5/18/2015

Libur dan Sakit; Dua Hal yang emmmh



Liburan empat hari dan gue sakit. Sebenernya gue masih bisa lincah seperti biasa. Hanya saja harus rada menahan diri sedikit. Tubuh gue sekarang ini sedang menjadi inang bagi suatu virus menyebalkan –dan rada berbahaya kalo gak segera dihandle. Ini bermula dari kejadian gue nginep dengan terpaksa di salah satu temen kerja. Gue gak pernah membiasakan diri nginep-nginep kalo gak terpaksa. Hiks
Gara-gara kondisi badan yang gak fit, alhasil gak mampu mempertahankan kekebalan tubuh. Tapi gue yakin bentar lagi juga sembuh. Insha Allah. Waktu Jumat siang udah diperiksain. Dan gue membawa oleh-oleh berupa obat-obatan yang harus gue habiskan tentunya.
Menilik sisi baiknya adalah gue jadi teratur makan. Karena harus minum obat tiga kali sehari, otomatis pola makan gue jadi disesuaikan. Yah, barangkali Allah ngasih gue sakit begini biar gue membenahi apa yang selama ini salah di gue. Makan berantakan, istirahat semaunya –sesempatnya. Dan mungkin juga ini adalah jalan biar gue bisa memperbaiki dan meningkatkan berat badan yang kian mengkhawatirkan ini. Hahaha
Sebelumnya, makan teratur adalah hal langka bagi gue. Gue males banget makan kalo gak laper-laper banget. Apalagi kalo udah menekuni sesuatu dengan serius, bisa bablas deh. Setelah gue pikir-pikir, mungkin itu adalah salah satu sifat kufur nikmat yang udah gue lakukan. Di saat orang lain ada yang gak makan karena gak mampu, gue malah gak makan karena gak mau. Astaghfirullah, semoga Allah mengampuni.
Aneh, sih. Saat gue merasa gak laper tapi udah waktunya makan, gue harus benar-benar memaksakan diri untuk makan. Apalagi kondisi seperti sekarang, saat isi kulkas nyaris kosong oleh bahan mentah, hanya ada telur (andalan gue yang kemarin dipantang sementara sama dokter) dan camilan, maka gue harus nyari makan ke warteg atau apapun itu tempat yang menjual sesuatu yag bisa gue makan. Pokoknya harus, karena gue niat lillahi ta’ala pengen sembuh. Sebut saja ini bagian dari ‘perjuangan’ buat sembuh. Hehe
Karena sakit, gue gak pulang ke Bandung. Bahkan gue gak ngabarin keadaan gue yang begini ke keluarga gue. Kegiatan lain yang gue lakukan selama liburan ini adalah mewarnai gambar dan mencuci baju. Beneran deh, gue seneng banget dari Jumat sampai Sabtu nyuci pakaian segambreng. Bahkan Minggu mencuci baju bekas gue pakai malemnya. Kenapa senang? Karena gue bisa menjemurnya langsung di bawah sinar matahari. Jadi sehari aja udah kering dan gak lembap, gak kayak nyuci di hari kerja yang gue jemur di kamar mandi. Yeeeay! *jangan berpikir gue aneh*
Alhamdulillah gue bisa mengisi libur dengan hal-hal yang bermanfaat dan gak ngabisin banyak uang (walaupun minim hiburan). Meskipun sedang gak sehat, gak berarti gue harus bergelung terus di kasur kayak naga yang udah kenyang. Kalo kata Bu #ESO mah; Kalau kita berpikir sakit, maka kita akan merasa sakit. Dan itu adalah kalimat yang gue amini sampai sekarang –dan mungkin selamanya. Tetap gembira, selagi kita bisa J
Salam.

5/09/2015

Syauqi Alief Attar



Ada yang kenal dengan Syauqi Alief Attar?
Gue udah pernah search nama itu di Om Gugel. Gak nemu informasi yang memuaskan, ah! Pentingkah dia? Hmm, sebenarnya gue cuma penasaran aja, sih. Atau jangan-jangan, nama itu gak pernah ada. Hanya nama samaran, atau nama pena.
Kenapa gue nanya si Syauqi itu?
Seperti biasa, kita bertele-tele dulu lah sebentar:
Waktu itu sekitar kelas empat atau lima SD. Karena hanya memiliki edikit sekali buku bacaan di rumah, maka gue akan membaca apa saja selama menurut gue isinya menarik. Mulai dari cerpen di koran Minggu, sampai buku pelajaran SMA milik salah satu kakak sepupu gue.
Khusus untuk buku pelajaran, gue paling senang sama Bahasa Indonesia karena biasanya memuat beberapa cerpen dan dialog singkat. Ada juga puisi, yang emang gue seneng banget sampai-sampai gue ngumpulin karangan puisi gue di salah satu buku khusus. Walaupun dalam membuat puisi gue Cuma bisa bikin yang standar tanpa banyak makna kias, buat gue itu semua adalah hiburan yang menyenangkan.
Di antara buku-buku kakak gue yang sering gue kepoin itu, ada juga majalah bulanan atau mungkin tri wulanan sekolahnya. Isinya macem-macem. Ada profil guru dan atau murid pilihan, kiriman puisi atau cerpen, dan dari majalah itu pula untuk pertama kalinya gue tau istilah “anekdot”, hehe...
Gue seneng berlama-lama di rubrik puisi. Ada puisi kiriman murid, ada pula yang kutipan dari penyair tanah air. Kadang suka berkomentar sendiri dengan bacaan yang ada di situ. Nah, ada sebuah puisi yang entah mengapa sampai sekarang bisa gue hapal di luar kepala. Judulnya “Bahasa Gelombang”. Nama penulisnya, ya itu, si Syauqi Alief Attar itu.
Meski gue belum terlalu paham , tapi menurut gue isinya memikat. Gue suka sama diksinya. Gaya bahasanya juga. Begini puisinya. Maaf kalo penggalan kalimatnya salah, soalnya gue cuma inget isinya doang. Hehe
Sudah lelah
Ke hutan-hutan seorang penyair
Merindu pohon-pohon belukar
Dikejar diam ke dalam batu-batu
Embun berangkat ke langit-langit dadanya
Dan pada rumput, matahari mabuk
Mengguncang darah jam yang tak kunjung pejam
Dalam simpuh tembang luka mengekal
Dan di dasar sujud;
Gelombang pulang

Ya Allah, Tuhan. Maha Suci Engkau yang menganugerahkan daya pikir dan kreativitas pada kami; manusia. Selain “Aku” milik Chairil Anwar, maka Bahasa Gelombang bisa jadi adalah satu lagi puisi yang bisa gue hapal di luar nalar.
 Istimewa. Seolah saya terbius pada kata-katanya; Merindu pohon-pohon belukar || Mengguncang darah jam yang tak kunjung pejam... dan kalimat lain sampai tamat.
Jika ada yang tahu siapa dia, kasih info ke gue ya. Gue penasaran. Mungkin jaraknya sudah sepuluh tahun sejak pertama kali gue membacanya. Tapi buat gue, puisi itu selalu terdengar segar. Meski mungkin tak sesegar makna yang dikandungnya.
Jadi semakin pengen gue masuk sastra, namun semakin nampak pula bahwa keinginan itu sudah seperti oasis bagi gue yang terdampar di Gurun Entah-berantah ini :’)


5/08/2015

DUNIA BATAS



Itu dia judul dari lukisan pertama gue. Gambar sesederhana itu awalnya dibuat begitu saja tanpa arti. Sampai suatu hari gue pengen ngasih dia nama. Kemudian gue cermati lagi gambarnya. Mungkin kalau orang lain akan melukis apa yang ingin dia ekspresikan lewat gambar, maka gambar gue hanya gambar biasa yang terbentuk dari tangan yang ingin bergerak seenaknya.
Dunia Batas. Bukan nama album Payung Teduh, ya. Hehe... Nama boleh sama, tapi filosofinya boleh lah beda. Ngarang sendiri ini mah.
Lihat kalimat description di blog gue! “Kebebasan itu omong kosong!”. Oh, tentu aja, Sayang. Bagaimana tidak? Gak ada kebebasan yang mutlak di dunia ini. Ada, tapi bukan milik manusia. Kalo kamu gak setuju, maka gue gak peduli. Hehe.
Bahkan sejak membuka mata untuk pertama kali di muka bumi ini, kita tidak bisa bebas memilih ingin lahir dari rahim Siapa. Nah loh. Masih percaya pada kebebasan? Buat gue, kata bebas yang diberi imbuhan ke-an itu hanya omong-kosong-besar.
Kebebasan itu nyata, tapi gak pernah benar-benar nyata sepenuhnya. Akan ada yang namanya batas, baik dari pengaruh luar maupun faktor dari dalam diri kita. Ada yang namanya peraturan. Ada sesuatu yang kita sebut keterbatasan. Ketidakmampuan.
Bangunlah kalian, wahai orang-orang yang masih mengagungkan kalimat pembangkit percaya diri, “Hidup gue terserah gue!”. Kita memegang kemudi atas hidup kita, tapi ada Yang Maha Mengendalikan. Dan itu bukan kita. Bukan!
Kurang lebih itulah yang gue dapatkan setelah melihat lagi lukisan gue. Bukan lukisan yang bagus. Sama sekali bukan. Yang anak SD sekalipun bisa bikin yang lebih bagus. Tapi di sana gue sadar, jika dalam kehidupan yang kita lihat begitu banyak kesamaan, sebenarnya masih banyak yang belum kita tengok di luar sana.

Lingkaran yang kecil, yang lebih besar, mereka terkungkung dalam bilik merah. Segitiga di sana bebas ingin menghadap ke mana, tapi mereka hanya ada di area biru saja. Juga yang lainnya. Andaikata gue gak membuatnya terbagi dalam empat sekat, gambar-gambar di dalamnya tetap akan dibatasi oleh garis pinggir. Jika pun gue sengaja menghilangkan garis pinggirnya, maka ukuran kanvas yang hanya 30x30 cm itu adalah mentok membatasi bagun-bangun di permukaannya. Gue gak pandai menafsirkan gambar. Tapi kurang lebihnya ya gitu yang gue paham.
Silakan, nikmati kebebasan-yang-berbatas yang mengkungkung diri kita dengan bijak. Terkadang, membangun batasan dari peluang bebas dalam hidup justru perlu.

5/07/2015

Keimanan



Hasrat menulis hari ini dipersembahkan oleh Shaffix yang lagi nyanyi di dalam netbook gue.
Pertama denger lagu ini waktu SMP. “Dikenalin” sama Pak Nandang Sutiana, guru Tahfidz yang juga merangkap pembimbing ekskul Nasyid di sekolah gue waktu itu. Ya. Gue yang tengil ini, begini-begini juga pernah ikutan nasyid. Hahaha
Kalau gak salah, waktu itu hari Kamis. Maaf kalo salah, soalnya udah sekitar delapan tahun yang lalu. Wew. Dari tape yang dibawa dari ruang guru, Pak Nandang memutar sebuah kaset. Kami yang berkumpul di ruangan kemudian mendengar lagu itu mengalun untuk pertama kali;
Andai matahari di tangan kananku
Takkan mampu merubah yakinku
Terpatri dan takkan terbeli
Dalam lubuk hati

Bilakah rembulan di tangan kiriku
Takkan sanggup mengganti imanku
Jiwa dan raga ini
Apapun adanya
***
Andaikan seribu siksaan
Terus melambai-lambaikan derita yang mendalam
Seujung rambut pun aku takkan bimbang
Jalan ini yang kutempuh

Bilakah ajal kan menjelang
Jemput rindu-rindu syahid yang penuh kenikmatan
Cintaku hanya untuk-Mu
Tetapkan imanku selalu
Speechless kita.
Hingga detik terakhir lagu itu selesai mengalun, beberapa saat kami terdiam. Tertegun. Tertawan dalam suara merdu. Musik yang syahdu. Lirik yang membikin kami terpekur khusyu’.
Lagu itu tidak dipedengarkan terus-menerus selama kami latihan di minggu-minggu berikutnya. Tidak juga satu pun di antara kami yang mengoleksi lagunya di handphone. Dulu handphone masih jarang yang bagus dan multifunction seperti sekarang. Download di internet pun tak terpikirkan. Untuk membeli kasetnya, gue harus pikir-pikir lagi karena uang dua puluh ribu rupiah saat itu susah banget buat gue.
Tapi sampai hari ini; delapan tahun setelah itu, gue (Alhamdulillah) masih bisa mengingat bagaimana lagu itu dengan indahnya merambat lewat gelombang udara tanpa terlihat. Dan pada hari ini pula, secara ilegal gue mendapatkan lagunya. Dapet download. Eh, ilegal gak sih? Hehe
Lirik lagunya dalem, tapi gak lebay. Diramu dengan instrumen yang lembut dan suara yang merdu, dihayati banget kayaknya dia nyanyi. Menjadikannya racikan yang pas untuk sebuah lagu religi. Bagi yang belum denger lagunya, silakan dicari.
Mudah-mudahan setelah lagunya menguar bersama udara yang kita hirup ini, akan ada suatu nilai tambah pada diri kita. Diam-diam gue jadi bersyukur, dilahirkan dalam keluarga yang (sudah) beragama muslim. Alhamdulillah. Keyakinan dalam hal ini adalah harga mati. Gue lahir sebagai muslim, mati pun harus dalam keadaan muslim. Yang khusnul khatimah, mudah-mudahan. Aamiin. Bukan cuma muslim yang bisa diidentifikasi dari kartu identitas semata.


Kosan Kuning,
07 Mei 2015.

5/04/2015

Tanda Tanya



hujan kerap membawa ingatan terbang

menembus jarak jutaan tahun cahaya

namun kali ini,

ia tak membawaku ke manapun

aku masih di sini;

masih mencari, menggali

di mana jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah sampai ke tanda tanya





kosan kuning, Mei 2015

5/03/2015

me and arts



April 22nd, 2015
Katanya tidak ada yang salah dalam seni. Gue sendiri sebenarnya tidak begitu mengerti tentang seni. Tapi yang jelas gue menikmati beberapa darinya. Gue menikmati menonton seni tari, musik tradisional, fotografi, lukisan, dan lainnya.
Menikmati seni, belum tentu juga bisa melakukannya. Gue gak cukup lentur dan gemulai untuk menari, dalam mengingat gerakan juga kurang cepat. Gue senang bernyanyi, tapi gak ada satupun instrumen musik yang mahir gue mainkan. Gue sering kagum melihat hasil potretan orang lain yang bisa menangkap sudut unik suatu objek lewat keterbatasan resolusi yang ditawarkan sebuah kamera. Meski gak ngerti lukisan, tapi gue sering terpana ketika melintasi sepanjang Jalan Braga yang menjajakan lukisan untuk dijual; gue gak ngerti gimana caranya ngatur komposisi warna, memulas cat dengan kuas di kanvas, dan lainnya.
Tapi sekali lagi; katanya, gak ada yang salah dalam seni. Seni itu berkaitan degan kreativitas. Yang membedakannya dengan eksak, kata Pidi Baiq, “Dalam eksak, jika kau menjawab seperti umum, kau benar. Tapi kreatvitas, jika sama dengan orang lain, kau niru.”. “Menjawab”, bukan berarti hanya “Jawaban”. Tapi “hasil” yang didapat.
Dalam seni rupa, khususnya menggambar, jujur aja gue banyak menemui kesulitan. Gue beneran gak bisa menggambar. Sejak SD, nilai Seni Budaya kalo menggambar hampir selalu kecil. Gak kreatif juga kalo tema gambarnya bebas, imajinasi gue liar tapi gak bisa dituangkan dengan pensil dan kertas. Tapi gue senang kalo disuruh mewarnai. Sampai sekarang; saat usia melewati angka dua puluh!
Gue punya satu set crayon dan sebuah sketchbook yang gue bawa ke kosan buat ngisi waktu iseng kalo lagi bosen. Tapi, kebanyakan yang ngegambar di sketchbook itu adalah adik dan pacar gue, lalu gue yang kebagian mewarnainya.
Atas permintaan yang sedikit maksa, adik gue menggambarkan seekor kuda yang gagah. Pacar gue menggambar tokoh kartun kesayangan gue; Tony-Tony Chopper. Gue, menggambar rumah yang setelah diwarnain kata Bu Kiki mirip rumah kebakaran. See? Bahkan mewarnai; yang gue suka, belum tentu memastikan bahwa gue jago. Hahahaha. Sisanya gue gambarin lingkaran-lingkaran yang gak seperti lingkaran. Terus dicoret-coret krayon tanpa ada gambar yang jelas.
Pada suatu hari, gue nganter Ka Vieh ke toko buku buat beli kertas kado. Keesokan harinya pacarnya ultah. Jadi mau nyari bungkusan yang unyu gitu. Toko bukunya tiga lantai. Cukup lengkap menyediakan ATK, aksesoris buat bikin kerajinan tangan, sampai ke peralatan melukis yang menurut ukuran gue komplit.
Iseng, gue membeli sebuah kanvas ukuran 30 x 30 cm. Entah mau digambarin apa nantinya. Belum kepikiran. Yang ada di dalam kepala gue saat itu adalah, “Kalo udah dibeli pasti nanti dipake.”
Sebelumnya gue gak pernah menggambar, apalagi mewarnai di kanvas. Haha, norak, mungkin. Tapi ya itulah gue. Selama ini gue beranggapan bahwa gue gak bisa menggambar. Jadi buat apa buang-buang duit buat beli peralatan gambar segala.
Tapi pada akhirnya gue melukis juga. Jangan memberi ekspektasi tinggi ketika gue bilang bahwa gue “melukis”. Karena mungkin buat orang yang bisa dan ngerti melukis, hasil yang gue bikin itu gak pantes disebut “lukisan”. Yah, whatever. Yang jelas gue senang karena udah mencoba.