Riana mengurung dirinya di kamar sejak pagi. Ia bahkan tak pergi ke kantor. Semua di luar kebiasaannya. Semalam
ia berdebat hebat dengan Aminah, orang tua satu-satunya yang ia punya setelah
kecelakaan hebat di udara tahun 2005 menghancurkan tubuh Rosadi , suami Aminah,
yang juga menghancurkan segenap perasaan Aminah dan keluarganya sampai kini.
“Aku ingin sekolah di STF, Bu.” Kalimat itu terlontar saat
Riana dan Aminah tengah menyantap makan malam mereka semalam.
Aminah terbatuk. Lalu menyeka mulutnya. Kemudian meneguk
habis air putih di gelasnya yang diisi tak penuh. Mengambil napas dalam. Mencoba
tenang.
Riana mengunyah makanannya pelan. Sebenarnya enggan, tapi
dipaksakan untuk dihabiskan. Sementara wanita baya yang duduk de seberangnya
menatap lekat.
“STF? Kenapa tidak mencari yang sealur dengan kompetensimu
di sekolah saja? Bukankah akan lebih menunjang pada kariermu?” Tanya Aminah dengan
nada selembut mungkin.
“Analisis kimia lagi? Aku jenuh, Bu. Semuanya begitu
membuatku pusing. Sepertinya aku tidak cocok di situ” kata Riana memberi alasan.
“Tidak cocok? Selama ini kamu bahkan selalu menduduki peringkat lima besar di kelas. Kami tahu kamu mampu,
Nak.”. Aminah menyebut kata kami.
Riana menghela napas panjang dengan pelan, berharap tak
terlihat ibunya, “Selama ini aku hanya berusaha bertanggung jawab atas jalan
yang sedang kuhadapi, Bu. Berharap segera selesai, tapi dengan nilai yang baik.
“Tidakkah kalian
lihat, dari kelas satu aku berjuang setiap hari sampai sering kali tidur
kelewat malam untuk anak seusiaku, karena harus berkutat dengan laporan dan
tugas yang begitu banyak? Setiap hari selama empat tahun hampir selalu pulang
sore, dan itu pun masih harus menyelesaikan tugas untuk esok harinya.
“Jangankan bermain dengan ‘normal’ seperti teman lain yang
sebaya, belajar untuk pelajaran esok hari pun sulit, karena hari ini aku pasti
megerjakan tugas untuk esoknya. Begitu seterusnya. Kerap kali aku mendapat
remedial karena nilaiku di bawah standar yang ditentukan. Aku memang tak
sendirian, teman-teman lain pun banyak yang senasib sama denganku dalam hal
itu. Bahkan banyak di antara mereka yang tiap tahunnya berguguran, menyerah
pada keadaan yang menekan kami habis-habisan. ”
Segalanya tertutur lancar dari bibir Riana. Hatinya mengalirkan
perasaan yang lama ingin membuncah, dan kini hampir semuanya seolah akan segera
tertumpah habis dan menjelma lewat untaian kata-kata. Riana memberikan jeda. Tapi belum ada tanda Aminah
akan berbicara. Aminah seolah paham masih banyak yang ingin disampaikan oleh
putrinya.
“Ibu tahu; aku senang membaca. Membaca apa saja. Tapi tidakkah
Ibu lihat kini; aku hampir jarang punya waktu luang untuk membaca. Buku yang Bi
Reni belikan sebulan lalu pun bahkan belum terjamah. Novel yang Ibu belikan waktu itu bahkan belum
tamat aku baca. Ya, mungkin terlalu naif berbicara seperti ini. Terlalu
berlebihan untuk berkata bahwa aku tak punya cukup waktu, bahkan hanya untuk
sekedar membaca.
Ibu juga tahu aku ingin menulis. Dan kita tahu bahwa untuk
menulis, kita harus sering membaca. Yang jelas, menulis buatku lebih
membutuhkan waktu dan suasana yang…kondusif. ”
Riana menarik napas, untuk yang ini, suaranya sempat
tercekat sebentar di tenggorokan. Tapi ia cepat menguasai kembali meski agak
tersendat, “Tapi di luar semua itu, apa kalian
sadar, kita jadi jarang berkumpul meski semua berada di rumah. Atau mungkin,
hanya aku saja yang merasakan. Karena kalian
merasa masih memiliki Dean? Sementara aku? Aku yang lebih banyak menghabiskan
waktu di sekolah, pulang ke rumah hanya untuk mandi, makan, lalu pergi ke kamar
dan berkutat dengan tugas sampai ketiduran… ”
Aminah berusaha menahan guncangan yang sedang menyerang
pertahanannya. Ia tak ingin terisak, setidaknya di hadapan Riana. Matanya memanas,
tapi dengan sebaik mungkin ia coba menguasai diri. “Jadi kamu menyesal?”
Riana tak kaget dengan pertanyaan itu. Seolah sudah menduga.
“Tidak.” Jawabnya mantap.
“Lalu apa maksudmu berkata demikian? Mengapa tak dari dulu
saja dibicarakan?”
“Aku sudah bilang, aku hanya ingin bertanggung jawab. Aku tak
ingin berhenti untuk menyelesaikan apa yang sudah kita mulai. Ya, kita. Kalian bertanggung
jawab membayar biayaku sekolah di sana selama empat tahun. Dan aku membayarnya
dengan… yah, kalian bisa lihat
sendiri. Apa yang aku ceritakan dari tadi juga cukup menggambarkan betapa aku
juga harus membayar mahal sebuah pilihan yang telah ditetapkan sebelumnya.”
Aminah menggeleng. “Kamu merasa berat karena dulu analisis
kimia itu sama sekali baru bagimu. Ibu yakin, di tahun-tahun setelahnya,
bebanmu tak seberat pertama kali sekolah. Lagipula lihat, belum genap sebulan
lulus, kamu sudah mendapat panggilan kerja di perusahaan ternama. Bekerja di
laboratorium besar dengan gaji memadai, seharusnya kamu bersyukur untuk itu. Dulu
kamu membayar mahal untuk bisa seperti sekarang ini, dan sekarang biarkan nasib
yang membayar pantas atas apa yang kauperjuangkan selama ini”
“Aku punya cita-cita, Bu..”
“Jangan mengorbankan apa yang sudah kamu dapat dengan susah
payah, demi seseuatu yang belum tentu lebih baik”
Riana mengangkat dagunya yang sedari tadi melunglai. “Ibu
meragukanku? Apa selama ini Ibu menganggap apa yang menjadi hobiku hanya
iseng-iseng belaka?”
“Semua butuh pembuktian, Nak. Dari semuanya, bukti yang
paling jelas adalah apa yang kaudapat.”
“Oh, Ibu benar-benar meragukanku? Karena tulisan-tulisanku
belum pernah ada yang dimuat? Karena setiap lomba menyanyi aku tak pernah juara
satu? Karena tak pernah bertahan lebih dari tiga bulan dalam band-band yang
pernah aku ikuti?” kali ini Riana hampir lepas kendali. Lupa denagn siapa ia
tengah berbicara.
Aminah tak kalah sengit. “Selama ini Ibu selalu mendukung
penuh apa yang menjadi hobimu. Ibu membelikan komputer untukmu menulis,
mengijinkanmu berlatih band, datang ke konser-konser underground yang kamu
senangi, menyempatkan hadir saat kamu lomba menyanyi… Ibu selalu mengerti
dengan kesenanganmu. Selama itu positif, Ibu bahkan tak membatasinya. Tapi kamu
harus membuka mata, dunia ini penuh persaingan. Apa kamu akan bertahan hidup jika
seperti itu terus?”
Mata Riana memerah. Ia tak tahan lagi. “Selama ini, aku
sudah menuruti apa mau kalian. Sekolah
di bidang analisis kimia dengan bertanggung jawab. Aku bersyukur, berkat
pilihan kalian kini kita semua bisa menuai hasilnya. Terimakasih. Tapi kumohon,
untuk kali ini biarkan aku yang menentukan pilihanku sendiri.” Air matanya tumpah.
Aminah tetap pada pendiriannya. “Kalau mau meneruskan
sekolah, pilihlah yang menunjang terhadap karirmu. Ibu hanya tak ingin ada yang
menyesal nantinya. Lagipula mau jadi apa kamu sekolah di STF? Ibadahmu saja
bahkan masih compang-camping. Mau menjadi atheis? Mau murtad? Jangan mempertaruhkan aqidah demi mengejar
apa yang kamu inginkan!”
Kuping Riana panas. Ia tak ingin lebih jauh lagi. Ia beranjak
ke kamar, meninggalkan Aminah yang duduk menatap beku pada makan malam mereka
yang telah lama dingin.
Sepanjang malam, Riana terjaga dalam redupnya cahaya yang terpancar
dari balkon di luar kamarnya. Perasaan kontra logika. Di satu sisi, ia
membenarkan perkataan ibunya. Di sisi yang lain, ia meyakini apa yang menjadi
tekadnya adalah benar.
Memangnya apa yang
salah dengan bersekolah di STF?
Mau jadi apa setelah
lulus kalau memang jadi sekolah di sana?
Kenapa banyak yang
meragukan, sih, kalau orang bisa hidup dari menulis atau menjadi musisi? Aku yakin,
seorang penulis atau musisi juga pernah mengalami masa-masa payah. Mereka tak
mungkin langsung punya skill tingkat dewa seperti pencapaiannya sekarang secara
instant.
‘Kamu merasa berat
karena dulu analisis kimia itu sama sekali baru bagimu’, kata Ibu. Apa iya, ya?
Kalau aku masuk STF nanti, apa aku juga akan merasa begitu? Karena filsafat
juga baru buatku.
Tapi aku ingin belajar
filsafat. Aku punya cita-cita. Bukankah, kita hidup untuk mencapai apa yang
menjadi tujuan kita? Dan sebagian dari tujuan hidup, terangkum dalam apa yang
dinamakan cita-cita? Kalau begitu, aku harus mengejarnya.
Selama empat tahun aku
ditempa di sekolah analisis kimia, aku bisa menuai hasilnya kini. Aku bisa
memperoleh uang dari keterampilanku. Bagaimana kalau uangnya aku kumpulkan
untuk biaya sekolah di STF nanti? Itu artinya, sekolahku selama empat tahun ini
telah turut andil dalam mewujudkan cita-citaku. Ya, kan?
Tapi, berapa lama aku
akan bertahan? Sejauh ini gajiku memang cukup, tapi kalau untuk sekolah, berapa
lama aku harus mengumpulkannya? Apa harus puas dengan bekerja seperti ini? Kalau
aku ingin naik pangkat, seharusnya aku meneruskan sekolah yang sesuai dengan
keahlianku; benar kata ibu. Untuk yang ini, aku bisa mengambil kelas karyawan. Aku
hanya butuh titel, ha! Sementara jika di
STF, aku harus mengambil kelas regular karena aku ingin menikmati tiap detik
apa yang disampaikan dosen di kelas, mengikuti club teater, ah…
Jadi aku harus
bagaimana? Memang, sih, aku punya beberapa buku bacaan tentang ilmu dasar
filsafat. Mungkin dengan sering membacanya dan menemui teman untuk berdiskusi,
aku bisa menyerap ilmunya. Kalau analisis kimia? Aduuuuh !!!!!!!!!!!!!!
Pertanyaan demi pertanyaan terus datang mengeruhkan pikiran
Riana. Ia berguling ke kiri, berpaling ke kanan. Tapi pikirannya kian kusut. Matanya
dipejam. Mulutnya merapal kalimat-kalimat indah, ditujukan pada Yang Maha Membolak-balikkan
hati manusia.
Sementara di ruangan lain, tetes air mata jatuh dari seorang
wanita paruh baya yang bersimpuh menghadap kiblat. Memohon belas kasih Tuhan
agar jangan berhenti memberkatinya dan kedua belahan jiwanya yang tersisa,
maupun belahan jiwanya yang lain yang telah menghadap-Nya.