4/18/2016

The Curved Story



Senang rasanya ketika akhirnya Nala berhasil menemukanku yang teronggok sendirian di sebuah beermart yang jauh dari rumahku ini. Wajahnya yang tampan sengaja ditekuk untuk memberitahuku bahwa ia tak senang.
“Anak perempuan jam segini di tempat beginian,” ujarnya dingin seraya melingkarkan sweater yang sudah disiapkannya ke badanku.
“No alkohol, sumpah,” sahutku membuntutinya. Ia berjalan mendahuluiku. Selalu begitu kalau sedang marah.
“Kalo mau minum susu beruang kan di mini market juga banyak.”
Aku menyusul langkahnya yang panjang-panjang. “Lah siapa yang minum susu beruang?!”
Susu beruang yang dimaksud adalah susu sapi dengan kemasan kaleng bergambar beruang. Kulihat rahang Nala mengeras. Langkahnya terhenti. Aku ikut berhenti.
“Terserah lu ya. Lain kali gue gak mau nyusulin lu lagi. Cukup ini yang terakhir.” Mata elangnya membidik mata bulatku.
Aku melangkah cuek menuju mobilnya yang kulihat berjarak tak jauh. “Coba aja. Gak bakalan tega.”
Nala membukakan pintu. Aku duduk melesakkan tubuhku hingga terasa tak nyaman.
“Yang bener duduknya, Anak Manja!” Nala membantuku membenarkan letak duduk.
“Iya. Andaikan gue bisa jadi anak yang bener-bener manja,” timpalku sekenanya.
Terdengar helaan napas  panjang dari pria di sebelahku ini. “Mulai, deh..”
Sudah dua tahun aku dan Nala berhubungan dekat. Tanpa status. Dibilang pacaran sebenarnya tidak juga. Hubungan kami tak seperti orang-orang yang menjalin percintaan lewat pacaran. Aku sayang padanya, dan aku juga merasa ia sayang kepadaku. Entah sebagai apa. Kami tak selalu melakukan segalanya bersama. Nala juga  tak pernah cemburu ketika tahu aku sedang bersama lelaki lain. Begitu juga aku padanya, kecuali pada beberapa kasus. Hmm..
Nala tahu betul siapa aku ini; bagaimana aku ini. Bagiku, ia seperti malaikat tanpa sayap yang Tuhan hadiahkan padaku. Entah apa aku ini baginya. Nala punya segalanya: harta yang mewah, keluarga harmonis, prestasi cemerlang, dan yang paling berharga adalah sifatnya yang sangat peduli. Padaku!
Sangat terbalik dengan kondisiku. Hancur –sehancur-hancurnya. Tapi ia “menerimaku” tanpa pernah mengintimidasi sedikitpun. Ada sisi dalam diriku yang hanya bisa muncul ketika aku di dekatnya. Yang  seakan membunuh pekatnya sisi kelamku di bagian lainnya.
Aku mengecilkan volume tape. Memandang ke arah trotoar yang basah oleh serbuan titik hujan. Dua tahun di dekatnya tak pernah membuat jantungku berdebar di luar kebiasaan. Tapi rasa nyaman yang diciptanya selalu sama sejak awal hingga sekarang.
“Denger, Elora. Kalo lo ada masalah jangan kabur-kaburan lagi, lah. Kan bisa  whatsapp gue. Nanti gue anter ke mana elo mau. Bukan kayak gini caranya..”
Aku tahu Nala bicara sambil memandangku. Tapi mataku sudah tertawan oleh pemandangan licinnya jalan berspal. “Ya gimana, Nal. Udah hobi gue, kali.”
“Hobi yang bikin orang lain jadi susah,” komentarnya.
Aku memalingkan muka padanya. Mendaratkan pandangan pada sepasang alis gondrong nan indah itu. “Tapi kan lo bukan orang lain.”
Ya, aku tahu aku kelewatan. Kuhitung-hitung, ini adalah kali keenam aku bertindak begini. Empat di antaranya melibatkan Nala untuk kemudian kurepotkan. Saat ada masalah yang tak bisa kupecahkan, aku “menyasarkan” diriku dengan menaiki angkot yang jurusannya  belum pernah kukenali sebelumnya. Turun di mana aku mau. Lalu disambung lagi dengan angkot lain yang membawaku ke tempat yang entah berantah. Naik bis juga pernah. Dan sialnya, aku tak pernah bisa mengingat jalan dengan mudah. Selama masih ada uang dan baterai handphone yang cukup, kegiatan seperti itu kemudian aku ulang-ulang.
“Nal, menurut lu, cewek kayak gue nanti bisa dapet cowok yang bener gak ya?” tanyaku serius.
Nala terkekeh. “Kenapa? Kebelet kawin, lo? Haha.. Elora Oriana, dua tahun gue kenal lo, baru sekarang lo mengajukan pertanyaan konyol macem ini! Haha...”
Nala tampan saat tertawa. Berkali-kali lipat. Tapi tidak malam ini. Karena dia menertawakan hal yang serius yang malah ia sebut konyol. Aku memasang muka ngambek. Lalu Nala sadar dan meminta maaf. Perlahan tawanya reda, lalu menepikan mobil ke depan sebuah ruko (mungkin?) yang sudah tutup.
Aku mengernyitkan dahi. “Kok berhenti? Di sini? Di mekdi, kek. Di tukang soto, kek,” rengekku. Kali ini Nala yang memasang raut serius. Teduh sekali.
“Lu kenapa?”
Aku menarik napas panjang. Lalu mulai bercerita panjang padanya. Tentang kekhawatiranku akan masa depan. Aku yang membutuhkan sosok yang kelak akan membimbingku menuju perbaikan. Perbaikan dalam segala hal! Banyak hal pada diriku yang harus ditambal di sana dan sini.
“Pasti jodoh lo nanti, siapa pun itu, adalah yang Tuhan pilihkan khusus  buat lo. Cowok baik ya untuk cewek baik. Gue yakin, Tuhan tahu mana umatnya yang bersungguh-sungguh. Ya mungkin lo belum merasa cukup baik sekarang, tapi kalo lo emang serius berusaha, Tuhan akan kasih lo cowok yang baik untuk melengkapi dan menyempurnakan kekurangan lo.”
“Kalo gitu, gue pengen nikahnya sama elo aja deh. Kan lo udah tau cacatnya gue di mana. Rewelnya gue kayak apa. Haha..”
Nala menoyor kepalaku. “Ngacooo!! Hahaha.. lu ngomong pengen nikah sama gue macem pengen beli es krim ke Indomaret! Hahaha..”
“Iya juga.”
“So what’s your next step?”
“Umm.. Nyiapin diri aja kali, ya. Mulai dari... selalu mandi dulu sebelum keluar rumah, meski cuma jajan es krim bentar ke Indomaret. Biar kalo-kalo ketemu jodoh di jalan, gue gak malu-malu amat. Haha..”


*Entah kenapa ceritanya jadi begini. Padahal dari awal ngetik tulisan, bukan mau nulis kayak gini. Di tengah-tengah cerita, gue tetiba inget tweetnya Sujiwo Tejo: “Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kau bisa berencana menikahi siapa; tapi tak dapat kaurencanakan cintamu untuk siapa.”

Udah lama sebenernya baca tweet itu. Entah kenpaa tadi terngiang begitu aja. Hehe.


Kosmar III, 18 April 2016 Masehi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar