Gelombang panas musim kemarau membawa
kenangan itu secara tiba-tiba. Datang begitu saja. Dira bersumpah tidak sedang teringat
dengan pria itu. Lagipula sebentar lagi ia akan menikah. Bersama pria yang
adalah pilihannya. Tapi sekarang, saat daun-daun kecoklatan meranggas dengan
ganas di seberang café tempatnya duduk beterbangan dengan dramatisnya, bayangan
itu melintas kembali.
***
Waktu itu jam empat sore, tepat setelah bel
pulang berbunyi. Dira menunggu di lobi. Seperti biasa, Alvin hampir selalu
pulang telat. Pria itu yang sanggup memacu detak jantungnya lebih kencang.
Menyibak semburat kemerahan di wajahnya
yang berpoleskan make-up nuansa
tembaga. Awalnya tak banyak yang tahu itu. Dira hanayalah gadis dingin yang
hanya bisa akrab dengan beberapa teman laki-laki saja. Tapi Alvin membuatnya
bisa memancarkan hangat. Atau mungkin karena akhirnya ada manusia yang lebih
dingin dibanding dirinya; Alvin.
“Sori lama.”
Sosok pria tinggi-kurus berdiri di
hadapannya. Mengalihkan matanya yang sedari tadi tertuju pada layar
handphone-nya. “Enggak apa.”
Mereka berdua keluar menuju parkiran.
“Aku gak bawa helm dua. Tadi buru-buru. Ke
kosan dulu aja, ya”, kata Alvin tanpa mengalihkan pandangannya dari kerikil
yang berserakan.
“Iya.”, jawab Dira. Hatinya berdesir
lembut.
Kosan Alvin tak begitu jauh dari kantor
tempat mereka bekerja. Hanya sepuluh menit ditempuh dengan motor. Selama
sepuluh menit itu pula mereka diam.
“Nyampe. Mau nunggu atau ikut ke dalam?”
Dira menunduk, berpura-pura memainkan
handphonenya yang sebenarnya sudah lama habis baterai. “Di sini aja.”
Tanpa bertanya dua kali, Alvin langsung
melenggang meninggalkan Dira di luar gerbang kosan. Tak lama ia kembali dengan
sebuah helm ungu dan sebotol air mineral.
“Makasih,” kata Dira.
Mereka berlalu meninggalkan kosan Alvin.
Lima menit berikutnya masih belum ada percakapan. Mereka hanya kikuk. Ini baru
ke dua kalinya mereka pergi bersama. Yang pertama, ketika bertemu di swalayan
saat Dira belanja bulanan. Alvin lalu mengantarnya sampai depan gerbang kosan.
Dan yang ke dua…
“Kamu lagi pengen ke mana?”
Jantung Dira berdegup luar biasa cepat.
Secepat jawaban yang mengalir dari mulut mungilnya, “cewek gak suka ditanya”.
Lalu ia merasa bodoh dan ingin terjun andai saja sekelilingnya adalah kasur
busa, bukan aspal.
Alvin mengernyitkan alisnya, tapi tidak
kelihatan karena terhalang helm. “Kata siapa?”. Ada nada menahan tawa di sana.
“Milea. Eh, itu aku baca Dilan. Eh, ya gitu
deh.” Dira refleks menggaruk helm yang ia kenakan untuk menutupi salah
tingkahnya. Salah besar jika ia menganggap Alvin tidak melihat. Padahal sudah,
dari spion.
Alvin tak bisa menahan tawanya lebih lama
lagi.
“Apa yang lucu?” Dira merengut
“Kamu.”
Tadinya Dira ingin bilang, ‘memang’, tapi
tidak jadi karena takut terdengar norak. Ia diam saja.
“Kalo gitu kamu temenin aku makan.”
“Iya.”
Mereka tiba di restoran cepat saji yang
menjadikan pizza sebagai menu utamanya.
Alvin memesan satu pizza medium, satu porsi
hot chicken wings, dan dua gelas minuman buah bersoda. Dira menunggu di kursi.
Mereka memilih duduk di kursi sebelah luar. Menikmati sore yang hangat dengan
daun-daun yang sudah rontok dan terbias cahaya senja menjadi keemasan.
Tangan Dira berkeringat dingin. Ia tahu apa
yang ia rasakan. Meski belum yakin. Karena biasanya tidak secepat ini. Bahkan
sebelumnya Alvin tak pernah ada di pikirannya. Dia hanya pria dingin yang tak
memiliki banyak teman, tak begitu pandai bergaul, dan bukan orang cukup berada.
Entah mengapa merasa aneh dengan pernyataan terakhir di pikirannya.
Ia sendiri merasa bukan wanita yang
spesial. Ah, mungkin pria biasa memang untuk wanita biasa. Seperti dirinya
dengan Alvin.
Alvin datang dengan tray penuh. Saat tahu apa yang dibawanya, Dira agak menahan
napasnya, seperti ada yang tercekat di kerongkongan.
“Yuk, dimakan.” Alvin tersenyum, mungkin
pada makanan. Karena ia tak menatap Dira.
“Umm.. aku gak minum soda, dan gak kuat
pedes juga. Hehe..”
“Iya udah aku pesenin yang lain ya,” kata
Alvin cepat. Nada suara dan sorot matanya biasa saja. Ah, Alvin memang
laki-laki biasa saja.
“Jangan, Vin. Aku
pizzanya aja cukup kok. Lagian aku gak pernah bisa makan banyak sekaligus.
Minumnya, nih..” ujar Dira polos sembari mengeluarkan air mineral pemberian
Alvin tadi dari tasnya. Mungkin ia merasa bersalah karena membuat Alvin tak mau
bertanya pada wanita. Takut-takut kalau memang wanita tidak suka ditanya.
“Yakin?”
Dira mengangguk mantap.
“Kamu maag, ya?” Tanya Alvin seraya
menyeruput sodanya.
“Dari kelas dua SMP.”
Ada noda saos di pinggir mulut Dira. Alvin
hendak memberi tahunya. Tapi tidak jadi, dibiarkan saja. Karena jadi kelihatan
lucu.
Dira hanya sanggup menghabiskan dua slice
pizza. Oranye di langit hampir sepenuhnya berganti kelabu. Padahal rasanya baru
dua menit.
“Masih betah?” kali ini Alvin berbicara
sambil menatap Dira. Tepat di kedua bola matanya.
Caranya bertanya, bersikap, tersenyum,
menatap, adalah yang pertama kali Dira lihat dan rasakan dalam hidupnya.
Mungkin terdengar dramatis. Tapi ke-serbabiasaan Alvin menjadi sesuatu yang
luar biasa baginya. Dira tak yakin bahwa Alvin sedang melakukan pendekatan
dengannya. Ya, tentu saja terlalu dini untuk menyimpulkan. Ini baru ‘jalan’
yang ke dua kalinya. Sebelum Alvin mengantarnya pulang dari swalayan, SMS dan chatting lainnya hanya tentang pekerjaan
dan basa-basi lainnya. Setelah itu pun masih wajar dan tidak terlihat seperti
anak muda sedang pendekatan. Ah, oke umur Dira 22 tahun dan terpaut lebih muda
dua tahun darinya. Mungkin pria dua puluh empat tahun tidak PDKT seperti cara
anak SMA.
Sedari tadi Dira berpikir. Mungkin ia
berpikir terlalu jauh. Mungkin GR. Mungkin Alvin hanya butuh teman keluar. Itu
saja, tidak ada perasaan sedikitpun. Perasaan apapun. Mungkin besok-lusa ia
bisa keluar dengan siapapun lagi selain darinya.
Diam-diam Dira menyadari, dirinya kesepian.
Dua tahun tanpa kekasih. Dua tahun memupuk sakit dalam hatinya. Dua tahun yang
menjadikannya kehilangan keceriaan. Dua tahun yang membuatnya tertutup dan
terlalu banyak memilih. Dan di sini ia sadar, pilihan tak selamaya datang.
Terkadang kita yang harus mencarinya sendiri.
“Fendira?”
Pandangannya terhalang kaca-kaca bening
yang tipis. Tapi segera dikuasainya. “Ya?”
“Kamu ngelamun.”
“Maaf.”
“Mau pulang sekarang?” Alvin ingin
memastikan Dira baik-baik saja. Tapi entah mengapa ia tak bertanya apapun. Ada sesuatu
yang seperti menahannya. Belum saatnya.
Dira berdiri dan mengambil tasnya yang
entah sejak kapan sudah jatuh ke kaki meja. “Yuk.”
Alvin mengekor dari belakang. Membiarkan
Dira berjalan di depannya. Ia tahu Dira tadi hampir menangis. Padahal seorang
Dira bukan perempuan melankolis, ia juga tahu itu. Atau jangan-jangan, ia
memang tak tahu apa-apa tentang Dira.
Dira menemukan noda saos di pinggir
mulutnya ketika mengangkat helmnya dari spion. Matanya melotot dan dengan cepat
membersihkannya dengan ujung lengan jaketnya.
“Kenapa dibersihin? Itu lucu.” Alvin
tersenyum lebar, hampir mirip orang ingin tertawa. Memamerkan deretan giginya
yang putih dan rapi dengan satu gingsul di taringnya. Manis.
“Ih kalo tau kenapa gak bilaang?!” Dira
kesal dan refleks mencubit lengan Alvin yang dengan gesit bisa menghindar.
“Kenapa? Kamu gak mau kelihatan jelek depan
aku, ya?” kata Alvin santai. Pertanyaan itu membuat Dira malu.
“Enggak. Hih..” bibirnya mengerucut.
Cepat-cepat mengenakan helm dan melipat kedua tangannya di dada.
“Ayo naik.”
Dira melihat itu adalah senyum paling indah
yang pernah Alvin berikan. Diam-diam ia berterima kasih pada Tuhan karena
sekarang hari sudah mulai gelap. Jika masih terang, Alvin akan melihat pipinya
kini bersemu merah. Tapi yang tak terlihat belum tentu tak bisa dirasakan…
Setelah lima bulan menjalin kedekatan, Dira
merasa semakin nyaman. Ia yakin Alvin juga begitu. Tapi ia merasa bahwa ini
hanya akan menjadi perjalanan tanpa akhir. Setidaknya, bukan akhir yang
diimpikan Dira. Ia tahu kebanyakan laki-laki seperti apa. Bukan tidak mungkin
akhir perjalanan mereka berujung hanya sampai tempat tidur dengan cuma-cuma.
Tanpa ikatan. Mereka cukup dewasa untuk mengerti hal seperti itu. Dan Dira
tidak mau.
Tidak sulit untuk berkata, “perasaan kamu
ke aku gimana?”, atau “kamu cinta aku?”, atau “kamu serius gak sih sama aku?”,
atau pertanyaan lain yang serupa. Tapi pada Alvin, semua menjadi sulit. Atau
mungkin Dira yang tak cukup pandai memahami Alvin, mungkin juga tak cukup
sabar, mungkin juga terlalu takut. Semuanya menjadi begitu memungkinkan.
Hingga Felix datang dan perlahan masuk di
kehidupan Dira. Alvin hanya senyum dan berkata ikut bahagia. Ada sakit di hati
Dira. Mungkin ia merasa telah sadar, bagaimana perasaan Alvin terhadapnya
selama ini. Mungkin juga ia kesal, mengapa Alvin mengalah tanpa syarat pada
Felix. Dira benci harus bertanya-tanya dan semua jawaban yang ia dapat hanya
berupa kemungkinan. Bukan kepastian.
Alvin benar-benar menjauh setelah itu.
Hanya sekali mereka bicara lagi; hari terakhir Alvin di kantor. Ia akan pindah.
Bahkan ia tak pernah ceritakan itu pada Dira sebelumnya. Entah. Tapi saat itu
hati Dira benar-benar remuk. Selama ini ia merasa bisa bertahan karena masih
bisa melihatnya meski jauh. Ia sadar hatinya untuk siapa. Atau mungkin juga
tidak.
“Kenapa?” katanya waktu itu.
“Apanya?”
Ya Tuhan, inilah Alvin yang mungkin orang
lain kenal. Hari itu ia begitu dingin pada Dira. Sorot mata yang dulu ia anggap
biasa, jauh lebih hangat daripada yang sedang ia lihat kini.
“Pindah?” suaranya bergetar. Dengan jelas.
“Hanya ingin pindah.” Alvin tersenyum pada
Dira seperti ia tersenyum kepada orang-orang lain.
Senyum tergetir Alvin yang pernah Dira terima.
Sampai-sampai ia lebih memilih lantai marmer abu tua yang mereka pijak sebagai
pusat perhatiannya. Ia mengangguk-angguk. “Dua bulan lagi aku tunangan sama
Felix. Sempetin dateng, ya?”
“Menurutmu?” Alvin menatap tajam. Tapi Dira
tidak melihatnya. Tidak berani.
Pandangannya pada marmer abu membuyar. Kaca
tipis bening menjelma air mata dan isakan yang ia coba tahan akhirnya mengalir
begitu saja. Alvin meninggalkannya tanpa ingin tahu apa ia baik-baik saja.
Dan Alvin tidak pernah datang. Biarlah.
Dira merasa ia berhak bahagia. Ia hanya bisa berdoa semoga Alvin juga. Ia
mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa Felix juga pria yang baik. Dia akan
membahagiakannya.
“Maaf sayang. Aku ada klien dulu tadi.
Katanya mau ada kejutan? Kejutan apa, Sayang?” Felix datang dengan senyumnya
yang selalu paling manis. Ia membawa sebuket bunga mawar pink kesukaan Dira,
plus kecupan hangat di kedua pipinya.
Felix adalah laki-laki romantis yang hampir
tak pernah mengecewakan. Dira mungkin satu-satunya yang beruntung, menjadi
pilihannya di antara banyak wanita yang menggilainya. Tampan, kaya raya, dan
tahu cara memanjakan wanita. Usia mereka terpaut empat tahun. Felix sudah
mapan. Dan akhir tahun ini mereka akan menikah.
Dira tersenyum simpul. Meletakkan bunganya
di samping dua gelas kosong yang tadinya terisi penuh minuman buah bersoda.
“Sejak kapan kamu minum soda?” Tanya Felix
terheran. Dua tahun bersama, ia tahu betul Dira tak pernah memesan soda.
“Fe..”
“Ya, sayang?” Felix meraih jemari Dira.
Mengecup jari manisnya yang berhias cincin pertunangan mereka.
Dira menghela napas panjang. Menarik lembut
jemarinya dari Felix. “Kayaknya aku gak bisa terusin lagi hubungan kita. Aku
minta maaf..”
Tak usah ditanya bagaimana perasaan Felix.
Seluruh tubuhnya melemas. “Kenapa?” ia tak yakin suaranya terdengar.
“Maaf..” hanya itu. Air mata ikut berempati
untuknya. Untuk keadaan ini. Dira ingin berkata; “Kamu lebih dari cukup,Fe.
Kamu gak pernah ngecewain aku. Kamu selalu berusaha bahagiain aku. Tapi
sekarang aku sadar, selama ini hati aku buat siapa. Ada rasa yang belum tuntas.
Maafin aku yang baru sadar sekarang. Maaf..” tapi mulutnya terkunci rapat.
Felix hanya tertunduk lemah. Entah mengapa
semua yang ia lakukan selama ini terasa sia-sia. Segala telah ia lakukan untuk
membuat Dira bahagia. Hanya satu yang belum; melihat Dira ceria dan menjadi
dirinya yang utuh kembali. Ia sudah lama mengenal Dira. Ia tahu Dira seperti
apa, sampai Rico, sahabatnya membuat Dira menjadi asing bagi dunia.
Selama dua tahun ini ia terus mencoba
mengembalikan Dira yang dulu. Yang tak pernah kehabisan rasa humornya, yang
pandai bergaul, yang terkadang konyol dan manja seperti anak taman kanak-kanak.
Felix tahu Dira sangat menyukai gula-gula lebih dari apapun di dunia ini. Tapi
sekarang bahkan ia menghindarinya. Dira menjadi benar-benar asing.
Felix sadar, Dira tidak berpura-pura
bahagia. Ia tahu, Dira pun sama seperti dirinya; mencoba. Tapi dua tahun ini
juga menjadi sia-sia bagi Dira. Memang bukan dengan Felix ia bahagia. Felix
tidak salah. Dira juga tidak. Jika saja mereka mau terbuka.
“Terima kasih untuk mau mencoba,” kata
Felix akhirnya. Ia tak kehilangan seyum manisnya.
Dira melepas cincinnya. Menaruhnya pada
genggaman tangan Felix. Lalu memeluknya, mungkin yang terakhir. Ia benci harus
terisak seperti ini. Tapi apa daya. “Terima kasih..” bisiknya lirih.
Felix mengacak-acak pelan rambut Dira.
Mengangguk tersenyum. Matanya yang telah sembab tak kehilangan binarnya. Kali
ini yang ia cari akhirnya ditemukan; senyum paling tulus dari seorang Fendira.
Dira yang dulu. Lalu merelakannya pergi menjemput bahagianya sendiri.
EPILOG
Sekarang aku sadar, kepada siapa sebenarnya
hatiku tertuju. Mungkin keputusanku ini bodoh, tapi tak sebodoh ketika aku
melepaskanmu. Aku tak peduli jika keadaan sudah jauh berubah saat aku menemuimu
–atau, menemukanmu. Yang aku ingin hanya menuntaskan perasaan ini. Mendapat
jawaban pasti dari semua pertanyaan-pertanyaan yang tak sempat ditanyakan. .
Untuk
itu semua aku mencarimu,
Fendira