5/04/2013

Dua Sisi


Riana mengurung dirinya di kamar sejak pagi. Ia bahkan tak  pergi ke kantor. Semua di luar kebiasaannya. Semalam ia berdebat hebat dengan Aminah, orang tua satu-satunya yang ia punya setelah kecelakaan hebat di udara tahun 2005 menghancurkan tubuh Rosadi , suami Aminah, yang juga menghancurkan segenap perasaan Aminah dan keluarganya sampai kini.
“Aku ingin sekolah di STF, Bu.” Kalimat itu terlontar saat Riana dan Aminah tengah menyantap makan malam mereka semalam.
Aminah terbatuk. Lalu menyeka mulutnya. Kemudian meneguk habis air putih di gelasnya yang diisi tak penuh. Mengambil napas dalam. Mencoba tenang.
Riana mengunyah makanannya pelan. Sebenarnya enggan, tapi dipaksakan untuk dihabiskan. Sementara wanita baya yang duduk de seberangnya menatap lekat.
“STF? Kenapa tidak mencari yang sealur dengan kompetensimu di sekolah saja? Bukankah akan lebih menunjang pada kariermu?” Tanya Aminah dengan nada selembut mungkin.
“Analisis kimia lagi? Aku jenuh, Bu. Semuanya begitu membuatku pusing. Sepertinya aku tidak cocok di situ” kata Riana memberi alasan.
“Tidak cocok? Selama ini kamu bahkan selalu menduduki peringkat  lima besar di kelas. Kami tahu kamu mampu, Nak.”. Aminah menyebut kata kami.
Riana menghela napas panjang dengan pelan, berharap tak terlihat ibunya, “Selama ini aku hanya berusaha bertanggung jawab atas jalan yang sedang kuhadapi, Bu. Berharap segera selesai, tapi dengan nilai yang baik.
“Tidakkah kalian lihat, dari kelas satu aku berjuang setiap hari sampai sering kali tidur kelewat malam untuk anak seusiaku, karena harus berkutat dengan laporan dan tugas yang begitu banyak? Setiap hari selama empat tahun hampir selalu pulang sore, dan itu pun masih harus menyelesaikan tugas untuk esok harinya.
“Jangankan bermain dengan ‘normal’ seperti teman lain yang sebaya, belajar untuk pelajaran esok hari pun sulit, karena hari ini aku pasti megerjakan tugas untuk esoknya. Begitu seterusnya. Kerap kali aku mendapat remedial karena nilaiku di bawah standar yang ditentukan. Aku memang tak sendirian, teman-teman lain pun banyak yang senasib sama denganku dalam hal itu. Bahkan banyak di antara mereka yang tiap tahunnya berguguran, menyerah pada keadaan yang menekan kami habis-habisan. ”
Segalanya tertutur lancar dari bibir Riana. Hatinya mengalirkan perasaan yang lama ingin membuncah, dan kini hampir semuanya seolah akan segera tertumpah habis dan menjelma lewat untaian kata-kata. Riana  memberikan jeda. Tapi belum ada tanda Aminah akan berbicara. Aminah seolah paham masih banyak yang ingin disampaikan oleh putrinya.
“Ibu tahu; aku senang membaca. Membaca apa saja. Tapi tidakkah Ibu lihat kini; aku hampir jarang punya waktu luang untuk membaca. Buku yang Bi Reni belikan sebulan lalu pun bahkan belum terjamah.  Novel yang Ibu belikan waktu itu bahkan belum tamat aku baca. Ya, mungkin terlalu naif berbicara seperti ini. Terlalu berlebihan untuk berkata bahwa aku tak punya cukup waktu, bahkan hanya untuk sekedar membaca.
Ibu juga tahu aku ingin menulis. Dan kita tahu bahwa untuk menulis, kita harus sering membaca. Yang jelas, menulis buatku lebih membutuhkan waktu dan suasana yang…kondusif. ”
Riana menarik napas, untuk yang ini, suaranya sempat tercekat sebentar di tenggorokan. Tapi ia cepat menguasai kembali meski agak tersendat, “Tapi di luar semua itu, apa kalian sadar, kita jadi jarang berkumpul meski semua berada di rumah. Atau mungkin, hanya aku saja yang merasakan. Karena kalian merasa masih memiliki Dean? Sementara aku? Aku yang lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah, pulang ke rumah hanya untuk mandi, makan, lalu pergi ke kamar dan berkutat dengan tugas sampai ketiduran… ”
Aminah berusaha menahan guncangan yang sedang menyerang pertahanannya. Ia tak ingin terisak, setidaknya di hadapan Riana. Matanya memanas, tapi dengan sebaik mungkin ia coba menguasai diri. “Jadi kamu menyesal?”
Riana tak kaget dengan pertanyaan itu. Seolah sudah menduga. “Tidak.” Jawabnya mantap.
“Lalu apa maksudmu berkata demikian? Mengapa tak dari dulu saja dibicarakan?”
“Aku sudah bilang, aku hanya ingin bertanggung jawab. Aku tak ingin berhenti untuk menyelesaikan apa yang sudah kita mulai. Ya, kita. Kalian bertanggung jawab membayar biayaku sekolah di sana selama empat tahun. Dan aku membayarnya dengan… yah, kalian bisa lihat sendiri. Apa yang aku ceritakan dari tadi juga cukup menggambarkan betapa aku juga harus membayar mahal sebuah pilihan yang telah ditetapkan sebelumnya.”
Aminah menggeleng. “Kamu merasa berat karena dulu analisis kimia itu sama sekali baru bagimu. Ibu yakin, di tahun-tahun setelahnya, bebanmu tak seberat pertama kali sekolah. Lagipula lihat, belum genap sebulan lulus, kamu sudah mendapat panggilan kerja di perusahaan ternama. Bekerja di laboratorium besar dengan gaji memadai, seharusnya kamu bersyukur untuk itu. Dulu kamu membayar mahal untuk bisa seperti sekarang ini, dan sekarang biarkan nasib yang membayar pantas atas apa yang kauperjuangkan selama ini”
“Aku punya cita-cita, Bu..”
“Jangan mengorbankan apa yang sudah kamu dapat dengan susah payah, demi seseuatu yang belum tentu lebih baik”
Riana mengangkat dagunya yang sedari tadi melunglai. “Ibu meragukanku? Apa selama ini Ibu menganggap apa yang menjadi hobiku hanya iseng-iseng belaka?”
“Semua butuh pembuktian, Nak. Dari semuanya, bukti yang paling jelas adalah apa yang kaudapat.”
“Oh, Ibu benar-benar meragukanku? Karena tulisan-tulisanku belum pernah ada yang dimuat? Karena setiap lomba menyanyi aku tak pernah juara satu? Karena tak pernah bertahan lebih dari tiga bulan dalam band-band yang pernah aku ikuti?” kali ini Riana hampir lepas kendali. Lupa denagn siapa ia tengah berbicara.
Aminah tak kalah sengit. “Selama ini Ibu selalu mendukung penuh apa yang menjadi hobimu. Ibu membelikan komputer untukmu menulis, mengijinkanmu berlatih band, datang ke konser-konser underground yang kamu senangi, menyempatkan hadir saat kamu lomba menyanyi… Ibu selalu mengerti dengan kesenanganmu. Selama itu positif, Ibu bahkan tak membatasinya. Tapi kamu harus membuka mata, dunia ini penuh persaingan. Apa kamu akan bertahan hidup jika seperti itu terus?”
Mata Riana memerah. Ia tak tahan lagi. “Selama ini, aku sudah menuruti apa mau kalian. Sekolah di bidang analisis kimia dengan bertanggung jawab. Aku bersyukur, berkat pilihan kalian kini kita semua bisa menuai hasilnya. Terimakasih. Tapi kumohon, untuk kali ini biarkan aku yang menentukan pilihanku sendiri.” Air matanya tumpah.
Aminah tetap pada pendiriannya. “Kalau mau meneruskan sekolah, pilihlah yang menunjang terhadap karirmu. Ibu hanya tak ingin ada yang menyesal nantinya. Lagipula mau jadi apa kamu sekolah di STF? Ibadahmu saja bahkan masih compang-camping. Mau menjadi atheis? Mau murtad?  Jangan mempertaruhkan aqidah demi mengejar apa yang kamu inginkan!”
Kuping Riana panas. Ia tak ingin lebih jauh lagi. Ia beranjak ke kamar, meninggalkan Aminah yang duduk menatap beku pada makan malam mereka yang telah lama dingin.
Sepanjang malam, Riana terjaga dalam redupnya cahaya yang terpancar dari balkon di luar kamarnya. Perasaan kontra logika. Di satu sisi, ia membenarkan perkataan ibunya. Di sisi yang lain, ia meyakini apa yang menjadi tekadnya adalah benar.
Memangnya apa yang salah dengan bersekolah di STF?
Mau jadi apa setelah lulus kalau memang jadi sekolah di sana?
Kenapa banyak yang meragukan, sih, kalau orang bisa hidup dari menulis atau menjadi musisi? Aku yakin, seorang penulis atau musisi juga pernah mengalami masa-masa payah. Mereka tak mungkin langsung punya skill tingkat dewa seperti pencapaiannya sekarang secara instant.
‘Kamu merasa berat karena dulu analisis kimia itu sama sekali baru bagimu’, kata Ibu. Apa iya, ya? Kalau aku masuk STF nanti, apa aku juga akan merasa begitu? Karena filsafat juga baru buatku.
Tapi aku ingin belajar filsafat. Aku punya cita-cita. Bukankah, kita hidup untuk mencapai apa yang menjadi tujuan kita? Dan sebagian dari tujuan hidup, terangkum dalam apa yang dinamakan cita-cita? Kalau begitu, aku harus mengejarnya.
Selama empat tahun aku ditempa di sekolah analisis kimia, aku bisa menuai hasilnya kini. Aku bisa memperoleh uang dari keterampilanku. Bagaimana kalau uangnya aku kumpulkan untuk biaya sekolah di STF nanti? Itu artinya, sekolahku selama empat tahun ini telah turut andil dalam mewujudkan cita-citaku. Ya, kan?
Tapi, berapa lama aku akan bertahan? Sejauh ini gajiku memang cukup, tapi kalau untuk sekolah, berapa lama aku harus mengumpulkannya? Apa harus puas dengan bekerja seperti ini? Kalau aku ingin naik pangkat, seharusnya aku meneruskan sekolah yang sesuai dengan keahlianku; benar kata ibu. Untuk yang ini, aku bisa mengambil kelas karyawan. Aku hanya butuh titel, ha!  Sementara jika di STF, aku harus mengambil kelas regular karena aku ingin menikmati tiap detik apa yang disampaikan dosen di kelas, mengikuti club teater, ah…
Jadi aku harus bagaimana? Memang, sih, aku punya beberapa buku bacaan tentang ilmu dasar filsafat. Mungkin dengan sering membacanya dan menemui teman untuk berdiskusi, aku bisa menyerap ilmunya. Kalau analisis kimia? Aduuuuh !!!!!!!!!!!!!!
Pertanyaan demi pertanyaan terus datang mengeruhkan pikiran Riana. Ia berguling ke kiri, berpaling ke kanan. Tapi pikirannya kian kusut. Matanya dipejam. Mulutnya merapal kalimat-kalimat indah, ditujukan pada Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia.
Sementara di ruangan lain, tetes air mata jatuh dari seorang wanita paruh baya yang bersimpuh menghadap kiblat. Memohon belas kasih Tuhan agar jangan berhenti memberkatinya dan kedua belahan jiwanya yang tersisa, maupun belahan jiwanya yang lain yang telah menghadap-Nya.