3/25/2013

sekuncup rindu

kupetik segagang rindu yang menguncup di pinggir telaga biru. kurenggut paksa rasa itu, agar tak sempat mekar dan melayu. aku tak ingin mentari membuatnya tumbuh membesar. karena kau tau? rindu ini menyiksa bagiku.
saat rindu kutanam dahulu, aku tak pernah alpa menyiramnya dengan do'a. kupupuk dengan segenap apa yang kupunya. harapan-harapan kuterbangkan lewat sepucuk cinta merah muda. berharap dijemput hujan untuk menyuburkannya.
ketika itu, rindu masih berupa kecambah yang menyembul malu-malu. aku tengadah melempar senyum pada sang surya. menantangnya dengan tatapan memicing, senang. berterimakasih atas kehangatan dan harapan yang dikabulkan.

seiring waktu yang terus berpacu, rindu tumbuh menjulang, berharap mencumbu awan. membuat semesta merona lakasana senja. rindu mulai berdaun. bersulur-sulur mencengkeram sukma. sampai aku sadar, sulur-sulur itu tak hanya menjerat aku semata. ada aku-aku yang lain yang ia singgahi. tentu aku-aku yang itu tak ada yang seperti aku. mereka tak benar-benar menanam rindu. mereka tak menyiram dan merawat rindu. tapi rindu sungguh tak tahu malu.
aku harus mengakhirinya, sebelum rindu terus tumbuh. jangan sampai berbunga. jangan sampai berbuah. atau rindu akan berbalik membunuh aku. aku tak mau ada tangan-tangan lain yang menjamah rindu. mungkin sebagian mereka bahkan akan mengaku-ngaku sebagai aku.
sebelum semua terjadi, maka kupetik segagang rindu yang menguncup di pinggir telaga biru. kurenggut paksa rasa itu, agar tak sempat mekar dan melayu. aku tak ingin mentari membuatnya tumbuh membesar. karena kau tau? rindu ini menyiksa bagiku.

transisi cakrawala

lembayung menggangtung laksana embun di ujung daun
elok menghias senja yang menua
menggoreskan merah saga keunguan di kanvas jingga milik semesta
matahari berpeluh dahaga mulai tenggelam
berlindung di ujung cakrawala yang tak pernah murung
meski penat bergelayut pada belikat, ia tak pernah alpa dari
tugasnya
dalam hening, rembulan bertakhta
mengumbar mesra mencumbui langit warna jelaga
dan aku, masih membeku
meminjam memori dan mulai mencari
berharap temukanmu yang dulu pernah singgah di sini;
menikmati transisi langit yang selalu memayungi kita,
bersama

17:03:13

Sebuah sore di dalam bis  yang akan mengantarkanku menuju Cikarang;
Hujan menemaniku di perjalanan. Dari tempat aku duduk, kulihat tetes-tetes air sebesar biji jagung menampar keras jendela. Memburamkan pepohonan yang berlari di kiri-kanan jalan.
Ini hari Minggu. Dengan ogah-ogahan, aku tetap harus berangkat. Betapa tidak, besok adalah hari pertamaku kerja. Yang menjadi  masalah, hari Selasa aku ada ujian di sekolahku di Bandung. Bisa dibayangkan, sepulang kerja besok, aku harus bertolak lagi ke Bandung. Rabunya masuk kerja lagi. Hahaha :(
Beginilah perjuangan anak yang sudah mendapatkan pekerjaan sebelum luolus SMK. Hahaha. Beruntung memang. Tapi juga tak mudah, mengingat aku masih memiliki urusan yang menyangkut kepentinganku dengan sekolah. Tapi aku bekerja begini secara ilegal, loh (baca: sepengetahuan sekolah).
Aku menulis ini di dalam bis. Sebenarnya aku tidak tahu mau menulis apa. Tidak ada yang menarik. Aku duduk di samping mas-mas yang sedang mendengarkan musik melalui headsetnya. Matanya lekat membaca aksara kecil-kecil yang berjejer pada sebah buku. Sekilas kulihat covernya tadi, itu buku Soe Hoek Gie.
Lalu kenapa aku menulis? Konyol banget buka-buka binder di tengah sepinya bis. Kenapa tak nanti saja menulis kalau sudah sampai? Mungkin hanya sedang kangen pada nulis. Atau terinspirasi si Addy Gembel. Setiap aku bosan, aku hampir selalu membuka blognya melalui ponsel. Dia banyak menceritakan perjalanan dalam tulisannya. Mengisahkan cerita harian, macam diary. Tapi bukan diary alay. You know what I mean, ya!
Tentu aku tahu, Addy Gembel tidak benar-benar menulis saat ia sedang dalam kereta atau bersepeda. Mungkin dia menulisnya setelah sampai ke rumah atau setelah beristirahat, aku tidak tahu. Tapi yang jelas, jika aku yang melakukannya, mungkin sesampainya di kosan aku malah jadi lupa atau malas karena capek. Hehe
Perjalanan seorang diri tentu mengundang sunyi. Meskipun kursi terisi penuh, tetap aku merasa sendirian. Tidak mungkin aku melakukan "diplomasi rokok" seperti si Addy. Pertama, ini bukan smooking area. Ke dua, aku tidak merokok!
Omong-omong, hujannya tambah besar. AC penumpang di belakangku justru mengarah ke kursiku. Sialan, dingin banget! Sementara cakrawala menggelap, hutan di kanan jalan tol mendadak mengerikan. Kabut turun mencium daun yang menggelayut pada dahan di pohonnya masing-masing. Jalanan licin dan rawan.
Di kiri kalan, kulihat senja hampir tiba. Ini tepat pukul 17.11. Jingga berpendar perlahan. Sesekali kilat nampak. Ah, perjalanan yang absurd...

3/07/2013

Kepada Senja II


Hubungan aku dan kamu hanya singkat saja. Tak lebih dari setahun lamanya. Sepanjang perjalanan kebanyakan kita habiskan dengan bertengkar dan jarang sekali bermesraan. Kita berangkat dari banyak kecocokan. Tapi kemudian kita dibukakan dengan jalan yang membentang di depan mata. Ternyata perbedaan kita tercecer di mana-mana.
Cukupkah bagimu waktu yang tak sampai setahun itu? Aku kira, kita bisa abadi. Tapi ternyata, hanya sampai di sini. Nyatanya, aku dan kamu masih tetap berjalan. Haya saja, kita tak lagi saling beriringan. Kita sudah enggan berdampingan.
Lagi-lagi aku tersadar. Kau memang benar serupa senja. Memang tak pernah bisa lama-lama. Awan yang sempat merona, akhirnya harus memucat dengan paksa.
Aku memang masih bisa menikmati kamu. Melebihi aku menikmati senja. Tanpa burung yang beterbangan, atau jemuran yang bergelantungan. Tapi menikmati kamu, memang seperti menikmati senja; semu. Pada akhirnya, kau akan tetap tenggelam di ujung jalan.Pulang membawa sejuta kenangan. Meninggalkan aku yang menggigil telanjang.



__170113__

Kepada Senja I


Mengapa senja yang menjadi umpama? Semburat kemerahan yang datang sebelum surya kembali ke peraduannya. Yang membuat awan-awan menjadi lebih merona dari biasanya. Tapi kehadirannya tak pernah bisa lama-lama.Selalu menghilang saat aku berusaha mengejarnya hingga ke ujung jalan. Ikut tenggelam bersama matahari yang sudah seharian mengemban penat. Tak ada asemburat cahaya. Tak ada rona tersisa.
Pada akhirnya, aku harus mengakui. Ya. Kau memang serupa senja. Datang mengindahkan hari-hariku. Tapi sungguh, tanpa bisa kutahan akau kuhentikan, kau akhirnya harus pergi juga. Tanpa pernah bisa memberiku kesempatan untuk bertanya; mengapa begitu cepat? Tanpa pernah menyiratkan jawaban memuaskan.
Dan semenjak itu, aku jadi candu menyaksikan senja. Sebelum ia datang, aku sudah siaga. Di atas loteng dengan jemuran-jemuran yang belum kering sepenuhnya. Dengan burung-burung yang terbang rendah tak tentu arah. Hingga akhirnya semburat jingga yang akan mengantarkanku pada gelapnya malam itu pun muncul.
Dalam balutan warna merah saga, ia selalu tampak anggun temayun. Dan semesta seperti kehilangan warna aslinya. Bahkan seperti yang kubilang, awan-awan menjadi lebih merona dari biasanya...




__140113__

bulannya ke mana? hahaha

Aku pernah membaca tulisan seorang teman. Dia bilang, hujan pada malam hari adalah sari-sari rembulan. Buktinya, kalau malam hujan, bulan tinggal sedikit penampakannya, atau bahkan tidak ada…
Semenjak membaca tulisan itu, aku sempat beberapa kali kepikiran. Tentu saja aku tahu itu hanya lelucon. Tapi belakangan, aku jadi benar-benar ingin merepresentasikannya dengan perasaanku saat ini.
Kamu tahu, mengapa semalam tadi langit kosong? Gelap maksimal. Tak ada satupun bintang, apalagi bulan. Aku percaya, rembulan malam itu tengah berkabung. Ia menguap perlahan, menjelma hujan. Semesta basah. Titik-titik air menjelma air mata duka cita. Bintang pun enggan tampak dan pamer cahaya, sebagai bentuk belasungkawa.
Suatu kesalahan, ketika kau malah sengaja keluar rumah. Berdiam diri merenung di beranda. Menengadah mengharap setitik cahaya. Sisa-sisa uap kesedihan rembulanlah yang justru membuatmu pilu semalaman. Menempel dan meresap ke dalam pori-pori tubuhmu. Bersarang dan menjerat erat ketika ia berhasil menemukan jiwamu.
Aku harap, kau tak usah berlama-lama berduka. Karena di sini, ada aku yang sedang tengadah menantikan setitik cahaya...darimu. Datanglah cepat, sebelum uap kesedihan rembulan ikut merasukiku!