Dec 5th,
2014
Ini adalah Jumat yang mendung. Langit tak cerah sejak pagi.
Tapi bulir-bulir air yang keluar adalah dari mata kami…
Pagi tadi aku melihat Adhi menangis. Hal yang kukira
mustahil untuk manusia seangkuh dia. Saat itu dia sedang berkeliling menyalami
satu persatu dari kami yang sudah terlebih dulu menangis. Ini adalah Jumatnya
yang terakhir di sini. Setelah lima tahun bekerja di sini, pilihannya tak lagi
tetap tinggal.
Semua orang berhak memilih. Tak terkecuali dia.
Ditinggalkan menjadi hal biasa akhir-akhir ini. Banyak wajah
asing yang datang sebagai pengganti. Tapi kita, semuanya, tahu. Tak pernah ada
yang bisa menggantikan sama persis dengan siapapun mereka yang pergi. Bisa jadi
lebih baik, atau tak jarang malah mengecewakan.
Aku sudah banyak merasa sedih karena ditinggal. Saat lulus
sekolah, satu sama lain dari kami yang tadinya utuh terhambur seperti butiran
tasbih yang lepas dari benangnya. Meskipun sebenarnya kami tidak benar-benar
terpisah, tapi jarak menjadi begitu terasa artinya setelah itu.
Mungkin kalau di sini perumpamaanya lain. Karena tidak semua
orang pergi secara bersamaan. Dan itulah. Saat kita terbiasa berlima, lalu
berkurang satu. Akan terasa pincangnya. Akan terasa kurangnya. Aku tak tahu
harus menggunakan perumpamaan yang bagaimana. Aku harap kalian mengerti
rasanya.
Saat salah satu dari mereka yang bahkan tak begitu dekat
denganku pergi, bahkan aku terkadang merindukannya. Saat tertawa di meja makan,
di ruang karaoke, di tempat kami pernah hangout… aku bahkan tak pernah tahu
jawaban untuk pertnyaanku yang ini: Jika aku yang pergi, akankah meninggalkan
perasaan seperti ini pada mereka yang kutinggalkan? Cukup baikkah aku untuk
pantas dirindukan? Atau mereka akan mengingatku sebagai Nabilla yang buruk
perangainya, sehingga sepeninggalku mereka senang. Dan justru itulah yang
mereka rindukan?
Mungkin ini Jumat terpahit selama hidupku di tempat kerja.
Ketika orang yang selama ini ada ‘di belakangku’ pergi, aku tak tahu akan
seperti apa nantinya. Karena kukira, aku masih ada di sini hingga sekarang pun
karena ada dia.
Aku tak tahu, perpisahan seperti bagaimana yang lebih
menyakitkan: dengan atau tanpa ancang-ancang? Kabar dia akan pergi sudah
kudengar jauh-jauh hari sebelum hari ini tiba. Harusnya aku –dan semuanya-
siap. Tapi ternyata kami tidak.
Lalu bagaimana dengan kepergian yang tak terencanakan? Yang
tanpa pemberitahuan? Ditinggal meninggal, atau diputus pacar?
Dalam hidup ini, ditinggalkan atau meninggalkan pasti akan
menjadi hal yang ambil bagian. Meskipun pasti, tapi rasanya akan tetap sulit
untuk menyiapkan diri..
Ini kak adhi udah baca? :)
BalasHapusHaloo, ini dgn siapa? :)
HapusHarusnya sih sudah, ya..