p e t r i c h o r |
9/27/2015
Nite Dear
Kepada malam,
Telah kuserahkan sepenggal kisah sunyi masa lalu
Sayatannya masih menyisakan luka tanpa pernah beku
Aku hanya bisa membisu
Menelan luka biru
Tanpa bisa membawa kembali senyum yang pernah kutitipkan pada senja
Karena ia mungkin lupa
Menganggap aku tak pernah ada
Telah kuserahkan sepenggal kisah sunyi masa lalu
Sayatannya masih menyisakan luka tanpa pernah beku
Aku hanya bisa membisu
Menelan luka biru
Tanpa bisa membawa kembali senyum yang pernah kutitipkan pada senja
Karena ia mungkin lupa
Menganggap aku tak pernah ada
16-08-2012
*nemu puisi ini setelah bongkar-bongkar file di PC.
tulisan tiga tahun lalu...
9/25/2015
Rupa-rupa Warnanya
Kamis, 24 September kemarin gue ke Bogor. Start dari kosan gue di Cikarang. Sendirian lhooo ^^
Setelah bertanya, rutenya seperti ini: dari Cikarang naik elf 50 ke Bekasi Timur. Dilanjut naik bis jurusan ke Bogor sampai Terminal Baranang Siang. Karena pertama kalinya ke Bogor naik angkutan umum, bukan Nabilla namanya kalo gak bingung.
Setibanya di Bekasi Timur, banyak banget bis-bis yang akan berangkat ke berbagai tempat, khususnya Jakarta. Preman, calo, pedagang asongan, dan calon penumpang berjejal membuat pemandangan terkesan kumuh di bawah matahari menjelang siang.
"Ke mana, Neng?" tanya seorang calo berbadan tambun. Kulitnya gelap dengan wajah tak bersahabat. Caranya bertanya seperti ngajak gue berantem.
"Bogor, Bang." jawab gue cuek.
"Naik, naik!" dia menggiring gue ke bis yang paling depan.
Gue mengekor di belakangnya. Lalu gue melihat calo yang lain. Iseng gue bertanya, "Bogor, Bang?" tanya gue sembari nunjuk bis yang dimaksud Calo Pertama.
"Enggak, Neng. Bukan yang itu," dia lalu menepuk pundak gue, nyuruh balik arah.
Calo Pertama nyolot ke Calo Kedua, "Eh t*i lu, ngapain so pahlawan?!"
"Ya kan dia mau ke Bogor. Ngapain lu suruh naik yang itu?"
Mata si Calo Satu nyalang.
Gue gak kalah berang, "Lu yang bener dong kalo ngasih tau!" teriak gue sambil berlalu.
"Halah padahal dia naik tuh kalo lu gak ngasih tau. Sok pahlawan, t*i lu!" teriaknya ke Calo Kedua. Mengalahkan bisingnya suara kendaraan yang lalu lalang.
Preman Kedua berlalu tak peduli. Lalu ngobrol dengan ibu-ibu penjual minuman di depan gue. Mereka berbahasa Batak, gue kira. Gue melempar senyum ke si Calo Kedua sambil sedikit mengangguk, sebagai bentuk respect ke dia.
Dia nyamperin. "Makasih tadi, Bang."
"Sama-sama, Neng. Hari gini orang nyari duit banyak yang begitu; gak jujur" katanya. Mukanya sangar. Perawakannya kurus dengan tattoo di lengan kanan. Di lehernya tergantung kalung salib.
"Iya. Bisa brabe kalo tadi saya naik. Haha."
Terus dia nanya mau ngapain ke Bogor. Nanya juga kelas berapa sekolahnya. Haha. Meskipun sangar, tapi nampak gak berbahaya atau kurang ajar. Barangkali dia preman yang masih takut dengan Tuhan. Hehe
Di kejauhan, bis menuju Bogor datang. "Sini, Neng. Yang ini," katanya.
Dan gue pun naik bis yang benar. Ke Bogor pun selamat dan senang. Haha. Makasih Abang Calo yang baik. Dari sini gue tau, gak semua orang yang kelihatannya buruk itu jahat. Malah banyak kok, yang keliatannya baik-baik, justru lebih jahat dibanding penjahat..
Setelah bertanya, rutenya seperti ini: dari Cikarang naik elf 50 ke Bekasi Timur. Dilanjut naik bis jurusan ke Bogor sampai Terminal Baranang Siang. Karena pertama kalinya ke Bogor naik angkutan umum, bukan Nabilla namanya kalo gak bingung.
Setibanya di Bekasi Timur, banyak banget bis-bis yang akan berangkat ke berbagai tempat, khususnya Jakarta. Preman, calo, pedagang asongan, dan calon penumpang berjejal membuat pemandangan terkesan kumuh di bawah matahari menjelang siang.
"Ke mana, Neng?" tanya seorang calo berbadan tambun. Kulitnya gelap dengan wajah tak bersahabat. Caranya bertanya seperti ngajak gue berantem.
"Bogor, Bang." jawab gue cuek.
"Naik, naik!" dia menggiring gue ke bis yang paling depan.
Gue mengekor di belakangnya. Lalu gue melihat calo yang lain. Iseng gue bertanya, "Bogor, Bang?" tanya gue sembari nunjuk bis yang dimaksud Calo Pertama.
"Enggak, Neng. Bukan yang itu," dia lalu menepuk pundak gue, nyuruh balik arah.
Calo Pertama nyolot ke Calo Kedua, "Eh t*i lu, ngapain so pahlawan?!"
"Ya kan dia mau ke Bogor. Ngapain lu suruh naik yang itu?"
Mata si Calo Satu nyalang.
Gue gak kalah berang, "Lu yang bener dong kalo ngasih tau!" teriak gue sambil berlalu.
"Halah padahal dia naik tuh kalo lu gak ngasih tau. Sok pahlawan, t*i lu!" teriaknya ke Calo Kedua. Mengalahkan bisingnya suara kendaraan yang lalu lalang.
Preman Kedua berlalu tak peduli. Lalu ngobrol dengan ibu-ibu penjual minuman di depan gue. Mereka berbahasa Batak, gue kira. Gue melempar senyum ke si Calo Kedua sambil sedikit mengangguk, sebagai bentuk respect ke dia.
Dia nyamperin. "Makasih tadi, Bang."
"Sama-sama, Neng. Hari gini orang nyari duit banyak yang begitu; gak jujur" katanya. Mukanya sangar. Perawakannya kurus dengan tattoo di lengan kanan. Di lehernya tergantung kalung salib.
"Iya. Bisa brabe kalo tadi saya naik. Haha."
Terus dia nanya mau ngapain ke Bogor. Nanya juga kelas berapa sekolahnya. Haha. Meskipun sangar, tapi nampak gak berbahaya atau kurang ajar. Barangkali dia preman yang masih takut dengan Tuhan. Hehe
Di kejauhan, bis menuju Bogor datang. "Sini, Neng. Yang ini," katanya.
Dan gue pun naik bis yang benar. Ke Bogor pun selamat dan senang. Haha. Makasih Abang Calo yang baik. Dari sini gue tau, gak semua orang yang kelihatannya buruk itu jahat. Malah banyak kok, yang keliatannya baik-baik, justru lebih jahat dibanding penjahat..
No Regret
Ada hal yang mengusik gue beberapa waktu ke belakang.
Pasca hilangnya notebook gue, gue sempet ngerasa tenang karena gue pikir, gue masih punya back up salah satu data terpenting di flashdisk. Tapi setelah gue cari, jangankan data penting itu. Data lain yang gak begitu penting pun gak ada!
Sebenarnya, isinya cuma tulisan. Yang bahkan pernah bikin gue diputusin (waktu itu masih punya pacar) gara-gara isinya. Judulnya 'Ceri'. Kira-kira dibuat sekitar Februari 2015. It isn't the nice one, but the honest one. Gue kesel karena gak mungkin bisa bikin tulisan yang sama persis di dunia ini.
Ceritanya itu cerpen. Yup, cuma cerpen. Tapi cerpen terjujur yang mengalir dari diri gue. Tentang mengagumi seseorang yang bahkan gue gak kenal dia siapa. Gue mengaguminya karena dia punya nama yang bagus. Cuma karena itu? Haha. Sepele banget, ya. Bahkan ketika gue diputusin, gue gak mengelak. Gue cuma bilang, "gue menulis apa yg pngen gue tulis. kalo menurut lo gue salah, gue minta maaf."
Ga ada sesal. Justru plong karena gue bisa menelurkan kejujuran yang selama ini mengendap dalam hati. Meskipun cuma lewat tulisan. Walaupun gak akan pernah sampai ke orang yang bersangkutan.
Apa mau buat?
Pasca hilangnya notebook gue, gue sempet ngerasa tenang karena gue pikir, gue masih punya back up salah satu data terpenting di flashdisk. Tapi setelah gue cari, jangankan data penting itu. Data lain yang gak begitu penting pun gak ada!
Sebenarnya, isinya cuma tulisan. Yang bahkan pernah bikin gue diputusin (waktu itu masih punya pacar) gara-gara isinya. Judulnya 'Ceri'. Kira-kira dibuat sekitar Februari 2015. It isn't the nice one, but the honest one. Gue kesel karena gak mungkin bisa bikin tulisan yang sama persis di dunia ini.
Ceritanya itu cerpen. Yup, cuma cerpen. Tapi cerpen terjujur yang mengalir dari diri gue. Tentang mengagumi seseorang yang bahkan gue gak kenal dia siapa. Gue mengaguminya karena dia punya nama yang bagus. Cuma karena itu? Haha. Sepele banget, ya. Bahkan ketika gue diputusin, gue gak mengelak. Gue cuma bilang, "gue menulis apa yg pngen gue tulis. kalo menurut lo gue salah, gue minta maaf."
Ga ada sesal. Justru plong karena gue bisa menelurkan kejujuran yang selama ini mengendap dalam hati. Meskipun cuma lewat tulisan. Walaupun gak akan pernah sampai ke orang yang bersangkutan.
Apa mau buat?
5/18/2015
Libur dan Sakit; Dua Hal yang emmmh
Liburan empat hari dan gue sakit. Sebenernya gue masih bisa
lincah seperti biasa. Hanya saja harus rada menahan diri sedikit. Tubuh gue
sekarang ini sedang menjadi inang bagi suatu virus menyebalkan –dan rada
berbahaya kalo gak segera dihandle. Ini bermula dari kejadian gue nginep dengan
terpaksa di salah satu temen kerja. Gue gak pernah membiasakan diri
nginep-nginep kalo gak terpaksa. Hiks
Gara-gara kondisi badan yang gak fit, alhasil gak mampu
mempertahankan kekebalan tubuh. Tapi gue yakin bentar lagi juga sembuh. Insha
Allah. Waktu Jumat siang udah diperiksain. Dan gue membawa oleh-oleh berupa
obat-obatan yang harus gue habiskan tentunya.
Menilik sisi baiknya adalah gue jadi teratur makan. Karena
harus minum obat tiga kali sehari, otomatis pola makan gue jadi disesuaikan.
Yah, barangkali Allah ngasih gue sakit begini biar gue membenahi apa yang
selama ini salah di gue. Makan berantakan, istirahat semaunya –sesempatnya. Dan
mungkin juga ini adalah jalan biar gue bisa memperbaiki dan meningkatkan berat
badan yang kian mengkhawatirkan ini. Hahaha
Sebelumnya, makan teratur adalah hal langka bagi gue. Gue
males banget makan kalo gak laper-laper banget. Apalagi kalo udah menekuni
sesuatu dengan serius, bisa bablas deh. Setelah gue pikir-pikir, mungkin itu
adalah salah satu sifat kufur nikmat yang udah gue lakukan. Di saat orang lain
ada yang gak makan karena gak mampu, gue
malah gak makan karena gak mau. Astaghfirullah,
semoga Allah mengampuni.
Aneh, sih. Saat gue merasa
gak laper tapi udah waktunya makan, gue harus
benar-benar memaksakan diri untuk makan. Apalagi kondisi seperti sekarang,
saat isi kulkas nyaris kosong oleh bahan mentah, hanya ada telur (andalan gue
yang kemarin dipantang sementara sama dokter) dan camilan, maka gue harus nyari
makan ke warteg atau apapun itu tempat yang menjual sesuatu yag bisa gue makan.
Pokoknya harus, karena gue niat lillahi ta’ala pengen sembuh. Sebut saja ini
bagian dari ‘perjuangan’ buat sembuh. Hehe
Karena sakit, gue gak pulang ke Bandung. Bahkan gue gak
ngabarin keadaan gue yang begini ke
keluarga gue. Kegiatan lain yang gue lakukan selama liburan ini adalah mewarnai
gambar dan mencuci baju. Beneran deh, gue seneng banget dari Jumat sampai Sabtu
nyuci pakaian segambreng. Bahkan Minggu mencuci baju bekas gue pakai malemnya. Kenapa
senang? Karena gue bisa menjemurnya langsung di bawah sinar matahari. Jadi
sehari aja udah kering dan gak lembap, gak kayak nyuci di hari kerja yang gue
jemur di kamar mandi. Yeeeay! *jangan berpikir gue aneh*
Alhamdulillah gue bisa mengisi libur dengan hal-hal yang
bermanfaat dan gak ngabisin banyak uang (walaupun minim hiburan). Meskipun
sedang gak sehat, gak berarti gue harus bergelung terus di kasur kayak naga
yang udah kenyang. Kalo kata Bu #ESO mah; Kalau kita berpikir sakit, maka kita
akan merasa sakit. Dan itu adalah
kalimat yang gue amini sampai sekarang –dan mungkin selamanya. Tetap gembira,
selagi kita bisa J
Salam.
5/09/2015
Syauqi Alief Attar
Ada yang kenal dengan Syauqi Alief Attar?
Gue udah pernah search
nama itu di Om Gugel. Gak nemu informasi yang memuaskan, ah! Pentingkah dia? Hmm, sebenarnya gue cuma
penasaran aja, sih. Atau jangan-jangan, nama itu gak pernah ada. Hanya nama
samaran, atau nama pena.
Kenapa gue nanya si Syauqi itu?
Seperti biasa, kita bertele-tele dulu lah sebentar:
Waktu itu sekitar kelas empat atau lima SD. Karena hanya
memiliki edikit sekali buku bacaan di rumah, maka gue akan membaca apa saja
selama menurut gue isinya menarik. Mulai dari cerpen di koran Minggu, sampai
buku pelajaran SMA milik salah satu kakak sepupu gue.
Khusus untuk buku pelajaran, gue paling senang sama Bahasa
Indonesia karena biasanya memuat beberapa cerpen dan dialog singkat. Ada juga
puisi, yang emang gue seneng banget sampai-sampai gue ngumpulin karangan puisi
gue di salah satu buku khusus. Walaupun dalam membuat puisi gue Cuma bisa bikin
yang standar tanpa banyak makna kias, buat gue itu semua adalah hiburan yang
menyenangkan.
Di antara buku-buku kakak gue yang sering gue kepoin itu, ada
juga majalah bulanan atau mungkin tri wulanan sekolahnya. Isinya macem-macem. Ada
profil guru dan atau murid pilihan, kiriman puisi atau cerpen, dan dari majalah
itu pula untuk pertama kalinya gue tau istilah “anekdot”, hehe...
Gue seneng berlama-lama di rubrik puisi. Ada puisi kiriman
murid, ada pula yang kutipan dari penyair tanah air. Kadang suka berkomentar
sendiri dengan bacaan yang ada di situ. Nah, ada sebuah puisi yang entah
mengapa sampai sekarang bisa gue hapal di luar kepala. Judulnya “Bahasa
Gelombang”. Nama penulisnya, ya itu, si Syauqi Alief Attar itu.
Meski gue belum terlalu paham , tapi menurut gue isinya
memikat. Gue suka sama diksinya. Gaya bahasanya juga. Begini puisinya. Maaf kalo
penggalan kalimatnya salah, soalnya gue cuma inget isinya doang. Hehe
Sudah lelahKe hutan-hutan seorang penyairDikejar diam ke dalam batu-batuEmbun berangkat ke langit-langit dadanyaDan pada rumput, matahari mabukMengguncang darah jam yang tak kunjung pejamDalam simpuh tembang luka mengekalDan di dasar sujud;Gelombang pulang
Ya Allah, Tuhan. Maha Suci Engkau yang menganugerahkan daya
pikir dan kreativitas pada kami; manusia. Selain “Aku” milik Chairil Anwar,
maka Bahasa Gelombang bisa jadi adalah satu lagi puisi yang bisa gue hapal di luar
nalar.
Istimewa. Seolah saya
terbius pada kata-katanya; Merindu
pohon-pohon belukar || Mengguncang
darah jam yang tak kunjung pejam... dan kalimat lain sampai tamat.
Jika ada yang tahu siapa dia, kasih info ke gue ya. Gue penasaran.
Mungkin jaraknya sudah sepuluh tahun sejak pertama kali gue membacanya. Tapi buat
gue, puisi itu selalu terdengar segar. Meski mungkin tak sesegar makna yang
dikandungnya.
Jadi semakin pengen gue masuk sastra, namun semakin nampak
pula bahwa keinginan itu sudah seperti oasis bagi gue yang terdampar di Gurun
Entah-berantah ini :’)
5/08/2015
DUNIA BATAS
Itu dia judul dari lukisan pertama gue. Gambar sesederhana
itu awalnya dibuat begitu saja tanpa arti. Sampai suatu hari gue pengen ngasih
dia nama. Kemudian gue cermati lagi gambarnya. Mungkin kalau orang lain akan
melukis apa yang ingin dia ekspresikan lewat gambar, maka gambar gue hanya
gambar biasa yang terbentuk dari tangan yang ingin bergerak seenaknya.
Dunia Batas. Bukan nama album Payung Teduh, ya. Hehe... Nama
boleh sama, tapi filosofinya boleh lah beda. Ngarang sendiri ini mah.
Lihat kalimat description di blog gue! “Kebebasan itu omong
kosong!”. Oh, tentu aja, Sayang. Bagaimana tidak? Gak ada kebebasan yang mutlak
di dunia ini. Ada, tapi bukan milik manusia. Kalo kamu gak setuju, maka gue gak
peduli. Hehe.
Bahkan sejak membuka mata untuk pertama kali di muka bumi
ini, kita tidak bisa bebas memilih ingin lahir dari rahim Siapa. Nah loh. Masih
percaya pada kebebasan? Buat gue, kata bebas
yang diberi imbuhan ke-an itu hanya omong-kosong-besar.
Kebebasan itu nyata, tapi gak pernah benar-benar nyata
sepenuhnya. Akan ada yang namanya batas, baik dari pengaruh luar maupun faktor
dari dalam diri kita. Ada yang namanya peraturan. Ada sesuatu yang kita sebut
keterbatasan. Ketidakmampuan.
Bangunlah kalian, wahai orang-orang yang masih mengagungkan
kalimat pembangkit percaya diri, “Hidup gue terserah gue!”. Kita memegang
kemudi atas hidup kita, tapi ada Yang Maha Mengendalikan. Dan itu bukan kita.
Bukan!
Kurang lebih itulah yang gue dapatkan setelah melihat lagi
lukisan gue. Bukan lukisan yang bagus. Sama sekali bukan. Yang anak SD
sekalipun bisa bikin yang lebih bagus. Tapi di sana gue sadar, jika dalam
kehidupan yang kita lihat begitu banyak kesamaan, sebenarnya masih banyak yang belum
kita tengok di luar sana.
Lingkaran yang kecil, yang lebih besar, mereka terkungkung
dalam bilik merah. Segitiga di sana bebas ingin menghadap ke mana, tapi mereka
hanya ada di area biru saja. Juga yang lainnya. Andaikata gue gak membuatnya
terbagi dalam empat sekat, gambar-gambar di dalamnya tetap akan dibatasi oleh garis
pinggir. Jika pun gue sengaja menghilangkan garis pinggirnya, maka ukuran
kanvas yang hanya 30x30 cm itu adalah mentok membatasi bagun-bangun di
permukaannya. Gue gak pandai menafsirkan gambar. Tapi kurang lebihnya ya gitu
yang gue paham.
Silakan, nikmati kebebasan-yang-berbatas yang mengkungkung
diri kita dengan bijak. Terkadang, membangun batasan dari peluang bebas dalam
hidup justru perlu.
5/07/2015
Keimanan
Hasrat menulis hari ini dipersembahkan oleh Shaffix yang
lagi nyanyi di dalam netbook gue.
Pertama denger lagu ini waktu SMP. “Dikenalin” sama Pak
Nandang Sutiana, guru Tahfidz yang juga merangkap pembimbing ekskul Nasyid di
sekolah gue waktu itu. Ya. Gue yang tengil ini, begini-begini juga pernah
ikutan nasyid. Hahaha
Kalau gak salah, waktu itu hari Kamis. Maaf kalo salah,
soalnya udah sekitar delapan tahun yang lalu. Wew. Dari tape yang dibawa dari ruang guru, Pak Nandang memutar sebuah kaset.
Kami yang berkumpul di ruangan kemudian mendengar lagu itu mengalun untuk
pertama kali;
Andai matahari di tangan kanankuTakkan mampu merubah yakinkuTerpatri dan takkan terbeliDalam lubuk hatiBilakah rembulan di tangan kirikuTakkan sanggup mengganti imankuJiwa dan raga iniApapun adanya***Andaikan seribu siksaanTerus melambai-lambaikan derita yang mendalamSeujung rambut pun aku takkan bimbangJalan ini yang kutempuhBilakah ajal kan menjelangJemput rindu-rindu syahid yang penuh kenikmatanCintaku hanya untuk-MuTetapkan imanku selalu
Speechless kita.
Hingga detik terakhir lagu itu selesai mengalun, beberapa
saat kami terdiam. Tertegun. Tertawan dalam suara merdu. Musik yang syahdu. Lirik
yang membikin kami terpekur khusyu’.
Lagu itu tidak dipedengarkan terus-menerus selama kami
latihan di minggu-minggu berikutnya. Tidak juga satu pun di antara kami yang
mengoleksi lagunya di handphone. Dulu
handphone masih jarang yang bagus dan
multifunction seperti sekarang. Download di internet pun tak
terpikirkan. Untuk membeli kasetnya, gue harus pikir-pikir lagi karena uang dua
puluh ribu rupiah saat itu susah banget buat gue.
Tapi sampai hari ini; delapan tahun setelah itu, gue (Alhamdulillah)
masih bisa mengingat bagaimana lagu itu dengan indahnya merambat lewat gelombang
udara tanpa terlihat. Dan pada hari ini pula, secara ilegal gue mendapatkan
lagunya. Dapet download. Eh, ilegal
gak sih? Hehe
Lirik lagunya dalem, tapi gak lebay. Diramu dengan instrumen
yang lembut dan suara yang merdu, dihayati banget kayaknya dia nyanyi. Menjadikannya
racikan yang pas untuk sebuah lagu religi. Bagi yang belum denger lagunya,
silakan dicari.
Mudah-mudahan setelah lagunya menguar bersama udara yang
kita hirup ini, akan ada suatu nilai tambah pada diri kita. Diam-diam gue jadi
bersyukur, dilahirkan dalam keluarga yang (sudah) beragama muslim. Alhamdulillah.
Keyakinan dalam hal ini adalah harga mati. Gue lahir sebagai muslim, mati pun
harus dalam keadaan muslim. Yang khusnul
khatimah, mudah-mudahan. Aamiin. Bukan cuma muslim yang bisa diidentifikasi
dari kartu identitas semata.
Kosan Kuning,
07 Mei 2015.
5/04/2015
Tanda Tanya
hujan kerap membawa ingatan terbang
menembus jarak jutaan tahun cahaya
namun kali ini,
ia tak membawaku ke manapun
aku masih di sini;
masih mencari, menggali
di mana jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah sampai ke tanda tanya
kosan kuning, Mei 2015
5/03/2015
me and arts
April 22nd, 2015
Katanya tidak ada yang salah dalam seni. Gue sendiri
sebenarnya tidak begitu mengerti tentang seni. Tapi yang jelas gue menikmati
beberapa darinya. Gue menikmati menonton seni tari, musik tradisional,
fotografi, lukisan, dan lainnya.
Menikmati seni, belum tentu juga bisa melakukannya. Gue gak
cukup lentur dan gemulai untuk menari, dalam mengingat gerakan juga kurang
cepat. Gue senang bernyanyi, tapi gak ada satupun instrumen musik yang mahir
gue mainkan. Gue sering kagum melihat hasil potretan orang lain yang bisa menangkap
sudut unik suatu objek lewat keterbatasan resolusi yang ditawarkan sebuah
kamera. Meski gak ngerti lukisan, tapi gue sering terpana ketika melintasi
sepanjang Jalan Braga yang menjajakan lukisan untuk dijual; gue gak ngerti
gimana caranya ngatur komposisi warna, memulas cat dengan kuas di kanvas, dan
lainnya.
Tapi sekali lagi; katanya, gak ada yang salah dalam seni.
Seni itu berkaitan degan kreativitas. Yang membedakannya dengan eksak, kata
Pidi Baiq, “Dalam eksak, jika kau menjawab seperti umum, kau benar. Tapi
kreatvitas, jika sama dengan orang lain, kau niru.”. “Menjawab”, bukan berarti
hanya “Jawaban”. Tapi “hasil” yang didapat.
Dalam seni rupa, khususnya menggambar, jujur aja gue banyak
menemui kesulitan. Gue beneran gak bisa menggambar. Sejak SD, nilai Seni Budaya
kalo menggambar hampir selalu kecil. Gak kreatif juga kalo tema gambarnya
bebas, imajinasi gue liar tapi gak bisa dituangkan dengan pensil dan kertas.
Tapi gue senang kalo disuruh mewarnai. Sampai sekarang; saat usia melewati
angka dua puluh!
Gue punya satu set crayon dan sebuah sketchbook yang gue
bawa ke kosan buat ngisi waktu iseng kalo lagi bosen. Tapi, kebanyakan yang ngegambar
di sketchbook itu adalah adik dan pacar gue, lalu gue yang kebagian mewarnainya.
Atas permintaan yang sedikit maksa, adik gue menggambarkan
seekor kuda yang gagah. Pacar gue menggambar tokoh kartun kesayangan gue;
Tony-Tony Chopper. Gue, menggambar rumah yang setelah diwarnain kata Bu Kiki
mirip rumah kebakaran. See? Bahkan mewarnai; yang gue suka, belum tentu
memastikan bahwa gue jago. Hahahaha. Sisanya gue gambarin lingkaran-lingkaran
yang gak seperti lingkaran. Terus dicoret-coret krayon tanpa ada gambar yang
jelas.
Pada suatu hari, gue nganter Ka Vieh ke toko buku buat beli
kertas kado. Keesokan harinya pacarnya ultah. Jadi mau nyari bungkusan yang
unyu gitu. Toko bukunya tiga lantai. Cukup lengkap menyediakan ATK, aksesoris
buat bikin kerajinan tangan, sampai ke peralatan melukis yang menurut ukuran
gue komplit.
Iseng, gue membeli sebuah kanvas ukuran 30 x 30 cm. Entah
mau digambarin apa nantinya. Belum kepikiran. Yang ada di dalam kepala gue saat
itu adalah, “Kalo udah dibeli pasti nanti dipake.”
Sebelumnya gue gak pernah menggambar, apalagi mewarnai di
kanvas. Haha, norak, mungkin. Tapi ya itulah gue. Selama ini gue beranggapan
bahwa gue gak bisa menggambar. Jadi buat apa buang-buang duit buat beli
peralatan gambar segala.
Tapi pada akhirnya gue melukis juga. Jangan memberi
ekspektasi tinggi ketika gue bilang bahwa gue “melukis”. Karena mungkin buat
orang yang bisa dan ngerti melukis, hasil yang gue bikin itu gak pantes disebut
“lukisan”. Yah, whatever. Yang jelas gue senang karena udah mencoba.
Langganan:
Postingan (Atom)