Kau boleh saja menumpahkan kesumatmu pada mereka. Ya,
mereka; siapa pun itu. Kau boleh saja menyulut bara amarahmu pada mereka. Ya,
mereka; siapa pun itu. Tapi dengan apa, dan cara yang bagaiman kau melampiaskan
kerikil-kerikil dendammu?
Apa dengan merajamkannya pada tubuh-tubuh tengik mereka?
Kemudian tertawa menyaksikan mereka berdarah-darah, sampai mengeluarkan
belatung-belatungg busuk?
Apa dengan tetap menjaga bara-bara dendammu tetap menyala,
hingga dapat membakar energimu untuk menghimpun tenaga; agar siap menerjang
kapanpun kau mau?
Mana yang akan kaupakai sebagai senjata?
Kata-kata? Silahkan maki! Sumpah serapahi hingga mulutmu
berbusa, memuntahkan untaian kata-kata berbisa. Akan puaskah kamu?
Bagaimana dengan pedang? Atau parang? Atau belati tajam? Silahkan
tusuk! Hingga mereka mati dan perlahan membusuk. Tapi jangan salahkan, jika
nanti kau dihantui bayang-bayang dengan rupa tak karuan. Jadi coba pikirkan
lagi; akan puaskah kamu?
Kalau aku, ya, aku. Cukup kertas dan pena sebagai senjata.
Dan aku bias meluapkan segala emosiku hanya dengan menggoreskan tinta,
sebagaimana mereka telah menggoreskan luka.
Jika suatu saat kertas itu aku buka, dan kutemukan lagi nama
mereka, mungkin aku akan menghapusnya. Kemudian akan kuganti dengan sebuah nama
dan cerita baru. Seperti aku yang kini mencoba melupakan dia, juga mereka.
Menimpa semua cerita lama dengan warna berbeda.
Sekarang, kau akan bagaimana? Meneruskan seranganmu dengan
umpatan, atau senjata tajam? Atau ikut bersamaku; meliukkan pena di atas kertas
untuk membalaskan dendam tak berkesudahan?
Jangan pernah alik bertanya, “akan puaskah kamu?” padaku.
Sebab sungguh, bagiku, berbalas dendam tak akan pernah mencapai puas. Selamanya
hanya akan dilanda dahaga panas. Tapi dengan caraku, setidaknya aku punya karya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar