“Kopi buatanmu numero unoooo!” Elang menirukan iklan kopi
instan yang terdengar menggelikan kalau dia yang bilang.
“Puji aja terus! Itu gak bakal bikin gue sudi bikinin lu
kopi tiap hari,” ancamku.
Elang selonjoran di sofa dengan santainya. Tangannya dilipat
di bawah kepala. Nikmat betul.
“Please, Lang. Don’t act like a boss di apartemen gue yang
mahal ini!” Aku menekankan kata ‘mahal’ dengan miris.
“Apartemen lu soak! Hahaha..” tawa si bocah semprul makin
menjadi.
Bangunan yang kusebut sebagai apartemen barusan adalah
sebuah rumah kontrakan yang hanya memiliki satu kamar tidur, sebuah ruang tamu
imut, plus dapur yang sering dialihfungsikan sebagai tempat jemuran, dan kamar
mandi. Sofa yang kini sedang dijajah Elang adalah satu-satunya benda mewah yang
ada di sini, kurasa.
“Lu beli TV ‘napaaa?”
“Ngapain? Ada waktu buat nontonnya aja enggak,” jawabku yang
tak mengalihkan pandangan dari larutan pudding yang sedang kuaduk.
“Sok sibuk lu!”
“Ngerecokin mulu ah berisik!”
“Iya maaf, Tuan Putriiiii..” Kulihat sekilas ia memejamkan
mata. Bersiap tidur dimanjakan angin yang bersumber dari kipas listrik di
dekatnya.
Oh, ya, buat yang belum tahu Elang itu adalah temanku sejak
kelas 2 SMA. Itu artinya sudah hampir enam tahun kami berteman. Kenapa dia ada
di kontrakanku? Itu karena aku masak hari ini. Aku tak mungkin menghabiskan
masakanku sendiri. Kenapa harus Elang yang kuajak ke sini? Karena aku tak
banyak memiliki teman. Kenapa? Karena aku tak mudah percaya pada orang lain.
Dan mengapa aku mengontrak rumah? Karena tempatku bekerja jauh sekali dari
rumah orang tuaku. Sudah cukup jelas, ya?
Pudding coklat ini tinggal menunggu beku. Spaghetti yang
tadi kumasak tinggal kueksekusi di piring terbaik yang kumiliki. Tidak lupa
buah-buahan dari kulkas sudah kucuci bersih. Asik!
Tahu-tahu si Elang sudah di belakangku. “Ada yang perlu gue
bantu gak?”
“Nanti, bagian cuci piring,” jawabku yang sedang berkutat
dengan pasta.
“Anjrit!” Elang mengumpat gemas. Aku anggap itu sebagai
persetujuan –walau tak senang. Bodo amat!
Kami makan di ruang tamu. Di atas karpet biru tua.
“Heh, Pemakan Buah! Tumben pedes masakan lu,” Elang memberi
komentar. Tapi aku tahu dia menyukainya karena ini sudah porsinya yang kedua.
“Iya, gak diicip dulu. Haha..”
“Gimana perkembangan hubungan lu sama si Mas-mas Aneh itu?”
Aku tersedak. Padahal kuharap makanan dalam mulutku ini
tersembur saja ke mukanya yang pas-pasan itu. “Semmmmmbarangan lu!”
Elang tertawa dan menjitak kepalaku keras. Beneran! Sialan
dia itu.
“Gak tau lah, Lang. Gue kan cewek, ya nunggu aja. Kalo jodoh
ya syukur. Kalo bukan ya..”
“Sukurin!” potongnya.
Aku melotot ke arahnya. “Denger yaaaa, Elang-Gedebage. Jodoh
itu udah ada yang ngatur. Dan inget, yang suka ngatur-ngatur belum tentu
jodoh!”
Elang mendelik kesal. Aku memasang tampang songong dan puas.
Dan... buat yang gak tahu apa itu ‘Elang-Gedebage’, itu adalah trayek angkot di
Bandung. Haha..
“Lagian lu naksir orang kayak gitu. Gak jelas..”
Mulai, deh. “Iya, emang gak jelas. Kalo udah jelas mah gak
akan kayak gini, Lang. Semuanya masih kabur. Burem. Tapi cinta dalam diam itu
menurut gue lebih mulia dibanding harus diumbar-umbar.”
Si Elang ini nampak tersinggung lagi buat kedua kalinya.
Yes. Sukurin!
“Lah kalo ternyata dia udah ada calon gimana? Apa gak sakit
hati? Haha..”
Aku menyuapkan spaghetti terakhir dari piringku. Menelannya.
Medorongnya dengan setengah gelas air lemon encer.
“Kalo dibayangin sekarang, gue rasa sakit hati, kali. Tapi
kan konyol jadinya. Jalan aja gak pernah. Ngobrol langsung juga jarang banget.
Dan gue juga gak tau kan, kalo misalnya ternyata besok-besok ketemu jodoh gue
yang sebenarnya. Ya udah sih. Rencana Tuhan udah pasti paling oke.”
Entah jujur atau hanya menghibur diriku sendiri. Tapi
jawaban itu lancar menglir tanpa perlu kupikir-pikir.
“Menurut lu dia tau?”
“Tau apa?”
“Perasaan lu lah..”
Aku angkat bahu. “Beresin sana ke wastafel! Gue ambilin dulu
puddingnya. Udah dingin, kali.”
Gerak-gerik si Elang ini seperti menunjukkan kalau ia puas
dengan keadaanku. Semprul amat dia itu.
Ia memetik-metik Sigit. Mencipta alunan sendu untuk kemudian
merambati udara di sekitar kami. Membaur dan memecah sunyi. Barangkali masuk
sampai ke hati.
Sigit itu nama gitarku.
“Lu menutup diri, sih..,” Elang membuka suara.
Aku tak jadi menyuapkan pudding cokelat. “Menutup diri
apaan?”
“Lu ngerasa gak, sih, selama ini lu bergaul dengan orang
yang itu-itu aja..”
Suara gitar masih merambat lewat udara. Menembus dinding. Bahkan
mungkin juga plafon.
“Maksud lu? Lu bosen gitu temenan sama gue terus?” Sisi
sensitif perempuanku mulai muncul.
Suara gitar tak lagi terdengar. Elang membetulkan letak
duduknya di sofa. Menaruh Sigit kembali ke dudukannya.
“Enggak gitu. Enggak sama sekali. I know you so well. Lu gak
banyak percaya sama orang. Lu bahkan ngejudge kalo friends are fake, and bestfriend
is bullshit. Gue juga gak tau posisi gue di hidup lu tuh apa. Sebagai orang
yang lu cap fake-kah, atau bahkan bullshit. Gue gak peduli itu sama sekali.”
Tumben.
“Gue juga tau kalo lu emang udah gak akan mau
pacaran-pacaran lagi. Tapi dengan hidup lu yang sekarang ini, kok rasanya lu
seperti menutup diri dengan tembok yang tebal. Siapa yang tau kalo di baliknya
ternyata ada sosok yang... apa, ya? Menurut
gue sih, cukup menyenangkan.”
Aku menaikkan sebelah alis, memasang ekspresi ‘terus?’
“Ah, enam tahun temenan sama lu ternyata belum bisa bikin
gue ngertiin lu banyak.”
“Emang,” timpalku enteng.
Elang merebut puddingku tanpa kuberikan perlawanan. Tampaknya
dia sudah selesai. Baiklah, aku yang angkat bicara.
“Elang-Gedebage, makasih udah jadi temen gue. Menjadi salah
satu lingkaran yang ada di deket gue. Tempat gue bolak-balik dan muter-muter di
situ-situ aja. Lu lagi lu lagi. Gue gak minta lu atau siapa pun untuk
benar-benar mengerti karakter gue. Karena kadang gue juga sulit mendefinisikan
diri gue.”
Elang makan tanpa memandangku.
“Kadang gue bingung harus
menyikapi masalah yang ada di depan mata; yang mungkin menurut kebanyakan orang
bukan merupakan masalah. Kadang panik, kadang tenang. Dan gue masih belum tau
faktor apa yang memengaruhinya. Sama kayak masalah yang sedang gue hadapi
sekarang, yang lu bahas dari tadi itu.”
Elang sedang berakting tuli. Tak ada
respon meski hanya lewat ekspresi. Aku melanjutkan.
“Lang, gue udah kenyang makan
galau. Galau yang sepele tapi digede-gedein. Lu tau lah sumber galaunya apa:
laki-laki. Yang belum tentu jodoh gue pula. Makanya gue gak mau sisa hidup gue
digelayuti sama hal-hal bodoh kayak gitu lagi.”
Elang menusuk telak kedua bola
mataku dengan tatapannya. “Lu trauma?”
Aku tergelak. Garing. “Bukaaaan. Bukan. Gue cuma mencoba belajar
dari kesalahan. Apapun yang gue rasakan, gue serahkan sama Tuhan. Biar Dia yang
pelihara. Bukan gue gak mau membuka diri dengan berteman lebih banyak orang. Pergaulan
gue luas kok. Tapi gak semua bisa masuk ke lingkaran gue. Dan gue juga gak mau
masuk ke sembarang lingkaran. Cukup di tepian aja.”
Pudding di atas piring tandas. Hanya
ada sedikit sisa vla. Elang masih diam. Menunggu kalimat berikutnya meluncur. Mungkin.
“Gue selesai,” kataku. Sebenarnya masih
ada yang inginaku sampaikan. Tapi, biar saja hanya aku dan Tuhan yang tahu. Ah,
mungkin hanya Tuhan saja. Aku masih belum tahu betul.
Elang ngeloyor.
“Ke mana?”
“Bikin kopi.”
“Sekalian cuci piring! Haha..”
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus