Aku mendapat
kado yang terlambat untuk ulang tahunku yang ke dua puluh empat. Sebuah lukisan
dengan kupu-kupu biru sebagai objeknya. Surprised,
tentu. Ulang tahunku ‘kan, sudah tujuh bulan terlewat.
“Selamat ulang
tahun, ya,” ujarnya seraya menyodorkan sesuatu.
“Terimakasih,”
kataku sewaktu menerimanya.
Dia hanya senyum
seulas, lalu pamit. Mau berenang, katanya.
Benda itu diserahkannya seusai jam pulang kerja di
depan mushala lantai dua. Terbungkus oleh kertas koran dan disimpan di dalam
tas berbahan kertas daur ulang yang sering kulihat di toko buku atau penjual
cindera mata.
Sehari
sebelumnya memang dia sudah memberi tahuku, katanya mau ada perlu sebentar. Aku
yang tak begitu ingin tahu, hanya mengiyakan. Ternyata memang benar-benar
sebentar. Sangat sebentar.
Tanpa membuka
dahulu apa isinya, aku menaruhnya begitu saja sesampainya di rumah. Kemudian
mengirim sebuah pesan singkat untuknya:
‘Hei, makasih ya.
Tapi kan ultahku udah
lewat jauh banget, hahaha..’
Kuraih bungkusan
itu. Menimbang-nimbang, menerka isinya. Terlalu ringan untuk sebuah bingkai
foto. Tapi ukurannya cukup besar, mungkin sekitar 30 x 30 centi. Tapi aku
benar-benar tak merasa tertarik. Maksudku, aku tidak merasa perlu buru-buru
untuk membukanya.
Maka setelah
mandi, aku berkutat dengan laptopku. Lupa dengan kado, bahkan handphoneku sendiri. Sampai akhirnya
sebuah alert berbunyi, menandakan
baterai handphoneku sudah penuh. Saat
hendak mencabut kabel charger, ternyata
ada dua buah pesan masuk. Salah satunya dari dia.
‘Sama2.
Dulu kan blm kenal. Haha.’
Tak kubalas. Mau
balas apa untuk sms macam itu? Hmm.
Dan tiba-tiba
aku kehilangan minat untuk mengerjakan laporan bulanan di laptopku. Pandanganku
teralih pada tas kertas berwarna cokelat darinya. Akhirnya, benda itu berhasil
mencuri perhatianku.
Apa-apaan,
hadiah ulang tahun katanya? Kurasa ia hanya mengarang. Mungkin ia memang ingin
memberiku ini, tapi bingung dalam
rangka apa. Bisa saja, kan? Tapi kenapa? Ngapain?
Perlahan aku
merobek koran yang membungkus benda itu. Voila! Sebuah lukisan kupu-kupu biru,
dengan dasar merah yang sengaja dibuat bergradasi. Jelas bukan buatan
professional. Tidak nampak teknik-teknik khusus pada pemulasan warnanya.
Buatannya-kah?
Buat apa orang
itu repot-repot membuat benda menggelikan ini? Tidak ada pesan apa-apa yang
tersisip di lukisan ataupun di tas kertas itu. Tapi bagaimana pun aku
menghargainya.
Nyatanya, sampai
hari ini, lukisan itu masih tersimpan baik di kamarku. Meskipun tidak begitu
bagus, tapi lumayanlah, buat meramaikan isi kamarku. Di kemudian hari, jauh
hari setelah ia memberiku hadiah itu, aku pernah bertanya mengenai lukisan itu
padanya.
“Itu bukan
lukisan,” katanya.
Apa dia pikir
aku bodoh? Lalu apa itu? Kupu-kupu yang diawetkan?
Dia membaca kerut
di keningku, lalu cepat-cepat menjelaskan, “itu cuma gambar yang diwarnai. Terlalu berlebihan
kalau disebut lukisan. Gambarnya pun bukan aku yang bikin. Aku gak bisa menggambar.
Aku juga gak bisa mewarnai, tapi aku seneng ngelakuinnya.”
Tadinya aku ingin bertanya, kenapa dia memberiku
lukisan gambar itu sebagai hadiah ulang tahun, padahal sudah lama
terlewat. Tapi urung. Sudahlah, mungkin karena memang hanya ingin memberi saja.
Terkadang, ada banyak hal di dunia ini yang bisa dilakukan tanpa dasar yang
jelas. Mungkin dia salah satu pelakunya.
Lalu aku
memutuskan untuk mengganti dengan pertanyaan lain, “kenapa kupu-kupu? Apa gak
ada serangga lain yang lebih maskulin buat cowok?” tanyaku dengan nada
bercanda. Tapi sungguh aku serius dengan pertanyaan ini.
Dia hanya
tertawa sebentar, lalu dengan santai menanggapi, “kalau dulu aku denger kamu
bersenandung lagu ‘Kumbang-kumbang di Taman’, mungkin aku bakal ngasih kamu
gambar kumbang..”
Lagi-lagi aku
bertanya dengan isyarat kening berkerut.
Dia paham. “Dulu
aku pernah denger kamu bersenandung kecil. Lagunya Ebiet, Kupu-kupu Kertas.
Mungkin kalau dulu kamu nyanyiin yang Camelia, aku juga gak tau bakal gambar
apa. Hahaha..”
Enteng sekali
dia bicara. Aku tidak bisa membedakan dia sedang bercanda atau memang jujur
atas jawabannya tadi.
Aku
berhenti bicara. Aku berhenti bertanya. Andaikata dia hanya bercanda, aku tidak
punya opsi lain sebagai jawaban alternatifnya. Bagaimana jika dia jujur? Ah,
nyatanya dalam hati aku masih bertanya.-Cileunyi, November 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar