Mari kita kesampingkan tentang Si Cantik yang pintar lagi
kaya yang selalu happy ending bersama pria yang looks perfect ditilik dari
segala sisi manapun. Atau Si Cantik yang miskin tapi baik hati dan selalu bisa
menjadi juara di hati pangeran tampan. Juga Si Cantik nan licik yang sialnya
selalu mampu merebut siapa pun yang ia suka akibat ucapan yang menguntai dari
bibirnya yang semanis gula-gula kapas.
Bagiku benang merahnya sama saja: Barang siapa punya tampang
cantik, segalanya akan menjadi lebih mudah. Kaya, pintar, itu adalah bonus.
Tapi hidup adalah sekelumit cerita yang lebih kompleks dibanding FTV. Si
Pembantu Cantik yang akhirnya bersanding dengan majikannya; Si Miskin Cantik
yang tertabrak pria kaya, tampan tapi sombong, dan menikah bahagia di ujung
cerita. Basi!
Pernahkah kalian pikirkan tentang bagaimana kisah perjalanan seorang gadis yang
tidak cantik, tidak kaya, dan tidak cukup pintar? Pernahkah kalian bertanya
pada diri sendiri, apakah cerita gadis macam itu menarik untuk disimak –atau
sekadar dibayangkan? Karena pada nyatanya, akan ada lebih banyak cerita macam
itu dalam kehidupan nyata. Bukan dalam kehidupan ciptaan sutradara FTV belaka.
Baiklah, akan kuceritakan salah satu kisahnya untukmu. Kuperingatkan
padamu, kisahnya tidak akan lebih menarik dibanding cerita Si Cantik; yang bisa
mondar-mandir dalam dengan anggunnya dalam isi kepalamu. Bersiaplah, jangan sampai
kau mati bosan menyimaknya.
Oke, mulai dari mana? Nama? Baiklah, dalam cerita ini aku
ingin mengenalkannya padamu sebagai Indira. Indira yang tidak cantik, apalagi
kaya. Kisah hidupnya penuh kerikil. Onak dan duri. Indira yang kalau disuruh
memilih, ingin selamanya saja menjadi anak kecil seperti dulu. Yang tidak
pernah dituntut untuk mengerti kejamnya kehidupan.
Sekarang umur Indira sudah dua puluh dua. Jauh dari orang
tua lantaran harus bekerja. Masa remaja Indira cukup indah untuk ingin diulang
kembali; sekaligus cukup mengerikan untuk sekadar diingat lagi. Sedari kecil
hidupnya keras. Kisah cintanya selalu pedas, dan berakhir kandas. Namun Indira selalu bersyukur karena akhirnya
bisa terlepas. Baginya, move on tak harus selalu berarti bertambat ke hati lain
setelah kisah lama tandas.
Akhir-akhir ini Indira punya kegemaran baru: menulis
ditemani kopi yang dibiarkannya mendingin –atau terkadang sengaja ditambahkan
beberapa cube batu es hingga benar-benar dingin. Ia juga suka melamun. Ah,
bukan, katanya. Dia itu terkadang suka merenung.
Dulu ia selalu yakin akan menikah pada usia dua puluh tiga.
Dan jika masih diberi panjang umur oleh Gusti Allah, maka tahun ini usianya
menginjak dua puluh tiga. Tapi sudah hampir setahun statusnya masih sendiri. Ia
sengaja tak ingin dulu membuka diri. Terakhir berpacaran, ia mampu bertahan dua
tahun. Lalu putus. “Aku tak ingin membuang waktuku lebih lama lagi”, katanya.
Barangkali karena ia tak “melihat” masa depan di bola mata mantan kekasihnya
itu.
Hari ini Indira bertanya (lagi) pada dirinya, apakah ia
yakin akan –atau ingin– menikah di usia dua puluh tiga? Apa pula yang
membuatnya dulu berpikir begitu? Dan Indira tak pernah menemukan jawabannya.
Indira sedang jatuh cinta. Atau mungkin baru sekadar
mengagumi saja, ia tak yakin. Pada siapa? Seorang pria yang juga tidak tampan,
tapi cukup manis baginya. Indira tak cukup bisa memastikan tentang bagaimana
sebenarnya sosok pria yang beberapa waktu belakangan ini berkelebat dalam
pikirannya. Sejauh yang bisa ia simpulkan, bahwa pria itu cukup saleh. Mungkin cukup mampu mengajariku menjadi
wanita yang baik, pikirnya.
Setelah bertanya tanpa menemukan jawaban apapun (mungkin
karena ia tak benar-benar mencarinya), Indira berjalan menuju cermin. Berkaca.
Siapalah dirinya itu? Ternyata bukan wanita yang cantik. Tidak cukup menarik.
Bolehkah ia merasa kecewa?
Dilihatnya lagi sekelilingnya. Tak ada barang-barang mewah
yang cukup bisa membuat decak di lidah. Ia bukanlah seorang kaya raya. Tidak
pula orang tuanya. Ia merasa bukanlah ‘siapa-siapa’.
Kembali ia teringat dengan pria yang mondar-mandir di
kepalanya. Bolehkah ia merasa pesimis? Hanya karena ia bukanlah ‘siapa-siapa’,
yang mungkin tak cukup menarik untuk sekadar dilirik. Sungguh, memikirkan
bagaimana perasaan perasaan pria itu padanya saja, Indira tak sampai hati. Ia
tak cukup berani. Ia merasa lancang seketika pertanyaan itu melintas di layar
kepalanya.
Kagum, atau cinta? Indira tidaklah tahu. Yang ia tahu, pria
itu ramah. Kepada siapa saja. Ia mendapatkan pendidikan yang baik, begitu pula
kakak dan adik-adiknya. Senang terhadap unggas dan bercocok tanam. Unik.
Menarik.
Pengetahuan Indira terhadap pria itu sangatlah terbatas.
Karena nampaknya pria dalam kepalanya bukanlah orang yang cukup terbuka atau
mau membagi rahasia kecil tentang dirinya sendiri. Lalu bagaimana mungkin
Indira jatuh cinta pada pria seperti itu? Ia selalu geli jika harus dipaksa
bicara tentang alasannya.
Dalam cangkir, kopi Indira sudah tandas sepertiga. Dalam
hati, ada bisik yang bertanya. Akankah hatinya patah jika suatu hari pria itu
mengirimkan sepucuk undangan pernikahan –yang jelas bukan bersamanya? Dalam
diam, ada gemuruh yang berteriak “kau tak berhak!”.
Dalam sadar yang sudah penuh, Indira tersenyum, “Aku cukup
tahu diri”. Dan luka menganga ia serahkan saja pada Tuhan. Pasti akan ada obat yang tepat di suatu saat.
*
Indira banyak mencari tahu tentang pria itu semampunya. Jika salah satu di antara kalian adalah pria yang dikagumi Indira, katanya ia meminta maaf karena telah lancang. Menurutku, sebenarnya tidak ada yang patut dipersalahkan, karena itu hanyalah sebuah perasaan. Kejujuran. Soal tepat atau tidaknya perasaan itu dilabuhkan, Indira (atau siapa pun) tak bisa memilih. Rasanya mengalir begitu saja.
Indira bilang, katanya saat ini ia hanya ingin memperbaiki diri. Jadi atau tidaknya ia menikah di usia dua puluh tiga, tak jadi soal. Pastilah Allah sudah merencanakan yang terbaik untuknya. Yakin sekali ia, bahwa usahanya takkan sia-sia. Bahwa ketulusanya akan terbalas juga. Dengan atau bukan dengannya. Bismillah :)