2/24/2016

Teruntuk Nurul Aini



Ibu,
Kakak gak tau apa gunanya nulis ini. Mungkin Kakak cuma lagi inget aja sama Ibu. Kangen. Rasanya aneh. Dulu kita ‘jauh’ banget, ya? Padahal jarak kita begitu dekat. Tapi sekarang Kakak ngerasa deket sama Ibu. Mungkin karena di setiap langkah Kakak ada doa dari Ibu.
Kalo ditanya, apakah keluarga kita adalah keluarga yang bahagia, Kakak bingung harus jawab apa. Konsep keluarga yang bahagia itu yang gimana, Bu? Kakak kuliah di universitas ternama; Dennis sekolah di SMA favorit; Ibu mengurus rumah tangga; Papah kerja di kantor; dan setiap akhir pekan kita pergi wisata atau sekadar pergi belanja. Begitukah, Bu?
Keluarga kita jauh banget dari “keluarga bahagia” versi kayak gitu. Lalu yang seperti apa? Yang setiap hari atau minimal di akhir pekan bisa berkumpul bersama untuk nonton teve; shalat berjamaah; makan sambil duduk mengitari meja yang sama. Ah, rasanya bukan yang sepert itu juga.
Kakak bahkan belum pernah bertanya sebelumnya pada diri sendiri: “Apakah saya bahagia berada di tengah keluarga ini?”
Entahlah, Bu. Banyak sekali kepedihan yang tergores dan terpupuk sejak Kakak kecil. Kakak pikir seiring berjalannya waktu, pedih itu akan menguap. Nyatanya, mereka menguar bersama udara yang Kakak hirup setiap hari dan membuat Kakak sesak.
Sejak Kakak kecil dan mulai mengerti kehidupan dalam keluarga, setiap tawa dan tangis membawa peran yang membentuk Kakak menjadi seperti sekarang. Makin Kakak dewasa, Allah memberi waktu yang cukup untuk membuat Kakak berpikir, menilai, dan menyikapi keluarga kita ini. Hal yang dulu belum Kakak paham, seringkali berkelebat lagi. Membuat Kakak merenung.
Ibu adalah madrasah pertama tempat Kakak menimba ilmu. Terima kasih karena Ibu berbeda. Terima kasih telah mendidik Kakak dengan banyak kepedihan. Jika dulu Kakak dimanja, barangkali hari ini Kakak tumbuh menjadi wanita lembek tak berguna. Ibu mengajari banyak hal yang baru kini Kakak syukuri.
Keluarga kita mungkin tak sempurna, Ibu. Tapi Kakak memang tak pernah mendamba yang sempurna. Buang jauh-jauh kata itu. Karena sungguh kita tidak butuh. Tapi bolehkah Kakak harap selamanya kita semua bisa utuh?
Setiap prestasi yang dulu Kakak raih, tak ada artinya jika tanpa senyum Ibu. Setiap iri yang muncul dalam hati, tak penting lagi jika ingat kasih sayang Ibu. Terima kasih karena menyayangiku secara berbeda.
Kakak mungkin belum sukses sekarang. Kakak gak tau akan seperti apa di depan sana. Tapi satu yang Kakak janjikan: gak akan bikin Ibu malu. Kalau ada air mata Ibu yang harus tumpah, itu karena Ibu bangga dan haru.
Ibu adalah sosok yang paling hebat dan mungkin gak bisa Kakak tiru. Tapi waktulah yang memproses Kakak menyadari hal itu. Maaf karena Kakak terlambat sadar.
Ibu, segala kemudahan, keberuntungan, dan keberhasilan yang Kakak capai, bukan karena Kakak hebat. Tapi karena doa dan ridha Ibu. Terima kasih karena memberiku kebebasan memilih. Terima kasih karena selalu mendukung dan percaya. Jangan putus memberi Kakak doa. Sunngguh, Kakak sayang Ibu.
Ya Allah, lindungilah Ibu. Sayangi Ibu dengan cara yang paling indah, hiasi senyum tak hanya di bibirnya, tapi juga hatinya. Aku sayang Ibu, Ya Allah... sayang banget. Makasih telah memilihkannya untukku..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar