12/17/2014

Hate to Say Goodbye.



Dec  5th, 2014

Ini adalah Jumat yang mendung. Langit tak cerah sejak pagi. Tapi bulir-bulir air yang keluar adalah dari mata kami…
Pagi tadi aku melihat Adhi menangis. Hal yang kukira mustahil untuk manusia seangkuh dia. Saat itu dia sedang berkeliling menyalami satu persatu dari kami yang sudah terlebih dulu menangis. Ini adalah Jumatnya yang terakhir di sini. Setelah lima tahun bekerja di sini, pilihannya tak lagi tetap tinggal.
Semua orang berhak memilih. Tak terkecuali dia.
Ditinggalkan menjadi hal biasa akhir-akhir ini. Banyak wajah asing yang datang sebagai pengganti. Tapi kita, semuanya, tahu. Tak pernah ada yang bisa menggantikan sama persis dengan siapapun mereka yang pergi. Bisa jadi lebih baik, atau tak jarang malah mengecewakan.
Aku sudah banyak merasa sedih karena ditinggal. Saat lulus sekolah, satu sama lain dari kami yang tadinya utuh terhambur seperti butiran tasbih yang lepas dari benangnya. Meskipun sebenarnya kami tidak benar-benar terpisah, tapi jarak menjadi begitu terasa artinya setelah itu.
Mungkin kalau di sini perumpamaanya lain. Karena tidak semua orang pergi secara bersamaan. Dan itulah. Saat kita terbiasa berlima, lalu berkurang satu. Akan terasa pincangnya. Akan terasa kurangnya. Aku tak tahu harus menggunakan perumpamaan yang bagaimana. Aku harap kalian mengerti rasanya.
Saat salah satu dari mereka yang bahkan tak begitu dekat denganku pergi, bahkan aku terkadang merindukannya. Saat tertawa di meja makan, di ruang karaoke, di tempat kami pernah hangout… aku bahkan tak pernah tahu jawaban untuk pertnyaanku yang ini: Jika aku yang pergi, akankah meninggalkan perasaan seperti ini pada mereka yang kutinggalkan? Cukup baikkah aku untuk pantas dirindukan? Atau mereka akan mengingatku sebagai Nabilla yang buruk perangainya, sehingga sepeninggalku mereka senang. Dan justru itulah yang mereka rindukan?
Mungkin ini Jumat terpahit selama hidupku di tempat kerja. Ketika orang yang selama ini ada ‘di belakangku’ pergi, aku tak tahu akan seperti apa nantinya. Karena kukira, aku masih ada di sini hingga sekarang pun karena ada dia.
Aku tak tahu, perpisahan seperti bagaimana yang lebih menyakitkan: dengan atau tanpa ancang-ancang? Kabar dia akan pergi sudah kudengar jauh-jauh hari sebelum hari ini tiba. Harusnya aku –dan semuanya- siap. Tapi ternyata kami tidak.
Lalu bagaimana dengan kepergian yang tak terencanakan? Yang tanpa pemberitahuan? Ditinggal meninggal, atau diputus pacar?
Dalam hidup ini, ditinggalkan atau meninggalkan pasti akan menjadi hal yang ambil bagian. Meskipun pasti, tapi rasanya akan tetap sulit untuk menyiapkan diri..

2 komentar: