4/17/2015

Setelat-telatnya tuisan yang (akhirnya) diposting juga.



 Ngucapin jangan, yaa? Ga usah aja, deh. Udah April juga.
Ini udah tahun 2015. Alhamdulilah masih bisa ngerasain pergantian tahun. Kalo tahun kemarin malam tahun barunya nganter pacar futsal, kali ini special: tarik selimut sejak jam 22.00.
Abis gimana, ya. Udah gede mah ngerayain yang gitu bukan suatu hal yan pengen dilakuin. Kalo kebetulan lagi ada acara, ya ikut. Kalo gak, gak usah dicari-cari.
Bikin target jangka pendek buat tahun ini dulu kali, ya. Yang pasti sih pengennya tahun ini diisi dengan kegiatan yang lebih positif dan bermanfaat.
Gue harus kuliah tahun ini. Harus! Udah ketuaan  nih. Karena harus mengambil jurusan yan paling mungkin, maka ini adalah kandidatnya:
1.       Psikologi (Unisma-Bekasi)
2.       Sastra Inggris (Unisma-Bekasi)
3.       Teknik Lingkungan (Pelita-Cikarang)
Yang pasti kelas ekstensi. Mudah-mudahan apapun nanti yang dipilih, bisa menjadikan gue orang yang berilmu luas, dan mendatangkan rejeki yang baik di kemudian hari. Aamiin.
Soal asmara, tentu. Pengennya sih bisa nabung dikit-dikit buat biaya ehm. Hahahaha
Bisa berprestasi di manapun gue ditempatkan. Membawa kebaikan dan manfaat untuk semesta.
Kalo memungkinkan pengen ikutan Tae Kwon Do lagi. Kayaknya emang gak ada olahraga lain yang sreg di hati selain itu. Udah nyoba aerobic, gym, lari waktu week-end pun malah gak bisa teratur. Tapi kalo udah mulai kuliah, kayaknya bakal susah. Soalnya Sabtu-Minggunya cus ke kampus. Enaknya, sih, kalo di kampus ada Tae Kwon Do juga. Tapi sayangnya, setau gue di Pelita adanya Karate. So far, gue gak pernah minat.
Terus selanjutnya adalah, gue pengen kursus bahasa! Yihiii…
Kalo yang satu ini, insya allah bukan cuma ‘pengen’nya doang. Udah daftar juga ke salah satu lembaga kursus bahasa bersertifikat internasional. Waktu itu lagi iseng pengen beli moci di mall. Eh Alhamdulillah ada lembaga kursus yang lagi ngadain promo karena buka cabang baru.
Lumayanlah dapet kortingan. Bahasa yang ditawarkan ada lebih dari….berapa, ya? Pokoknya seinget gue ada Bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Jepang, Korea, Mandarin, dan akan menyusul untuk Bahasa Arab dan Belanda. Yang asiknya lagi, kita bisa pilih beberapa bahasa sekaligus dengan tariff yang sama. Kalo udah gitu mah gue gak mau nyia-nyiain kesempatan. Jadilah gue ambil dua bahasa: Inggris dan Jerman. Sayangnya gak ada Bahasa Spanyol. Kalo ada, gue minat deh. Rencananya mau ngambil satu lagi. Entah Prancis atau Jepang. Lihat nanti.
Itu artinya untuk beberpa tahun ini gue musti super-irit (lagi) untuk membiayai kuliah dan kursus yang gak murah. Hadeuh, baru lunas bayar utang ke sekolah, sekarang musti ngirit-ngirit juga. Hahaha gak apa deh, emang harus ada yang dikorbankan untuk mencapai keinginan. Mudah-mudahan jalannya mulus, lancar, dan dipermudah segala urusannya. Aamiin.
Eh, tapi kadang gue suka ngebanding-bandingin; betapa enak orang yang orang tuanya kaya, bisa dengan entengnya nguliahin anak, daftarin les, beliin ini-itu. Coba kayak gue ini; harus kerja biar bisa jajan, nabung biar bisa kuliah, ngirit biar bisa les bahasa.
Tapi segala yang telah tergores di kertas kehidupan manusia pasti jalan yang terbaik. Toh kalo gue terlahir jadi anak orang kaya pun belum tentu bakal bener.
Gue bersyukur terlahir sebagai anak dari ibu dan papah gue. Mereka sederhana dan mendidik gue dengan cara yang luar biasa. Yang membentuk gue menjadi begini. Yang gak gue lihat atau dengar seperti cara orang tua lain mendidik anak mereka. Hehe
Eh maap ini kontennya jadi sedikit menyimpang.
Kembali ke resolusi:
Dan nanti dalam waktu dekat ini gue pengen punya netbuk baru beserta hape. Kalo hape mah gak apa-apa deh dari benerin tablet. Penting nih pemirsa demi keberlangsungan dimuatnya tulisan-tulisan selanjutnya. Sebagai sarana hiburan dari dunia luar yang kian menjemukan.  Gak apa kali, ya, kalo gue sedikit ‘auticed’ dengan huruf-huruf di keyboard. Siapa tahu jadi karya. Hahaha

Film Review: Filosofi Kopi the Movie



Pertama dengar bahwa cerita ini akan diangkat ke layar lebar, tentu saya senang sekali, karena saya sudah memiliki bukunya sejak lama. Dan pada 14 April 2015 lalu saya berkesempatan untuk menyaksikan filmnya bersama beberapa kawan, meski tanpa rencana.
Pada awalnya saya kira, film ini akan seperti #RectoVerso; satu film yang memuat banyak cerita seperti pada buku aslinya. Tapi ternyata #FilosofiKopi ini hanya mengangkat satu dari kumpulan cerita karya Dee dalam bukunya yang berjudul serupa.
Kecewa, sih. Sejak jauh hari saya sudah membayangkan, akan seperti apa cerita-cerita dalam buku itu disajikan. Saya sangat menyukai cerita yang berjudul “Sikat Gigi” dan “Mencari Herman”. Bagaimana jadinya jika cerita-cerita itu dituangkan dalam bentuk visualisasinya? Tapi memang buku asli #FilosofiKopi ini tak hanya berisi cerpen, ada juga beberapa prosa puisi yang (mungkin) akan sulit jika harus juga dibuat cerita film.
Saya sudah membaca cerita #FilosofiKopi ini dua kali. Dan selama dua kali itu pula yang terbayang dalam kepala saya selalu sama. Pokoknya yang menjadi tokoh Ben adalah Lukman Sardi, dan yang menjadi Jody adalah Mathias Muchus. Mengapa Lukman? Mungkin karena beliau lumayan sering terlibat membintangi film maupun video clip yang diangkat dari tulisan-tulisan Dee. Hahaha. Ternyata yang beruntung mendapatkan peran utama itu adalah Chicco Jerikho dan Rio Dewanto (Kenapa saya gak ngebayangin Rio Dewanto pas baca cerpen? Sekseeh abis dia :*).
Di awal-awal cerita, alis saya tak berhenti bertaut. Merutuki diri dan bergelut dengan pikiran sendiri; “Loh kok begini? Ini kok ngarang? Ih, yang ini siapa pula?” dan pertanyaan keheranan lainnya.
Mulai dari kafe yang langsung bernama “Filosofi Kopi”, padahal di bukunya diceritakan bahwa pada mulanya namanya adalah “Ben & Jody”. Menurut saya akan lebih seru jika pada bagian ini dibuat sama dengan buku. Juga cara Ben yang pada cerita aslinya banyak berinteraksi dengan para pelanggannya secara langsung, tidak menonjol sama sekali di film ini.
Ketika suatu novel diangkat ke layar lebar, kebanyakan pembaca berharap mereka tidak akan menjumpai terlalu banyak improvisasi,  seperti alur apalagi ending cerita yang diubah. Namun saya rasa akan maklum jika yang diangkat adalah sebuah cerpen. Durasi film yang relatif lama tidak akan efektif untuk menjabarkan naskah cerita yang pendek. Oleh sebab itu ditambahkan “bumbu-bumbu” lain untuk membuat film menjadi lebih berisi.
Ada banyak pemeran yang “menjadi ada” dalam cerita di film. Ada tokoh El (Julie Estelle) misalnya. Ia seorang food blogger yang melakukan banyak riset unuk menyelesaikan bukunya tentag kopi. Justru ialah yang memperkenalkan Kopi Tiwus pada Ben dan Jody. Ada pula flashback masa kecil Ben. Dan yang mengagetkan saya, ada seorang Baim Wong yang berperan menjadi seorang eksmud yang berkeliling dunia demi mencari kopi terbaik. Kenapa kaget? Karena “Baim Wong-dan-Kopi” yang melekat dalam kepala saya adalah “Baim Wong dan Luwak White Coffee” seperti di iklan. Hahaha
Pada bukunya, karakter Ben pada Filosofi Kopi sangatlah idealis, sementara Jody realistis. Chicco bisa menjiwai perannya dengan cukup baik sebagai coffee maker idealis yang di sisi lain juga slengean. Pada suatu dialog, ia mengingatkan saya pada seorang teman bernama Rian Oktrivianto Ismail, tepatnya ketika dia mengumpat, “Uwanjjjii*g”. Haha mirip banget :D.
Sikap realistis Jody terhadap kefenya menjadi kian masuk akal karena ternyata (di cerita film ini) mendiang ayahnya terlilit utang yang tak sedikit jumlahnya. Jelas ia lebih memikirkan bagaimana caranya mendapat untung secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya.
Ada beberapa scene yang mengganggu saya. Ada cerita di mana Ben Kecil sedang berada di rumahnya di kampung, lalu sang Ibu berpamitan pergi mengaji. Tak lama, Ibunya tewas (entah kenapa, saya tak paham. Mungkin terbunuh. Oleh siapa?). Lalu sang Ayah yang berjasa menurunkan keahlian membuat kopi terenak itu lama kelamaan bertingkah seperti orang gila; ia membakar seluruh biji kopi yang ia punya (ia seorang petani kopi) dan melarang Ben untuk menyentuh lagi apapun yang berhubungan dengan kopi. Pada kehidupan Ben yang sudah dewasa, saat konflik sedang memuncak dan Ben memutuskan pensiun meramu kopi, ia bertekad untuk pulang ke kampungnya. Sebelum itu, ia menyempatkan diri datang ke sebuah pemakaman Kristen dan membersihkan makam dengan nisan bertuliskan (kalau tidak salah) nama laki-laki. Nah. Makam siapakah itu? Kalau itu Ibunya, bukankah sang ibu pernah berpamitan pergi mengaji? Kalau nama, yaaa banyak juga wanita yang memiliki nama belakang ayahnya. Bisa jadi, kan? Tapi kalau nisan yang ada salibnya? Jelas bukan milik orang yang pergi mengaji sebelum meninggal.
Kejanggalan lain adalah kenampakan Ayah Ben. Saat Ben masih kecil, rupa Ayahnya adalah seorang pria paruh baya berambut agak panjang dan tidak bisa disebut hitam. Dan saat Ben Dewasa pulang, kenampakan Ayahnya tak berbeda jauh. Padahal jaraknya sudah belasan tahun lalu. Hehe. Make up artistnya kurang bisa menyiasati, nih :D
Well, menurut saya secara keseluruhan film ini tidak begitu menyimpang dari inti cerita aslinya. But it’s seems totally different from its book. Bagaimana si sutradara melebarkan sayap dari suatu cerita pendek ini patut diacungi jempol. Satu jempol cukup, hehe. Dan untungnya para pemeran cerita yang terpilih bukan pemeran ‘kacangan’. Saya sangat appreciated ketika ternyata yang memerankan Pak Seno adalah Slamet Rahardjo, dan Istrinya diperankan oleh Jajang C. Noer. Wow! Hanya saja Pak Senonya tidak berbahasa dan berlogat Jawa seperti pada cerpen. Bahkan di sini dibilang bahwa Istrinya adalah wanita keturunan Gayo.
Bagi yang juga sudah membaca bukunya sebelumnya, film ini menyuguhkan sesuatu yang fresh sama sekali. Seperti disajikan secangkir kopi yang masih mengepul di hadapan kita stelah seharian penat bekerja.
Jadi nilai buat film ini dari saya, 7/10. Not bad lah !

4/14/2015

Fendira



Gelombang panas musim kemarau membawa kenangan itu secara tiba-tiba. Datang begitu saja. Dira bersumpah tidak sedang teringat dengan pria itu. Lagipula sebentar lagi ia akan menikah. Bersama pria yang adalah pilihannya. Tapi sekarang, saat daun-daun kecoklatan meranggas dengan ganas di seberang café tempatnya duduk beterbangan dengan dramatisnya, bayangan itu melintas kembali.
***
Waktu itu jam empat sore, tepat setelah bel pulang berbunyi. Dira menunggu di lobi. Seperti biasa, Alvin hampir selalu pulang telat. Pria itu yang sanggup memacu detak jantungnya lebih kencang. Menyibak semburat kemerahan di  wajahnya yang berpoleskan make-up nuansa tembaga. Awalnya tak banyak yang tahu itu. Dira hanayalah gadis dingin yang hanya bisa akrab dengan beberapa teman laki-laki saja. Tapi Alvin membuatnya bisa memancarkan hangat. Atau mungkin karena akhirnya ada manusia yang lebih dingin dibanding dirinya; Alvin.
“Sori lama.”
Sosok pria tinggi-kurus berdiri di hadapannya. Mengalihkan matanya yang sedari tadi tertuju pada layar handphone-nya. “Enggak apa.”
Mereka berdua keluar menuju parkiran.
“Aku gak bawa helm dua. Tadi buru-buru. Ke kosan dulu aja, ya”, kata Alvin tanpa mengalihkan pandangannya dari kerikil yang berserakan.
“Iya.”, jawab Dira. Hatinya berdesir lembut.
Kosan Alvin tak begitu jauh dari kantor tempat mereka bekerja. Hanya sepuluh menit ditempuh dengan motor. Selama sepuluh menit itu pula mereka diam.
“Nyampe. Mau nunggu atau ikut ke dalam?”
Dira menunduk, berpura-pura memainkan handphonenya yang sebenarnya sudah lama habis baterai. “Di sini aja.”
Tanpa bertanya dua kali, Alvin langsung melenggang meninggalkan Dira di luar gerbang kosan. Tak lama ia kembali dengan sebuah helm ungu dan sebotol air mineral.
“Makasih,” kata Dira.
Mereka berlalu meninggalkan kosan Alvin. Lima menit berikutnya masih belum ada percakapan. Mereka hanya kikuk. Ini baru ke dua kalinya mereka pergi bersama. Yang pertama, ketika bertemu di swalayan saat Dira belanja bulanan. Alvin lalu mengantarnya sampai depan gerbang kosan. Dan yang ke dua…
“Kamu lagi pengen ke mana?”
Jantung Dira berdegup luar biasa cepat. Secepat jawaban yang mengalir dari mulut mungilnya, “cewek gak suka ditanya”. Lalu ia merasa bodoh dan ingin terjun andai saja sekelilingnya adalah kasur busa, bukan aspal.
Alvin mengernyitkan alisnya, tapi tidak kelihatan karena terhalang helm. “Kata siapa?”. Ada nada menahan tawa di sana.
“Milea. Eh, itu aku baca Dilan. Eh, ya gitu deh.” Dira refleks menggaruk helm yang ia kenakan untuk menutupi salah tingkahnya. Salah besar jika ia menganggap Alvin tidak melihat. Padahal sudah, dari spion.
Alvin tak bisa menahan tawanya lebih lama lagi.
“Apa yang lucu?” Dira merengut
“Kamu.”
Tadinya Dira ingin bilang, ‘memang’, tapi tidak jadi karena takut terdengar norak. Ia diam saja.
“Kalo gitu kamu temenin aku makan.”
“Iya.”
Mereka tiba di restoran cepat saji yang menjadikan pizza sebagai menu utamanya.
Alvin memesan satu pizza medium, satu porsi hot chicken wings, dan dua gelas minuman buah bersoda. Dira menunggu di kursi. Mereka memilih duduk di kursi sebelah luar. Menikmati sore yang hangat dengan daun-daun yang sudah rontok dan terbias cahaya senja menjadi keemasan.
Tangan Dira berkeringat dingin. Ia tahu apa yang ia rasakan. Meski belum yakin. Karena biasanya tidak secepat ini. Bahkan sebelumnya Alvin tak pernah ada di pikirannya. Dia hanya pria dingin yang tak memiliki banyak teman, tak begitu pandai bergaul, dan bukan orang cukup berada. Entah mengapa merasa aneh dengan pernyataan terakhir di pikirannya.
Ia sendiri merasa bukan wanita yang spesial. Ah, mungkin pria biasa memang untuk wanita biasa. Seperti dirinya dengan Alvin.
Alvin datang dengan tray penuh. Saat tahu apa yang dibawanya, Dira agak menahan napasnya, seperti ada yang tercekat di kerongkongan.
“Yuk, dimakan.” Alvin tersenyum, mungkin pada makanan. Karena ia tak menatap Dira.
“Umm.. aku gak minum soda, dan gak kuat pedes juga. Hehe..”
“Iya udah aku pesenin yang lain ya,” kata Alvin cepat. Nada suara dan sorot matanya biasa saja. Ah, Alvin memang laki-laki biasa saja.
“Jangan, Vin. Aku pizzanya aja cukup kok. Lagian aku gak pernah bisa makan banyak sekaligus. Minumnya, nih..” ujar Dira polos sembari mengeluarkan air mineral pemberian Alvin tadi dari tasnya. Mungkin ia merasa bersalah karena membuat Alvin tak mau bertanya pada wanita. Takut-takut kalau memang wanita tidak suka ditanya.
“Yakin?”
Dira mengangguk mantap.
“Kamu maag, ya?” Tanya Alvin seraya menyeruput sodanya.
“Dari kelas dua SMP.”
Ada noda saos di pinggir mulut Dira. Alvin hendak memberi tahunya. Tapi tidak jadi, dibiarkan saja. Karena jadi kelihatan lucu.
Dira hanya sanggup menghabiskan dua slice pizza. Oranye di langit hampir sepenuhnya berganti kelabu. Padahal rasanya baru dua menit.
“Masih betah?” kali ini Alvin berbicara sambil menatap Dira. Tepat di kedua bola matanya.
Caranya bertanya, bersikap, tersenyum, menatap, adalah yang pertama kali Dira lihat dan rasakan dalam hidupnya. Mungkin terdengar dramatis. Tapi ke-serbabiasaan Alvin menjadi sesuatu yang luar biasa baginya. Dira tak yakin bahwa Alvin sedang melakukan pendekatan dengannya. Ya, tentu saja terlalu dini untuk menyimpulkan. Ini baru ‘jalan’ yang ke dua kalinya. Sebelum Alvin mengantarnya pulang dari swalayan, SMS dan chatting lainnya hanya tentang pekerjaan dan basa-basi lainnya. Setelah itu pun masih wajar dan tidak terlihat seperti anak muda sedang pendekatan. Ah, oke umur Dira 22 tahun dan terpaut lebih muda dua tahun darinya. Mungkin pria dua puluh empat tahun tidak PDKT seperti cara anak SMA.
Sedari tadi Dira berpikir. Mungkin ia berpikir terlalu jauh. Mungkin GR. Mungkin Alvin hanya butuh teman keluar. Itu saja, tidak ada perasaan sedikitpun. Perasaan apapun. Mungkin besok-lusa ia bisa keluar dengan siapapun lagi selain darinya.
Diam-diam Dira menyadari, dirinya kesepian. Dua tahun tanpa kekasih. Dua tahun memupuk sakit dalam hatinya. Dua tahun yang menjadikannya kehilangan keceriaan. Dua tahun yang membuatnya tertutup dan terlalu banyak memilih. Dan di sini ia sadar, pilihan tak selamaya datang. Terkadang kita yang harus mencarinya sendiri.
“Fendira?”
Pandangannya terhalang kaca-kaca bening yang tipis. Tapi segera dikuasainya. “Ya?”
“Kamu ngelamun.”
“Maaf.”
“Mau pulang sekarang?” Alvin ingin memastikan Dira baik-baik saja. Tapi entah mengapa ia tak bertanya apapun. Ada sesuatu yang seperti menahannya. Belum saatnya.
Dira berdiri dan mengambil tasnya yang entah sejak kapan sudah jatuh ke kaki meja. “Yuk.”
Alvin mengekor dari belakang. Membiarkan Dira berjalan di depannya. Ia tahu Dira tadi hampir menangis. Padahal seorang Dira bukan perempuan melankolis, ia juga tahu itu. Atau jangan-jangan, ia memang tak tahu apa-apa tentang Dira.
Dira menemukan noda saos di pinggir mulutnya ketika mengangkat helmnya dari spion. Matanya melotot dan dengan cepat membersihkannya dengan ujung lengan jaketnya.
“Kenapa dibersihin? Itu lucu.” Alvin tersenyum lebar, hampir mirip orang ingin tertawa. Memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi dengan satu gingsul di taringnya. Manis.
“Ih kalo tau kenapa gak bilaang?!” Dira kesal dan refleks mencubit lengan Alvin yang dengan  gesit bisa menghindar.
“Kenapa? Kamu gak mau kelihatan jelek depan aku, ya?” kata Alvin santai. Pertanyaan itu membuat Dira malu.
“Enggak. Hih..” bibirnya mengerucut. Cepat-cepat mengenakan helm dan melipat kedua tangannya di dada.
“Ayo naik.”
Dira melihat itu adalah senyum paling indah yang pernah Alvin berikan. Diam-diam ia berterima kasih pada Tuhan karena sekarang hari sudah mulai gelap. Jika masih terang, Alvin akan melihat pipinya kini bersemu merah. Tapi yang tak terlihat belum tentu tak bisa dirasakan…

Setelah lima bulan menjalin kedekatan, Dira merasa semakin nyaman. Ia yakin Alvin juga begitu. Tapi ia merasa bahwa ini hanya akan menjadi perjalanan tanpa akhir. Setidaknya, bukan akhir yang diimpikan Dira. Ia tahu kebanyakan laki-laki seperti apa. Bukan tidak mungkin akhir perjalanan mereka berujung hanya sampai tempat tidur dengan cuma-cuma. Tanpa ikatan. Mereka cukup dewasa untuk mengerti hal seperti itu. Dan Dira tidak mau.
Tidak sulit untuk berkata, “perasaan kamu ke aku gimana?”, atau “kamu cinta aku?”, atau “kamu serius gak sih sama aku?”, atau pertanyaan lain yang serupa. Tapi pada Alvin, semua menjadi sulit. Atau mungkin Dira yang tak cukup pandai memahami Alvin, mungkin juga tak cukup sabar, mungkin juga terlalu takut. Semuanya menjadi begitu memungkinkan.
Hingga Felix datang dan perlahan masuk di kehidupan Dira. Alvin hanya senyum dan berkata ikut bahagia. Ada sakit di hati Dira. Mungkin ia merasa telah sadar, bagaimana perasaan Alvin terhadapnya selama ini. Mungkin juga ia kesal, mengapa Alvin mengalah tanpa syarat pada Felix. Dira benci harus bertanya-tanya dan semua jawaban yang ia dapat hanya berupa kemungkinan. Bukan kepastian.
Alvin benar-benar menjauh setelah itu. Hanya sekali mereka bicara lagi; hari terakhir Alvin di kantor. Ia akan pindah. Bahkan ia tak pernah ceritakan itu pada Dira sebelumnya. Entah. Tapi saat itu hati Dira benar-benar remuk. Selama ini ia merasa bisa bertahan karena masih bisa melihatnya meski jauh. Ia sadar hatinya untuk siapa. Atau mungkin juga tidak.
“Kenapa?” katanya waktu itu.
“Apanya?”
Ya Tuhan, inilah Alvin yang mungkin orang lain kenal. Hari itu ia begitu dingin pada Dira. Sorot mata yang dulu ia anggap biasa, jauh lebih hangat daripada yang sedang ia lihat kini.
“Pindah?” suaranya bergetar. Dengan jelas.
“Hanya ingin pindah.” Alvin tersenyum pada Dira seperti ia tersenyum kepada orang-orang lain.
Senyum tergetir Alvin yang pernah Dira terima. Sampai-sampai ia lebih memilih lantai marmer abu tua yang mereka pijak sebagai pusat perhatiannya. Ia mengangguk-angguk. “Dua bulan lagi aku tunangan sama Felix. Sempetin dateng, ya?”
“Menurutmu?” Alvin menatap tajam. Tapi Dira tidak melihatnya. Tidak berani.
Pandangannya pada marmer abu membuyar. Kaca tipis bening menjelma air mata dan isakan yang ia coba tahan akhirnya mengalir begitu saja. Alvin meninggalkannya tanpa ingin tahu apa ia baik-baik saja.
Dan Alvin tidak pernah datang. Biarlah. Dira merasa ia berhak bahagia. Ia hanya bisa berdoa semoga Alvin juga. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa Felix juga pria yang baik. Dia akan membahagiakannya.

“Maaf sayang. Aku ada klien dulu tadi. Katanya mau ada kejutan? Kejutan apa, Sayang?” Felix datang dengan senyumnya yang selalu paling manis. Ia membawa sebuket bunga mawar pink kesukaan Dira, plus kecupan hangat di kedua pipinya.
Felix adalah laki-laki romantis yang hampir tak pernah mengecewakan. Dira mungkin satu-satunya yang beruntung, menjadi pilihannya di antara banyak wanita yang menggilainya. Tampan, kaya raya, dan tahu cara memanjakan wanita. Usia mereka terpaut empat tahun. Felix sudah mapan. Dan akhir tahun ini mereka akan menikah.
Dira tersenyum simpul. Meletakkan bunganya di samping dua gelas kosong yang tadinya terisi penuh minuman buah bersoda.
“Sejak kapan kamu minum soda?” Tanya Felix terheran. Dua tahun bersama, ia tahu betul Dira tak pernah memesan soda.
“Fe..”
“Ya, sayang?” Felix meraih jemari Dira. Mengecup jari manisnya yang berhias cincin pertunangan mereka.
Dira menghela napas panjang. Menarik lembut jemarinya dari Felix. “Kayaknya aku gak bisa terusin lagi hubungan kita. Aku minta maaf..”
Tak usah ditanya bagaimana perasaan Felix. Seluruh tubuhnya melemas. “Kenapa?” ia tak yakin suaranya terdengar.
“Maaf..” hanya itu. Air mata ikut berempati untuknya. Untuk keadaan ini. Dira ingin berkata; “Kamu lebih dari cukup,Fe. Kamu gak pernah ngecewain aku. Kamu selalu berusaha bahagiain aku. Tapi sekarang aku sadar, selama ini hati aku buat siapa. Ada rasa yang belum tuntas. Maafin aku yang baru sadar sekarang. Maaf..” tapi mulutnya terkunci rapat.
Felix hanya tertunduk lemah. Entah mengapa semua yang ia lakukan selama ini terasa sia-sia. Segala telah ia lakukan untuk membuat Dira bahagia. Hanya satu yang belum; melihat Dira ceria dan menjadi dirinya yang utuh kembali. Ia sudah lama mengenal Dira. Ia tahu Dira seperti apa, sampai Rico, sahabatnya membuat Dira menjadi asing bagi dunia.
Selama dua tahun ini ia terus mencoba mengembalikan Dira yang dulu. Yang tak pernah kehabisan rasa humornya, yang pandai bergaul, yang terkadang konyol dan manja seperti anak taman kanak-kanak. Felix tahu Dira sangat menyukai gula-gula lebih dari apapun di dunia ini. Tapi sekarang bahkan ia menghindarinya. Dira menjadi benar-benar asing.
Felix sadar, Dira tidak berpura-pura bahagia. Ia tahu, Dira pun sama seperti dirinya; mencoba. Tapi dua tahun ini juga menjadi sia-sia bagi Dira. Memang bukan dengan Felix ia bahagia. Felix tidak salah. Dira juga tidak. Jika saja mereka mau terbuka.
“Terima kasih untuk mau mencoba,” kata Felix akhirnya. Ia tak kehilangan seyum manisnya.
Dira melepas cincinnya. Menaruhnya pada genggaman tangan Felix. Lalu memeluknya, mungkin yang terakhir. Ia benci harus terisak seperti ini. Tapi apa daya. “Terima kasih..” bisiknya lirih.
Felix mengacak-acak pelan rambut Dira. Mengangguk tersenyum. Matanya yang telah sembab tak kehilangan binarnya. Kali ini yang ia cari akhirnya ditemukan; senyum paling tulus dari seorang Fendira. Dira yang dulu. Lalu merelakannya pergi menjemput bahagianya sendiri.


EPILOG
Sekarang aku sadar, kepada siapa sebenarnya hatiku tertuju. Mungkin keputusanku ini bodoh, tapi tak sebodoh ketika aku melepaskanmu. Aku tak peduli jika keadaan sudah jauh berubah saat aku menemuimu –atau, menemukanmu. Yang aku ingin hanya menuntaskan perasaan ini. Mendapat jawaban pasti dari semua pertanyaan-pertanyaan yang tak sempat ditanyakan. .
Untuk itu semua aku mencarimu,
Fendira

A Bitter February



Paaiiiiitttt!
Awal Februari pait bener!
Sekarang gue ngetik blog ini di kosan baru. Kosan gue yang ke-tiga. Dan mudah-mudahan bisa pindah lagi ke yang lebih bagus kalo udah nemu lagi. Emang, sih, lebih gede dari yang kemarin. Tapi gak ada buat dapurnya, rada susah kalo mau masak. Kasian stok di kulkas keburu layu. Terus nyamuknya hadeeuuh pada ganas mengisap darah di tubuh gue yang cuma segitu-gitunya lagi.
Ada yang mau nanya; kenapa pindah?
Ah, pertanyaan yang bagus andai ada yang nanya.
Jadi bisa dibilang, gue baru saja diusir. Tepatnya 4 Februari lalu. Kok bisa?
Apakah telat bayar? Bukan!
Apakah berzina dengan pacar? Bukan, heh!
Apakah berzina dengan yang bukan pacar? Bukan, woooyyy!!!
Apa dong? Ini gara-gara air. Lagi-lagi air. Gara-gara air mengesankan yang salah adalah si air. Padahal bukan, sih. Emang gue yang salah. Jadi begini…
Di suatu pagi yang dingin oleh gerimis, gue terbangun. Sambil ngucek-ngucek mata yang mungkin masih belekan, gue melangkah lunglai ke kamar mandi dengan handuk di tangan. Ngocorinlah kran yang ternyata airnya gak ngocor. Kemudaian gue mengendap-endap ke luar kamar kosan, menuju saklar air di kamar kosan paling pojok. Ternyata emang posisinya off. Kalian tau, lah, apa yang kemudian gue lakukan.
Pas mau mandi banget, si air gak juga keluar dari krannya. Buat wudhu sama mandi seperlunya (gue biasanya hambur kalo mandi) mah cukup. Tapi udah menjadi kebiasaan gue untuk mengisinya kembali sampai penuh setelah habis gue pakai.
Karena kran air gue emang udah lama dol, you know ‘dol?’, jadi gue rada ragu pas nutup kran. Apakah udah tertutup sempurna (cailah), ataukah sebenernya masih kebuka?
Setelah selesai mandi, sayup terdengar bisik-bisik tetangga tentang celetukan gak bisa mandi. Wah, ternyata emang si air gak mau keluar –atau gak bisa, kayaknya. Sebelumnya emang udah sering mesinnya mati. Jadi kalo air gak keluar tuh bukan karena sumber airnya yang habis, tapi alatnya bermasalah.
Kerjalah gue, meninggalkan kosan dengan sedikit keyakinan bahwa kran sudah tertutup (dengan benar). Hal itu gak membuat gue kepikiran di tempat kerja. Pulangnya malah main sampe malem jam sembilan, makan bakmi dan eskrim. Seru banget dan lumayan banyakan.
Nah, pas gue turun dari angkot pulangnya, ada telepon dari nomor tak beridentitas. Gue angkatlah:
“Hallo?”
“Hallo, Bel?” Suara laki-laki. Terdengar asing di seberang sambungan.
“Ya, siapa?”
“Arif..”
Arif mana, nih? Yang terlintas di pikiran gue hanya dua Arif: Arief temen di rumah, atau Arif anak PKL Smakbo di tempat kerja gue. Terus gue tanya aja ini Arif yang mana.
“Arif kontrakan..”
Ooohhh.. baru ngeuh kalo tetangga kosan ada yang namanya Mas Arif. Dhuuarrrrrrr!!! Langsung bad feeling: jangan bilang tentang air, plis!
Tapi sayangnya dia bilang air. Ya, air dari kosan gue ngalir terus. Dia nanya gue di mana. Gue bilang lagi jalan ke situ. Setibanya di depan gerbang, you know what I saw?
Air meluber? Bukan!
Kosan tenggelam? Bukan!
Ada ikan mati? Ngaco.
Bapa kosan? Ya! Dengan berkacak pinggang dan nada bicara tinggi mulai mengomeli gue. Dengan disaksikan beberapa pasang mata, termasuk tiba-tiba ada kucing kawin lagi anuan depan kita (sumpah ini kucing gak tau sikon), dia sesumbar;
“Kamu, ya! Kan saya udah bilangin kalo kran tuh harus ditutup!”
“Iya maaf, toh saya ngerasanya udah nutupin. Mana saya tau kalo ternyata airnya keluar, posisinya mah udah beneran nutup kok.”
“Dibilangin masih gak ngaku. Udah jelas airnya keluar terus. Saya diomelin kontrakan lain karena gak kebagian air. Airnya ngalir ke kamu doang.”
Keren, euy. Ada kontrakan bisa ngomel!
“Ya maaf da gimana. Saya ngerasanya udah ditutup, krannya dol. Kalo gak ada air yang keluar mana saya tau dia masih terbuka atau enggak.” Kata gue sambil masuk ke dalam, ngecek kamar mandi. Air penuh, netes-netes. Katanya udah dimatiin dari mesinnya.
“Kan saya udah bilang, kalo kran rusak tuh bilang.”
Anjriit udah gini baru aja. Waktu atap gue bocor, gue ngomong ke dia. Responnya apa? ‘Yaa nanti’ . kapankah ‘nanti’ itu? Sampai sekarang gak ada tindak lanjut. Waktu lubang kunci gue rusak, sampe berhari-hari gak bisa dikunci, gue berangkat kerja, pintu gak ngunci; waktu gue mandi, waktu gue tidur, gak kekunci Man! Ada gak dia tanggung jawab? Sampe gue sendiri yang akhirnya beli. Yang masangnya si Mas Arif itu sama yang di sebelahnya. Dia baru ke kosan gue pas udah hari ke sepuluh. Haloooo???
Lalu mata-mata manusia yang tadi ‘nonton’ ceramah bapakos, lebih memilih melihat hal lain di dalam kamar kosan  masing-masing. Tapi gue yakin seyakin-yakinnya, telinga mereka masih terbuka dan dapat mendengar dengan jelas apa yang kami cakapkan.
“Kalo kamu gak suka, jangan di sini. Keluar aja!” Kata Bapakos.
“Okeeeh..” Nada gue dibikin senyebelin mungkin. Entah kenapa gue jadi bersemangat menimpali.
“Kalo perlu, malam ini juga kamu keluar!” Sambung si Bapakos.
“Okeeeyy.” Tentu saja untuk yang ini, gue gak mau bodoh. Dikiranya barang gue cuma sekarung baju doang apa?!
Sambil menutup pagar, dia bilang, “Kalo kamu menerima salah dan dosa kamu, kamu boleh di sini.”
H a l l o ? S a l a h  d a n  d o s a ? w-o-w
Who do you think you are, Dude? Lu Tuhan, gitu? Gue udah minta maaf juga keles. Udah mengakui salah pula.
Maka, pemirsa, esoknya pulang kerja, gue dan pacar mencari-cari kontrakan kosong. Apa daya, banyak yang gak sesuai kriteria. Jadilah sekarang gue di sini: kosan baru (lagi). Malam itu juga gue langsung pindahan. Dibantu pacar, Bangkit, Tebe, dan jasa angkut pindahan tentunya. Setelah lebih dari setahun, akhirnya tiba juga gue harus pindah.
Sebelumnya juga emang udah ada kepengen pindah, sih. Pengen yang rada luas. Mungkin emang harus gini caranya baru pindah? Haha. Tapi gue udah ngerugiin orang, dengan teledor matiin kran –yang udah dol. Maafin, ya, tetangga..
Mudah-mudahan gue betah di sini. Walaupun atmospherenya beda dengan waktu gue nempatin kosan lama. Hmm. Gini, ya, merantau tuh. Mungkin perantau lain pernah ngalamin yang lebih pait daripada gue. Segini juga bersykur masih ada yang nerima, masih ada yang layak huni.
Alhamdulillah.
Segitu dulu kali, pemirsa, curhatan gue hari ini. Semoga bisa diambil hikmahnya. Jangan ditiru keteledoran macam gue. Kan konyol endingnya harus begini -___-
Save water! #SelfReminder