Semesta menua. Ada kita di dalamnya.
Ada apa di dalam kita? Ada rasa. Ada jiwa. Ada cinta.
Seiring langkah kaki yang terus berpacu mengejar matahari,
kita; manusia, menggoreskan kisahnya sendiri-sendiri dengan tinta tak kasat
mata. Itulah karenanya, mengapa kita tak bisa melihat bagaimana orang lain
menikmati ceritanya, kecuali jika mereka mau membaginya.
Juga saya, yang ingin membagi sedikit kisah meski hanya
remah-remah. Atau lebih kepada janji di tahun lalu, bahwa akan ada goresan
kisah yang dituang dengan tinta virtual ini. Lama menghilang, bukan karena
ingin menutupnya rapat atau menelan semuanya sendiri hingga tandas tak tersisa.
2014 menjadi tahun yang luar biasa mampu membawa saya pada
banyak kenangan. Tak banyak resolusi yang terwujudkan. Yang ada malah air mata
berderai karena terlalu banyak merasa kehilangan.
Tahun yang membuat pandangan saya melihat orang-orang di
sekitar saya silih beranti. Yang lama berlalu dan yang baru datang. Lebih dari
30 orang jumlahnya. Terlebih juga melibatkan orang-orang penting dalam hidup
saya setahun belakangan ini: Ibu Sri Kunmaryati (Juli 2014) dan Kak Adhi Gamayandra
(Desember 2014).
Terkadang saya berpikir, sepertinya saya lebih senang
memiliki teman tak banyak, tapi solid. Daripada terus bertambah, yang dulu hilang,
yang menggantikan tak bisa menjalankan peran sesuai harapan. Harapan siapa?
Harapan saya. Tapi dunia (masih) terus berputar. Ditinggalkan dan dipertemukan
akan menjadi hal yang harus bisa saya terima.
Tahun lalu saya membuat target, bahwa di bulan Juni saya
ingin berjilbab. Sadar masih banyak kekurangan dalam berperangai, mungkin
jilbab sedikitnya bisa menjadi benteng bagi saya. Memasuki Juni 2014 saya masih
belum mengenakannya. Hingga tepat pada hari terakhir di bulan itu, saya
mengenakannya. Bismillah, mudah-mudahan istiqamah.
Tak banyak peristiwa yang saya ingat di tahun ini. Mungkin
karena saya tidak menuliskannya. Salah satu yang saya ingat, saya tidak minum
soda setetespun di tahun kemarin. Tidak penting? Oh, tentu saja penting bagi
saya. Rasanya senang berhasil menahan diri dari apa yang ingin saya hindari.
Mungkin yang paling menyenangkan adalah, di akhir tahun ini
saya sudah mampu melunasi utang bekas
biaya pendidikan yang (menurut saya) besar jumlahnya. Membuat bulan demi bulan
terasa berat dan penat untuk dijalani. Alhamdulillah. Mudah-mudahan untuk ke
depannya bisa saya sisihkan untuk menabung dan membantu orang tua. Aamiin.
Apalagi? Asmara?
Masih dengan orang yang sama seperti tahun lalu. Meski
mungkin tak semanis dulu. Untuk sekarang kami disibukkan mengejar cita-cita
kami masing-masing. Mengumpulkan seserpih demi seserpih mimpi yang sempat
diporakporandakan keadaan dan digilas roda bernama waktu. Tak apa. Jika kami
berhasil mewujudkannya, keyakinan kami adalah satu; merasakan manisnya hidup
yang jauh lebih manis dari apa yang pernah kami kecap sebelumnya.
Aamiin.
Yang jelas rasa syukur terucap. Masih diberi kesempatan
untuk merasakan keberadaan hidup di dunia. Menjalani hari dengan orang-orang
terkasih. Diberi sehat. Diberi rejeki. Sungguh Allah Maha Baik, trmasuk kepada
saya umatnya yang nista ini.