4/16/2016

Kupu-kupu dalam Kanvas



Aku mendapat kado yang terlambat untuk ulang tahunku yang ke dua puluh empat. Sebuah lukisan dengan kupu-kupu biru sebagai objeknya. Surprised, tentu. Ulang tahunku ‘kan, sudah tujuh bulan terlewat.
“Selamat ulang tahun, ya,” ujarnya seraya menyodorkan sesuatu.
“Terimakasih,” kataku sewaktu menerimanya.
Dia hanya senyum seulas, lalu pamit. Mau berenang, katanya.
Benda itu diserahkannya seusai jam pulang kerja di depan mushala lantai dua. Terbungkus oleh kertas koran dan disimpan di dalam tas berbahan kertas daur ulang yang sering kulihat di toko buku atau penjual cindera mata.  
Sehari sebelumnya memang dia sudah memberi tahuku, katanya mau ada perlu sebentar. Aku yang tak begitu ingin tahu, hanya mengiyakan. Ternyata memang benar-benar sebentar. Sangat sebentar.
Tanpa membuka dahulu apa isinya, aku menaruhnya begitu saja sesampainya di rumah. Kemudian mengirim sebuah pesan singkat untuknya:
‘Hei, makasih ya.
Tapi kan ultahku udah lewat jauh banget, hahaha..’
Kuraih bungkusan itu. Menimbang-nimbang, menerka isinya. Terlalu ringan untuk sebuah bingkai foto. Tapi ukurannya cukup besar, mungkin sekitar 30 x 30 centi. Tapi aku benar-benar tak merasa tertarik. Maksudku, aku tidak merasa perlu buru-buru untuk membukanya.
Maka setelah mandi, aku berkutat dengan laptopku. Lupa dengan kado, bahkan handphoneku sendiri. Sampai akhirnya sebuah alert berbunyi, menandakan baterai handphoneku sudah penuh. Saat hendak mencabut kabel charger, ternyata ada dua buah pesan masuk. Salah satunya dari dia.
‘Sama2.
Dulu kan blm kenal. Haha.’

Tak kubalas. Mau balas apa untuk sms macam itu? Hmm.
Dan tiba-tiba aku kehilangan minat untuk mengerjakan laporan bulanan di laptopku. Pandanganku teralih pada tas kertas berwarna cokelat darinya. Akhirnya, benda itu berhasil mencuri perhatianku.
Apa-apaan, hadiah ulang tahun katanya? Kurasa ia hanya mengarang. Mungkin ia memang ingin memberiku ini, tapi bingung dalam rangka apa. Bisa saja, kan? Tapi kenapa? Ngapain?
Perlahan aku merobek koran yang membungkus benda itu. Voila! Sebuah lukisan kupu-kupu biru, dengan dasar merah yang sengaja dibuat bergradasi. Jelas bukan buatan professional. Tidak nampak teknik-teknik khusus pada pemulasan warnanya. Buatannya-kah?
Buat apa orang itu repot-repot membuat benda menggelikan ini? Tidak ada pesan apa-apa yang tersisip di lukisan ataupun di tas kertas itu. Tapi bagaimana pun aku menghargainya.
Nyatanya, sampai hari ini, lukisan itu masih tersimpan baik di kamarku. Meskipun tidak begitu bagus, tapi lumayanlah, buat meramaikan isi kamarku. Di kemudian hari, jauh hari setelah ia memberiku hadiah itu, aku pernah bertanya mengenai lukisan itu padanya.
“Itu bukan lukisan,” katanya.
Apa dia pikir aku bodoh? Lalu apa itu? Kupu-kupu yang diawetkan?
Dia membaca kerut di keningku, lalu cepat-cepat menjelaskan, “itu cuma  gambar yang diwarnai. Terlalu berlebihan kalau disebut lukisan. Gambarnya pun bukan aku yang bikin. Aku gak bisa menggambar. Aku juga gak bisa mewarnai, tapi aku seneng ngelakuinnya.”
 Tadinya aku ingin bertanya, kenapa dia memberiku lukisan gambar itu sebagai hadiah ulang tahun, padahal sudah lama terlewat. Tapi urung. Sudahlah, mungkin karena memang hanya ingin memberi saja. Terkadang, ada banyak hal di dunia ini yang bisa dilakukan tanpa dasar yang jelas. Mungkin dia salah satu pelakunya.
Lalu aku memutuskan untuk mengganti dengan pertanyaan lain, “kenapa kupu-kupu? Apa gak ada serangga lain yang lebih maskulin buat cowok?” tanyaku dengan nada bercanda. Tapi sungguh aku serius dengan pertanyaan ini.
Dia hanya tertawa sebentar, lalu dengan santai menanggapi, “kalau dulu aku denger kamu bersenandung lagu ‘Kumbang-kumbang di Taman’, mungkin aku bakal ngasih kamu gambar kumbang..”
Lagi-lagi aku bertanya dengan isyarat kening berkerut.
Dia paham. “Dulu aku pernah denger kamu bersenandung kecil. Lagunya Ebiet, Kupu-kupu Kertas. Mungkin kalau dulu kamu nyanyiin yang Camelia, aku juga gak tau bakal gambar apa. Hahaha..”
Enteng sekali dia bicara. Aku tidak bisa membedakan dia sedang bercanda atau memang jujur atas jawabannya tadi.
Aku berhenti bicara. Aku berhenti bertanya. Andaikata dia hanya bercanda, aku tidak punya opsi lain sebagai jawaban alternatifnya. Bagaimana jika dia jujur? Ah, nyatanya dalam hati aku masih bertanya.


-Cileunyi, November 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar