu rumah, ternyata tidak dikunci. Rumah sudah gelap, padahal baru
jam sembilan. Tapi aku tahu rumah ini tidak kosong. Dari arah kamarku, aku
dapat mendengar dengan jelas ada suara wanita yang aku kenal. Istriku! Dan
suara itu, suara yang sudah lama tak pernah aku dengar darinya. Karena kami
sudah lama tidak pernah berbuat apapun di ruangan itu yang mampu membuat
istriku berisik begitu.
Semakin aku mendekat, suara itu semakin
jelas terdengar. Semakin terdengar pula degup jantungku. Darah sudah meletup
sampai ubun-ubun. Aku mengintip ke lubang kunci. Benar saja!
“BANGSAT !!!!” aku menendang pintu
hingga terbuka lebar. Dan segalanya Nampak menjadi lebih jelas.
Sontak istriku kaget. Wajahnya panik.
“Bagus kamu, ya!” kataku sangat murka.
Aku mendekat ke ranjang. Aku mengamuk. Dan aku
jambak rambut istriku yang sudah setengah telanjang. Dia menjerit kesakitan.
Istriku berusaha melepaskan tanganku dari cengkeraman tangan perkasaku. Tapi
percuma, sekeras apapun usahanya, dia tidak mungkin mampu melepaskan diri dari
jerat tanganku.
“Mas, dengarkan dulu aku! Aku mohon..”
ujar istriku seraya terus meronta.
Tapi aku kalap. Aku sudah tak mau
mendengar apa-apa lagi darinya. Aku tak menyangka istriku berbuat demikian saat
aku tak ada. Jangan-jangan selama aku bekerja, dia sudah sering melakukannya!
Aku tambah bernafsu saja. Tak kupedulikan istriku yang terus menjerit meminta
ampun. Jijik aku dibuatnya!
Darah di ubun-ubunku makin meluap saat
teringat bahwa mertuaku sedari dahulu selalu merendahkan aku. Dan sekarang aku
tahu, selama ini Dedeh baik terhadapku hanya untuk menutupi perbuatan
selingkuhnya di belakangku, agar aku tak menaruh curiga. Sekarang rasakan pembalasanku. Biar kuinjak-injak harga diri wanita di
depanku ini. Agar dia dan orang tuanya
kelak akan merasakan sakit hati yang sudah lama aku rasakan!
Dedeh terus menjerit. Aku
hantam-hantamkan kepala bulatnya ke lantai. Dan aku merasa sangat puas! Sekali,
dua kali, lalu lantai itu berubah warna menjadi merah. “Bisa apa kamu sekarang,
heh?” ucapku penuh napsu.
Dengan terbata-bata Dedeh masih bisa
bicara rupanya. “Mas, asal ttau sa-ja … a-ku melakukan ini..”, dia seperti
orang mau sekarat. Dan aku makin jijik dibuatnya. Dia melanjutkan, “un-tuk
membaayar.. utang kamu…yang sa..sangat be..sar ke orang-orang i-itu!” nafasnya
sangat terengah.
Seketika aku menjadi lemas. Benarkah
yang diucapkannya? Segera aku melirik kea rah ranjang. Pria tinggi besar yang
tadi bergumul dengan istriku itu berusaha kabur setelah aku meninju tepat di
wajahnya, sebelum aku menggeret istriku ke lantai. Pria itu berhasil kabur dari
kamarku dengan tergopoh-gopoh. Bukan tidak ingin mengejar, tapi tiba-tiba saja
lututku terasa lemas sekali.
Aku berusaha mengingatnya. Ya. Pria itu
pernah aku lihat, tapi di mana? Ya! Pria itu, pria yang aku lihat beberapa hari
yang lalu di rumahku, saat aku berniat pulang ke rumah dari kontrakan Anto.
Pria itu… debt collector yang memaki-maki istriku waktu itu! Jadi, istriku
memang melakukan itu demi menebus utang-utangku?
Terlalu lama aku berpikir. Dan saat aku
melihat ke lantai, Dedeh sudah terbujur kaku. Mendadak dunia seakan runtuh.
Keringat dingin membanjiri kemeja yang sudah seminggu tak diganti ini. Apa yang
harus aku lakukan sekarang?
Sebuah suara parau di belakangku
mengagetkan aku. “Dadang!!”
Aku tercengang ketika melihat beberapa
tetanggaku sudah berdiri di dekat pintu kamarku. Mereka memandang dengan sorot
tak percaya. Aku melilhat Pak RT melotot dan mulutnya menganga. Mungkin mereka
kemari dikagetkan oleh teriakan-teriakan Dedeh tadi. Tenggorokanku tercekat.
Aku tak bisa menjelaskan apa-apa.
Sejurus kemudian aku berlari ke arah
meja computer. Dan kuambil botol bekas Mansion di di dekatnya, dan kubenturkan
bagian bawahnya ke meja. Sontak para tetangga yang ada di sana kaget.
“Jangan mendekat!!” teriakku seraya
menodongkan leher botol yang sudah meruncing.
Pak RT mencegah warganya mendekatiku.
“Dang, istighfar!” ucapnya.
Aku tak menghiraukannya. Seketika hitam menyelimuti.
Perutku terasa hangat dan basah. Aku merasakan sesuatu yang sangat asing
menjalari tubuhku. Aku ambruk. Kulihat lantai berubah warna seperti saat aku
menghantam-hantamkan kepala Dedeh.
Segala menebal
Segalamengental
Segala tak kukenal
Selamat tinggal *)
*) , Chairil Anwar
DIMENSI KETERASINGAN
DIMENSI KETERASINGAN
Kabut
pagi itu menutupi dirimu. Bahkan juga bayanganmu sendiri. Hanya suaramu sayup
dan samar terdengar. Mungkin karena kau telah jauh dari tempat aku berdiri
sekarang.
Aku
sendirian. Temani aku, kumohon. Teruslah bersuara, memanggil aku dari hatimu.
Aku ingin terus mendengarmu agar aku tau harus melangkah ke mana. Agar aku tau
kamu ada di mana.
Kabut
berganti hitam. Gelap. Ini sudah tak pagi lagi. Malam mengaburkan rupamu,
apalagi bayanganmu. Hanya suaramu yang… tidak! Tidak ada lagi suara apapun
sekarang. Aku di mana? Kamu di mana? Kenapa tak ada jawaban? Apa kau juga
mencari aku?
Aku
sendirian. Temani aku, kumohon. Bersuaralah lagi. Panggil namaku lagi, agar aku
tau harus menghambur ke mana. Aku takut, kenapa kau diam saja? Apa kau tidur?
Apa aku juga harus diam, atau tidur? Menunggu pagi datang. Mudah-mudahan tak
ada kabut lagi. Kabut yang tebal dan muncul lama sekali. Sampai-sampai aku tak
menemukan fasa siang. Tahu-tahu gelap. Membuat aku makin tersesat.
Ya,
aku akan diam. Dan mungkin tidur akan lebih baik. Dalam pejaman mata aku
melihat hitam itu sirna. Perlahan namun pasti. Kemudian warna warni asing
menyilaukan mata, memilukan hati. Ini apa? Aku di mana? Tapi aku senang
menemukanmu lagi di…di sini?
Kau
tersenyum padaku. Getir. Sekali lagi aku merasa pilu. Aku berjalan mendekatimu.
Tapi ubin hijau muda yang sama-sama kita pijak ini tiba-tiba menjadi lebih
panjang dan menjauhkan jarak kita. Aku berlari sekencang-kencangnya, namun ubin
gila ini memanjang lagi. Aku letih terengah. Sementara kau di sana merentangkan
tanganmu, bersiap mendekap.
Senyummu
masih getir. Bagaimana aku bisa menuju dekapanmu, sementara ubin hijau ini terus menjauhkan jarak kita? Sekali lagi
hatiku serasa diiris sembilu. Mudah-mudahan jangan lagi.
Saat
senyummu memudar, aku mencoba mendekat kembali. Ubin ini diam. Aku berlari, dan
ubin ini tak memanjang lagi. Tapi tanganmu sudah tak kau rentangkan lagi. Tidak
apa-apa. Aku semakin mendekat. Dan sekarang sudah sangat dekat.
Napasku
memburu. “Panggil aku lagi. Akuk tak tau harus berjalan ke mana jika kabut atau
gelap itu datang lagi.”
Kau
menatapku kosong. “Aku tak bisa memanggilmu lagi.”
“Lalu
aku harus ke mana?”
Kau
tersenyum. Kali ini dengan tulus. “Tidur” , jawabmu singkat.
Senyumku
juga membalas tulus. Tapi entah mengapa mendengar jawaban itu, aku merasa pilu
lagi.
Aku
tak bisa menemukanmu di manapun. Kau tak terjangkau. Bahkan dalam pejaman
mataku saat tidur, tidak melulu dirimu yang datang. Kamu di mana?
akhirnya :*
akhirnyaaaa! hahaha setelah blog baru ini tercipta, terisi juga. tapi da pc aku masih rusak. ini juga nebeng di laptop ijul. dan you know, blog ini juga dibikinin si ijul da. ih ari urang siga parasit nya. hahaha
tulisannya disimpen di pc semua dong,eh tapi ada yang ditulis di binder deng. tah sekarang mah aku postingnya yang ada di hape dulu yaaa :P
tulisannya disimpen di pc semua dong,eh tapi ada yang ditulis di binder deng. tah sekarang mah aku postingnya yang ada di hape dulu yaaa :P
Langganan:
Postingan (Atom)