4/18/2016

The Curved Story



Senang rasanya ketika akhirnya Nala berhasil menemukanku yang teronggok sendirian di sebuah beermart yang jauh dari rumahku ini. Wajahnya yang tampan sengaja ditekuk untuk memberitahuku bahwa ia tak senang.
“Anak perempuan jam segini di tempat beginian,” ujarnya dingin seraya melingkarkan sweater yang sudah disiapkannya ke badanku.
“No alkohol, sumpah,” sahutku membuntutinya. Ia berjalan mendahuluiku. Selalu begitu kalau sedang marah.
“Kalo mau minum susu beruang kan di mini market juga banyak.”
Aku menyusul langkahnya yang panjang-panjang. “Lah siapa yang minum susu beruang?!”
Susu beruang yang dimaksud adalah susu sapi dengan kemasan kaleng bergambar beruang. Kulihat rahang Nala mengeras. Langkahnya terhenti. Aku ikut berhenti.
“Terserah lu ya. Lain kali gue gak mau nyusulin lu lagi. Cukup ini yang terakhir.” Mata elangnya membidik mata bulatku.
Aku melangkah cuek menuju mobilnya yang kulihat berjarak tak jauh. “Coba aja. Gak bakalan tega.”
Nala membukakan pintu. Aku duduk melesakkan tubuhku hingga terasa tak nyaman.
“Yang bener duduknya, Anak Manja!” Nala membantuku membenarkan letak duduk.
“Iya. Andaikan gue bisa jadi anak yang bener-bener manja,” timpalku sekenanya.
Terdengar helaan napas  panjang dari pria di sebelahku ini. “Mulai, deh..”
Sudah dua tahun aku dan Nala berhubungan dekat. Tanpa status. Dibilang pacaran sebenarnya tidak juga. Hubungan kami tak seperti orang-orang yang menjalin percintaan lewat pacaran. Aku sayang padanya, dan aku juga merasa ia sayang kepadaku. Entah sebagai apa. Kami tak selalu melakukan segalanya bersama. Nala juga  tak pernah cemburu ketika tahu aku sedang bersama lelaki lain. Begitu juga aku padanya, kecuali pada beberapa kasus. Hmm..
Nala tahu betul siapa aku ini; bagaimana aku ini. Bagiku, ia seperti malaikat tanpa sayap yang Tuhan hadiahkan padaku. Entah apa aku ini baginya. Nala punya segalanya: harta yang mewah, keluarga harmonis, prestasi cemerlang, dan yang paling berharga adalah sifatnya yang sangat peduli. Padaku!
Sangat terbalik dengan kondisiku. Hancur –sehancur-hancurnya. Tapi ia “menerimaku” tanpa pernah mengintimidasi sedikitpun. Ada sisi dalam diriku yang hanya bisa muncul ketika aku di dekatnya. Yang  seakan membunuh pekatnya sisi kelamku di bagian lainnya.
Aku mengecilkan volume tape. Memandang ke arah trotoar yang basah oleh serbuan titik hujan. Dua tahun di dekatnya tak pernah membuat jantungku berdebar di luar kebiasaan. Tapi rasa nyaman yang diciptanya selalu sama sejak awal hingga sekarang.
“Denger, Elora. Kalo lo ada masalah jangan kabur-kaburan lagi, lah. Kan bisa  whatsapp gue. Nanti gue anter ke mana elo mau. Bukan kayak gini caranya..”
Aku tahu Nala bicara sambil memandangku. Tapi mataku sudah tertawan oleh pemandangan licinnya jalan berspal. “Ya gimana, Nal. Udah hobi gue, kali.”
“Hobi yang bikin orang lain jadi susah,” komentarnya.
Aku memalingkan muka padanya. Mendaratkan pandangan pada sepasang alis gondrong nan indah itu. “Tapi kan lo bukan orang lain.”
Ya, aku tahu aku kelewatan. Kuhitung-hitung, ini adalah kali keenam aku bertindak begini. Empat di antaranya melibatkan Nala untuk kemudian kurepotkan. Saat ada masalah yang tak bisa kupecahkan, aku “menyasarkan” diriku dengan menaiki angkot yang jurusannya  belum pernah kukenali sebelumnya. Turun di mana aku mau. Lalu disambung lagi dengan angkot lain yang membawaku ke tempat yang entah berantah. Naik bis juga pernah. Dan sialnya, aku tak pernah bisa mengingat jalan dengan mudah. Selama masih ada uang dan baterai handphone yang cukup, kegiatan seperti itu kemudian aku ulang-ulang.
“Nal, menurut lu, cewek kayak gue nanti bisa dapet cowok yang bener gak ya?” tanyaku serius.
Nala terkekeh. “Kenapa? Kebelet kawin, lo? Haha.. Elora Oriana, dua tahun gue kenal lo, baru sekarang lo mengajukan pertanyaan konyol macem ini! Haha...”
Nala tampan saat tertawa. Berkali-kali lipat. Tapi tidak malam ini. Karena dia menertawakan hal yang serius yang malah ia sebut konyol. Aku memasang muka ngambek. Lalu Nala sadar dan meminta maaf. Perlahan tawanya reda, lalu menepikan mobil ke depan sebuah ruko (mungkin?) yang sudah tutup.
Aku mengernyitkan dahi. “Kok berhenti? Di sini? Di mekdi, kek. Di tukang soto, kek,” rengekku. Kali ini Nala yang memasang raut serius. Teduh sekali.
“Lu kenapa?”
Aku menarik napas panjang. Lalu mulai bercerita panjang padanya. Tentang kekhawatiranku akan masa depan. Aku yang membutuhkan sosok yang kelak akan membimbingku menuju perbaikan. Perbaikan dalam segala hal! Banyak hal pada diriku yang harus ditambal di sana dan sini.
“Pasti jodoh lo nanti, siapa pun itu, adalah yang Tuhan pilihkan khusus  buat lo. Cowok baik ya untuk cewek baik. Gue yakin, Tuhan tahu mana umatnya yang bersungguh-sungguh. Ya mungkin lo belum merasa cukup baik sekarang, tapi kalo lo emang serius berusaha, Tuhan akan kasih lo cowok yang baik untuk melengkapi dan menyempurnakan kekurangan lo.”
“Kalo gitu, gue pengen nikahnya sama elo aja deh. Kan lo udah tau cacatnya gue di mana. Rewelnya gue kayak apa. Haha..”
Nala menoyor kepalaku. “Ngacooo!! Hahaha.. lu ngomong pengen nikah sama gue macem pengen beli es krim ke Indomaret! Hahaha..”
“Iya juga.”
“So what’s your next step?”
“Umm.. Nyiapin diri aja kali, ya. Mulai dari... selalu mandi dulu sebelum keluar rumah, meski cuma jajan es krim bentar ke Indomaret. Biar kalo-kalo ketemu jodoh di jalan, gue gak malu-malu amat. Haha..”


*Entah kenapa ceritanya jadi begini. Padahal dari awal ngetik tulisan, bukan mau nulis kayak gini. Di tengah-tengah cerita, gue tetiba inget tweetnya Sujiwo Tejo: “Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kau bisa berencana menikahi siapa; tapi tak dapat kaurencanakan cintamu untuk siapa.”

Udah lama sebenernya baca tweet itu. Entah kenpaa tadi terngiang begitu aja. Hehe.


Kosmar III, 18 April 2016 Masehi.

4/17/2016

The Circle



“Kopi buatanmu numero unoooo!” Elang menirukan iklan kopi instan yang terdengar menggelikan kalau dia yang bilang.
“Puji aja terus! Itu gak bakal bikin gue sudi bikinin lu kopi tiap hari,” ancamku.
Elang selonjoran di sofa dengan santainya. Tangannya dilipat di bawah kepala. Nikmat betul.
“Please, Lang. Don’t act like a boss di apartemen gue yang mahal ini!” Aku menekankan kata ‘mahal’ dengan miris.
“Apartemen lu soak! Hahaha..” tawa si bocah semprul makin menjadi.
Bangunan yang kusebut sebagai apartemen barusan adalah sebuah rumah kontrakan yang hanya memiliki satu kamar tidur, sebuah ruang tamu imut, plus dapur yang sering dialihfungsikan sebagai tempat jemuran, dan kamar mandi. Sofa yang kini sedang dijajah Elang adalah satu-satunya benda mewah yang ada di sini, kurasa.
“Lu beli TV ‘napaaa?”
“Ngapain? Ada waktu buat nontonnya aja enggak,” jawabku yang tak mengalihkan pandangan dari larutan pudding yang sedang kuaduk.
“Sok sibuk lu!”
“Ngerecokin mulu ah berisik!”
“Iya maaf, Tuan Putriiiii..” Kulihat sekilas ia memejamkan mata. Bersiap tidur dimanjakan angin yang bersumber dari kipas listrik di dekatnya.
Oh, ya, buat yang belum tahu Elang itu adalah temanku sejak kelas 2 SMA. Itu artinya sudah hampir enam tahun kami berteman. Kenapa dia ada di kontrakanku? Itu karena aku masak hari ini. Aku tak mungkin menghabiskan masakanku sendiri. Kenapa harus Elang yang kuajak ke sini? Karena aku tak banyak memiliki teman. Kenapa? Karena aku tak mudah percaya pada orang lain. Dan mengapa aku mengontrak rumah? Karena tempatku bekerja jauh sekali dari rumah orang tuaku. Sudah cukup jelas, ya?
Pudding coklat ini tinggal menunggu beku. Spaghetti yang tadi kumasak tinggal kueksekusi di piring terbaik yang kumiliki. Tidak lupa buah-buahan dari kulkas sudah kucuci bersih. Asik!
Tahu-tahu si Elang sudah di belakangku. “Ada yang perlu gue bantu gak?”
“Nanti, bagian cuci piring,” jawabku yang sedang berkutat dengan pasta.
“Anjrit!” Elang mengumpat gemas. Aku anggap itu sebagai persetujuan –walau tak senang. Bodo amat!
Kami makan di ruang tamu. Di atas karpet biru tua.
“Heh, Pemakan Buah! Tumben pedes masakan lu,” Elang memberi komentar. Tapi aku tahu dia menyukainya karena ini sudah porsinya yang kedua.
“Iya, gak diicip dulu. Haha..”
“Gimana perkembangan hubungan lu sama si Mas-mas Aneh itu?”
Aku tersedak. Padahal kuharap makanan dalam mulutku ini tersembur saja ke mukanya yang pas-pasan itu. “Semmmmmbarangan lu!”
Elang tertawa dan menjitak kepalaku keras. Beneran! Sialan dia itu.
“Gak tau lah, Lang. Gue kan cewek, ya nunggu aja. Kalo jodoh ya syukur. Kalo bukan ya..”
“Sukurin!” potongnya.
Aku melotot ke arahnya. “Denger yaaaa, Elang-Gedebage. Jodoh itu udah ada yang ngatur. Dan inget, yang suka ngatur-ngatur belum tentu jodoh!”
Elang mendelik kesal. Aku memasang tampang songong dan puas. Dan... buat yang gak tahu apa itu ‘Elang-Gedebage’, itu adalah trayek angkot di Bandung. Haha..
“Lagian lu naksir orang kayak gitu. Gak jelas..”
Mulai, deh. “Iya, emang gak jelas. Kalo udah jelas mah gak akan kayak gini, Lang. Semuanya masih kabur. Burem. Tapi cinta dalam diam itu menurut gue lebih mulia dibanding harus diumbar-umbar.”
Si Elang ini nampak tersinggung lagi buat kedua kalinya. Yes. Sukurin!
“Lah kalo ternyata dia udah ada calon gimana? Apa gak sakit hati? Haha..”
Aku menyuapkan spaghetti terakhir dari piringku. Menelannya. Medorongnya dengan setengah gelas air lemon encer.
“Kalo dibayangin sekarang, gue rasa sakit hati, kali. Tapi kan konyol jadinya. Jalan aja gak pernah. Ngobrol langsung juga jarang banget. Dan gue juga gak tau kan, kalo misalnya ternyata besok-besok ketemu jodoh gue yang sebenarnya. Ya udah sih. Rencana Tuhan udah pasti paling oke.”
Entah jujur atau hanya menghibur diriku sendiri. Tapi jawaban itu lancar menglir tanpa perlu kupikir-pikir.
“Menurut lu dia tau?”
“Tau apa?”
“Perasaan lu lah..”
Aku angkat bahu. “Beresin sana ke wastafel! Gue ambilin dulu puddingnya. Udah dingin, kali.”
Gerak-gerik si Elang ini seperti menunjukkan kalau ia puas dengan keadaanku. Semprul amat dia itu.
Ia memetik-metik Sigit. Mencipta alunan sendu untuk kemudian merambati udara di sekitar kami. Membaur dan memecah sunyi. Barangkali masuk sampai ke hati.
Sigit itu nama gitarku.
“Lu menutup diri, sih..,” Elang membuka suara.
Aku tak jadi menyuapkan pudding cokelat. “Menutup diri apaan?”
“Lu ngerasa gak, sih, selama ini lu bergaul dengan orang yang itu-itu aja..”
Suara gitar masih merambat lewat udara. Menembus dinding. Bahkan mungkin juga plafon.
“Maksud lu? Lu bosen gitu temenan sama gue terus?” Sisi sensitif perempuanku mulai muncul.
Suara gitar tak lagi terdengar. Elang membetulkan letak duduknya di sofa. Menaruh Sigit kembali ke dudukannya.
“Enggak gitu. Enggak sama sekali. I know you so well. Lu gak banyak percaya sama orang. Lu bahkan ngejudge kalo friends are fake, and bestfriend is bullshit. Gue juga gak tau posisi gue di hidup lu tuh apa. Sebagai orang yang lu cap fake-kah, atau bahkan bullshit. Gue gak peduli itu sama sekali.”
Tumben.
“Gue juga tau kalo lu emang udah gak akan mau pacaran-pacaran lagi. Tapi dengan hidup lu yang sekarang ini, kok rasanya lu seperti menutup diri dengan tembok yang tebal. Siapa yang tau kalo di baliknya ternyata ada sosok yang... apa, ya?  Menurut gue sih, cukup menyenangkan.”
Aku menaikkan sebelah alis, memasang ekspresi ‘terus?’
“Ah, enam tahun temenan sama lu ternyata belum bisa bikin gue ngertiin lu banyak.”
“Emang,” timpalku enteng.
Elang merebut puddingku tanpa kuberikan perlawanan. Tampaknya dia sudah selesai. Baiklah, aku yang angkat bicara.
“Elang-Gedebage, makasih udah jadi temen gue. Menjadi salah satu lingkaran yang ada di deket gue. Tempat gue bolak-balik dan muter-muter di situ-situ aja. Lu lagi lu lagi. Gue gak minta lu atau siapa pun untuk benar-benar mengerti karakter gue. Karena kadang gue juga sulit mendefinisikan diri gue.”
Elang makan tanpa memandangku.
“Kadang gue bingung harus menyikapi masalah yang ada di depan mata; yang mungkin menurut kebanyakan orang bukan merupakan masalah. Kadang panik, kadang tenang. Dan gue masih belum tau faktor apa yang memengaruhinya. Sama kayak masalah yang sedang gue hadapi sekarang, yang lu bahas dari tadi itu.”
Elang sedang berakting tuli. Tak ada respon meski hanya lewat ekspresi. Aku melanjutkan.
“Lang, gue udah kenyang makan galau. Galau yang sepele tapi digede-gedein. Lu tau lah sumber galaunya apa: laki-laki. Yang belum tentu jodoh gue pula. Makanya gue gak mau sisa hidup gue digelayuti sama hal-hal bodoh kayak gitu lagi.”
Elang menusuk telak kedua bola mataku dengan tatapannya. “Lu trauma?”
Aku tergelak. Garing.  “Bukaaaan. Bukan. Gue cuma mencoba belajar dari kesalahan. Apapun yang gue rasakan, gue serahkan sama Tuhan. Biar Dia yang pelihara. Bukan gue gak mau membuka diri dengan berteman lebih banyak orang. Pergaulan gue luas kok. Tapi gak semua bisa masuk ke lingkaran gue. Dan gue juga gak mau masuk ke sembarang lingkaran. Cukup di tepian aja.”
Pudding di atas piring tandas. Hanya ada sedikit sisa vla. Elang masih diam. Menunggu kalimat berikutnya meluncur. Mungkin.
“Gue selesai,” kataku. Sebenarnya masih ada yang inginaku sampaikan. Tapi, biar saja hanya aku dan Tuhan yang tahu. Ah, mungkin hanya Tuhan saja. Aku masih belum tahu betul.
Elang ngeloyor.
“Ke mana?”
“Bikin kopi.”
“Sekalian cuci piring! Haha..”

4/16/2016

Kupu-kupu dalam Kanvas



Aku mendapat kado yang terlambat untuk ulang tahunku yang ke dua puluh empat. Sebuah lukisan dengan kupu-kupu biru sebagai objeknya. Surprised, tentu. Ulang tahunku ‘kan, sudah tujuh bulan terlewat.
“Selamat ulang tahun, ya,” ujarnya seraya menyodorkan sesuatu.
“Terimakasih,” kataku sewaktu menerimanya.
Dia hanya senyum seulas, lalu pamit. Mau berenang, katanya.
Benda itu diserahkannya seusai jam pulang kerja di depan mushala lantai dua. Terbungkus oleh kertas koran dan disimpan di dalam tas berbahan kertas daur ulang yang sering kulihat di toko buku atau penjual cindera mata.  
Sehari sebelumnya memang dia sudah memberi tahuku, katanya mau ada perlu sebentar. Aku yang tak begitu ingin tahu, hanya mengiyakan. Ternyata memang benar-benar sebentar. Sangat sebentar.
Tanpa membuka dahulu apa isinya, aku menaruhnya begitu saja sesampainya di rumah. Kemudian mengirim sebuah pesan singkat untuknya:
‘Hei, makasih ya.
Tapi kan ultahku udah lewat jauh banget, hahaha..’
Kuraih bungkusan itu. Menimbang-nimbang, menerka isinya. Terlalu ringan untuk sebuah bingkai foto. Tapi ukurannya cukup besar, mungkin sekitar 30 x 30 centi. Tapi aku benar-benar tak merasa tertarik. Maksudku, aku tidak merasa perlu buru-buru untuk membukanya.
Maka setelah mandi, aku berkutat dengan laptopku. Lupa dengan kado, bahkan handphoneku sendiri. Sampai akhirnya sebuah alert berbunyi, menandakan baterai handphoneku sudah penuh. Saat hendak mencabut kabel charger, ternyata ada dua buah pesan masuk. Salah satunya dari dia.
‘Sama2.
Dulu kan blm kenal. Haha.’

Tak kubalas. Mau balas apa untuk sms macam itu? Hmm.
Dan tiba-tiba aku kehilangan minat untuk mengerjakan laporan bulanan di laptopku. Pandanganku teralih pada tas kertas berwarna cokelat darinya. Akhirnya, benda itu berhasil mencuri perhatianku.
Apa-apaan, hadiah ulang tahun katanya? Kurasa ia hanya mengarang. Mungkin ia memang ingin memberiku ini, tapi bingung dalam rangka apa. Bisa saja, kan? Tapi kenapa? Ngapain?
Perlahan aku merobek koran yang membungkus benda itu. Voila! Sebuah lukisan kupu-kupu biru, dengan dasar merah yang sengaja dibuat bergradasi. Jelas bukan buatan professional. Tidak nampak teknik-teknik khusus pada pemulasan warnanya. Buatannya-kah?
Buat apa orang itu repot-repot membuat benda menggelikan ini? Tidak ada pesan apa-apa yang tersisip di lukisan ataupun di tas kertas itu. Tapi bagaimana pun aku menghargainya.
Nyatanya, sampai hari ini, lukisan itu masih tersimpan baik di kamarku. Meskipun tidak begitu bagus, tapi lumayanlah, buat meramaikan isi kamarku. Di kemudian hari, jauh hari setelah ia memberiku hadiah itu, aku pernah bertanya mengenai lukisan itu padanya.
“Itu bukan lukisan,” katanya.
Apa dia pikir aku bodoh? Lalu apa itu? Kupu-kupu yang diawetkan?
Dia membaca kerut di keningku, lalu cepat-cepat menjelaskan, “itu cuma  gambar yang diwarnai. Terlalu berlebihan kalau disebut lukisan. Gambarnya pun bukan aku yang bikin. Aku gak bisa menggambar. Aku juga gak bisa mewarnai, tapi aku seneng ngelakuinnya.”
 Tadinya aku ingin bertanya, kenapa dia memberiku lukisan gambar itu sebagai hadiah ulang tahun, padahal sudah lama terlewat. Tapi urung. Sudahlah, mungkin karena memang hanya ingin memberi saja. Terkadang, ada banyak hal di dunia ini yang bisa dilakukan tanpa dasar yang jelas. Mungkin dia salah satu pelakunya.
Lalu aku memutuskan untuk mengganti dengan pertanyaan lain, “kenapa kupu-kupu? Apa gak ada serangga lain yang lebih maskulin buat cowok?” tanyaku dengan nada bercanda. Tapi sungguh aku serius dengan pertanyaan ini.
Dia hanya tertawa sebentar, lalu dengan santai menanggapi, “kalau dulu aku denger kamu bersenandung lagu ‘Kumbang-kumbang di Taman’, mungkin aku bakal ngasih kamu gambar kumbang..”
Lagi-lagi aku bertanya dengan isyarat kening berkerut.
Dia paham. “Dulu aku pernah denger kamu bersenandung kecil. Lagunya Ebiet, Kupu-kupu Kertas. Mungkin kalau dulu kamu nyanyiin yang Camelia, aku juga gak tau bakal gambar apa. Hahaha..”
Enteng sekali dia bicara. Aku tidak bisa membedakan dia sedang bercanda atau memang jujur atas jawabannya tadi.
Aku berhenti bicara. Aku berhenti bertanya. Andaikata dia hanya bercanda, aku tidak punya opsi lain sebagai jawaban alternatifnya. Bagaimana jika dia jujur? Ah, nyatanya dalam hati aku masih bertanya.


-Cileunyi, November 2015

4/09/2016

Menunda



Kalo ditanya, “Satu kata yang paling bikin lo benci, apa?”, maka jawaban gue  adalah “Menyesal”. Gue rasa di dunia ini gak ada orang yang gak pernah menyesal. Terlepas dari dia bilang atau enggak. Tapi ngerasain mah pasti pernah lah ya..
Yup, meskipun basi tapi kalimat “penyesalan selalu datang di akhir” emang yang paling tepat dan mewakili. Kenapa tiba-tiba gue nulis kayak gini, ya seperti biasa: curhat. Blog gue sekarang isinya curhat-curhat mulu.
Sebenernya kalo mau mengakui, root cause dari penyesalan-penyesalan yang kini bermunculan adalah kebiasaan gue yang gemar menunda-nunda. *kemudian beberapa dari kalian langsung nembak kalo golongan darah gue B*
Mungkin awalnya bermula dari kebiasaan kecil. Menunda membuat tugas, nyuci kaos kaki, bahkan makan! Tapi siapa yang nyangka kalo kebiasaan itu ternyata membawa kita (dalam hal ini gue) menuju penundaan-penundaan yang lebih besar dan fatal. Yang efeknya baru terasa setelah waktu lama berlalu.
Di sini gue mau share aja, sih. Udah 3 tahun berlalu semenjak gue lulus SMK. Gue masih di sini-sini aja. Alhamdulillah, sebenernya. Banyak orang lain yang ingin berada di posisi gue. Tapi salahnya gue, barangkali selama ini terlalu ‘santai’ sampai-sampai lupa bahwa yang namanya dunia kerja tuh gak mungkin selamanya flat. Pasti dinamis. Ada kelok-kelok yang bisa muncul tak terduga. Teman yang gak disangka-sangka ternyata nyikut dengan enaknya.
And FYI, sampai tulisan ini dipublish gue belum kuliah. Padahal temen-temen SMP gue udah banyak yang mau lulus tahun ini; temen-temen SMK seangkatan gue diprediksi lulus sekitar satu atau dua tahun lagi (SMK gue 4 tahun). Kenapa gue belum? Ya itu tadi, gue banyak nunda-nunda.
Gue sadar peundaan yang selama ini gue lakukan berdampak besar bagi kehidupan gue hari ini. Gue menunda kuliah, nyari pekerjaan baru, bahkan menulis! Kenapa? Karena gue terlalu banyak takut dan gak berani ambil resiko. Gue takut salah ambil jurusan, nanti berhenti di tengah-tengah; gue takut kalo pindah nanti gak sebaik kerjaan gue yang sekarang; gue takut tiap kali gue nulis kayak yang udah-udah, stuck dan gak ada ide buat lanjut.
Pengecut? Ya, mungkin. Pemalas? Gue rasa itu cocok, meskipun asem banget harus mengakui sifat jelek diri sendiri. Ya mungkin awalnya gue gak kuliah karena belum mampu ngumpulin uang, karena awal-awal bekerja duit gue dipake buat bayar sisa utang ke sekolah yang nilainya cukup besar (bagi kami). Tapi kemudian gue juga jadi bingung mengenai jurusan yang gue minati. Karena gue gak mau ambil kimia lagi. Setelah itu, gara-gara dilama-lamain akhirnya sadar kalo umur udah bukan ABG lagi.
Tadi pagi gue cerita ke temen tentang salah satu problem yang sedang menggelayuti hidup gue. And he advices me buat lanjut sekolah ke jenjang berikutnya. Ada benarnya, mengingat di Indonesia mah apa-apa yang diliat adalah sertifikat. Skill nomor sekian. Maka turut berduka cita bagi orang yang punya skill hebat tapi gak mampu nyicipin bangku sekolah. Oh, ya, gue bilang ke dia kalo tadinya gue sempet mau ambil Teknik Lingkungan aja. Tapi 5 tahun, dan gue kapan nikahnya. Eh doi malah ngetawain. Karena menurut dia, nikah itu gak nunggu lulus kuliah tapi nunggu lulus syarat minimal menikah.
Kita gak tau kehidupan di depan akan seperti apa. Gue sih pengennya, nikah gak nunggu sampe lulus dulu. Atuh kelamaan, hahaha. Yang jadi masalah (lainnya) sekarang adalah, udah ada calonnya belum? Hahaha *ketawa miris*. Soalnya temen gue yang menikah di tengah-tengah kuliahnya, kebanyakan berhenti karena (katanya) udah makin gak ada waktu, apalagi kalo masih juga harus kerja.
Mungkin kalo tekad  gue lebih keras disertai perencanaan yang matang, gak akan gini jadinya. Oke, Bil, mulai dari hari ini gue udah bertekad untuk gak menunda-nunda apapun yang bisa gue kerjakan. Gue tau gue cape dengan segala aktivitas yang sekarang gue jalani, tapi masa iya cuma cape doang yang gue dapet?
Kesampingkan takut –tapi tetep kudu realistis, berani ambil resiko meski harus mengorbankan beberapa hal. Mudahh-mudahan nanti hasilnya setimpal, aamin..
To my dearest reader, barangkali curhat gue siang ini bisa diambil hikmahnya. Memang cape, bahkan awalnya sepele. Tapi menunda hal kecil yang sebenernya bisa dilakuin SEKARANG akan membentuk kebiasaan yang memengaruhi masa depan lo. Doain semoga gue belum terlambat yaa..
Salam,
Ibel ^^