Senang rasanya ketika akhirnya Nala berhasil menemukanku
yang teronggok sendirian di sebuah beermart yang jauh dari rumahku ini. Wajahnya
yang tampan sengaja ditekuk untuk memberitahuku bahwa ia tak senang.
“Anak perempuan jam segini di tempat beginian,” ujarnya
dingin seraya melingkarkan sweater yang sudah disiapkannya ke badanku.
“No alkohol, sumpah,” sahutku membuntutinya. Ia berjalan
mendahuluiku. Selalu begitu kalau sedang marah.
“Kalo mau minum susu beruang kan di mini market juga banyak.”
Aku menyusul langkahnya yang panjang-panjang. “Lah siapa
yang minum susu beruang?!”
Susu beruang yang dimaksud adalah susu sapi dengan kemasan
kaleng bergambar beruang. Kulihat rahang Nala mengeras. Langkahnya terhenti. Aku
ikut berhenti.
“Terserah lu ya. Lain kali gue gak mau nyusulin lu lagi. Cukup
ini yang terakhir.” Mata elangnya membidik mata bulatku.
Aku melangkah cuek menuju mobilnya yang kulihat berjarak tak
jauh. “Coba aja. Gak bakalan tega.”
Nala membukakan pintu. Aku duduk melesakkan tubuhku hingga
terasa tak nyaman.
“Yang bener duduknya, Anak Manja!” Nala membantuku
membenarkan letak duduk.
“Iya. Andaikan gue bisa jadi anak yang bener-bener manja,”
timpalku sekenanya.
Terdengar helaan napas
panjang dari pria di sebelahku ini. “Mulai, deh..”
Sudah dua tahun aku dan Nala berhubungan dekat. Tanpa status.
Dibilang pacaran sebenarnya tidak juga. Hubungan kami tak seperti orang-orang
yang menjalin percintaan lewat pacaran. Aku sayang padanya, dan aku juga merasa
ia sayang kepadaku. Entah sebagai apa. Kami tak selalu melakukan segalanya
bersama. Nala juga tak pernah cemburu
ketika tahu aku sedang bersama lelaki lain. Begitu juga aku padanya, kecuali
pada beberapa kasus. Hmm..
Nala tahu betul siapa aku ini; bagaimana aku ini. Bagiku, ia
seperti malaikat tanpa sayap yang Tuhan hadiahkan padaku. Entah apa aku ini
baginya. Nala punya segalanya: harta yang mewah, keluarga harmonis, prestasi
cemerlang, dan yang paling berharga adalah sifatnya yang sangat peduli. Padaku!
Sangat terbalik dengan kondisiku. Hancur –sehancur-hancurnya.
Tapi ia “menerimaku” tanpa pernah mengintimidasi sedikitpun. Ada sisi dalam
diriku yang hanya bisa muncul ketika aku di dekatnya. Yang seakan membunuh pekatnya sisi kelamku di
bagian lainnya.
Aku mengecilkan volume tape. Memandang ke arah trotoar yang
basah oleh serbuan titik hujan. Dua tahun di dekatnya tak pernah membuat
jantungku berdebar di luar kebiasaan. Tapi rasa nyaman yang diciptanya selalu
sama sejak awal hingga sekarang.
“Denger, Elora. Kalo lo ada masalah jangan kabur-kaburan
lagi, lah. Kan bisa whatsapp gue. Nanti gue
anter ke mana elo mau. Bukan kayak gini caranya..”
Aku tahu Nala bicara sambil memandangku. Tapi mataku sudah
tertawan oleh pemandangan licinnya jalan berspal. “Ya gimana, Nal. Udah hobi
gue, kali.”
“Hobi yang bikin orang lain jadi susah,” komentarnya.
Aku memalingkan muka padanya. Mendaratkan pandangan pada sepasang
alis gondrong nan indah itu. “Tapi kan lo bukan orang lain.”
Ya, aku tahu aku kelewatan. Kuhitung-hitung, ini adalah kali
keenam aku bertindak begini. Empat di antaranya melibatkan Nala untuk kemudian
kurepotkan. Saat ada masalah yang tak bisa kupecahkan, aku “menyasarkan” diriku
dengan menaiki angkot yang jurusannya belum pernah kukenali sebelumnya. Turun di
mana aku mau. Lalu disambung lagi dengan angkot lain yang membawaku ke tempat yang
entah berantah. Naik bis juga pernah. Dan sialnya, aku tak pernah bisa
mengingat jalan dengan mudah. Selama masih ada uang dan baterai handphone yang
cukup, kegiatan seperti itu kemudian aku ulang-ulang.
“Nal, menurut lu, cewek kayak gue nanti bisa dapet cowok
yang bener gak ya?” tanyaku serius.
Nala terkekeh. “Kenapa? Kebelet kawin, lo? Haha.. Elora
Oriana, dua tahun gue kenal lo, baru sekarang lo mengajukan pertanyaan konyol macem
ini! Haha...”
Nala tampan saat tertawa. Berkali-kali lipat. Tapi tidak
malam ini. Karena dia menertawakan hal yang serius yang malah ia sebut konyol. Aku
memasang muka ngambek. Lalu Nala sadar dan meminta maaf. Perlahan tawanya reda,
lalu menepikan mobil ke depan sebuah ruko (mungkin?) yang sudah tutup.
Aku mengernyitkan dahi. “Kok berhenti? Di sini? Di mekdi,
kek. Di tukang soto, kek,” rengekku. Kali ini Nala yang memasang raut serius. Teduh
sekali.
“Lu kenapa?”
Aku menarik napas panjang. Lalu mulai bercerita panjang
padanya. Tentang kekhawatiranku akan masa depan. Aku yang membutuhkan sosok
yang kelak akan membimbingku menuju perbaikan. Perbaikan dalam segala hal! Banyak
hal pada diriku yang harus ditambal di sana dan sini.
“Pasti jodoh lo nanti, siapa pun itu, adalah yang Tuhan
pilihkan khusus buat lo. Cowok baik ya
untuk cewek baik. Gue yakin, Tuhan tahu mana umatnya yang bersungguh-sungguh. Ya
mungkin lo belum merasa cukup baik sekarang, tapi kalo lo emang serius
berusaha, Tuhan akan kasih lo cowok yang baik untuk melengkapi dan
menyempurnakan kekurangan lo.”
“Kalo gitu, gue pengen nikahnya sama elo aja deh. Kan lo
udah tau cacatnya gue di mana. Rewelnya gue kayak apa. Haha..”
Nala menoyor kepalaku. “Ngacooo!! Hahaha.. lu ngomong pengen
nikah sama gue macem pengen beli es krim ke Indomaret! Hahaha..”
“Iya juga.”
“So what’s your next step?”
“Umm.. Nyiapin diri aja kali, ya. Mulai dari... selalu mandi
dulu sebelum keluar rumah, meski cuma jajan es krim bentar ke Indomaret. Biar kalo-kalo
ketemu jodoh di jalan, gue gak malu-malu amat. Haha..”
*Entah kenapa ceritanya jadi begini. Padahal dari awal
ngetik tulisan, bukan mau nulis kayak gini. Di tengah-tengah cerita, gue tetiba
inget tweetnya Sujiwo Tejo: “Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kau bisa
berencana menikahi siapa; tapi tak dapat kaurencanakan cintamu untuk siapa.”
Udah lama sebenernya baca tweet itu. Entah kenpaa tadi
terngiang begitu aja. Hehe.
Kosmar III, 18 April 2016 Masehi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar