Ibu,
Kakak gak tau apa gunanya nulis ini. Mungkin Kakak cuma lagi
inget aja sama Ibu. Kangen. Rasanya aneh. Dulu kita ‘jauh’ banget, ya? Padahal
jarak kita begitu dekat. Tapi sekarang Kakak ngerasa deket sama Ibu. Mungkin
karena di setiap langkah Kakak ada doa dari Ibu.
Kalo ditanya, apakah keluarga kita adalah keluarga yang
bahagia, Kakak bingung harus jawab apa. Konsep keluarga yang bahagia itu yang
gimana, Bu? Kakak kuliah di universitas ternama; Dennis sekolah di SMA favorit;
Ibu mengurus rumah tangga; Papah kerja di kantor; dan setiap akhir pekan kita
pergi wisata atau sekadar pergi belanja. Begitukah, Bu?
Keluarga kita jauh banget dari “keluarga bahagia” versi
kayak gitu. Lalu yang seperti apa? Yang setiap hari atau minimal di akhir pekan
bisa berkumpul bersama untuk nonton teve; shalat berjamaah; makan sambil duduk
mengitari meja yang sama. Ah, rasanya bukan yang sepert itu juga.
Kakak bahkan belum pernah bertanya sebelumnya pada diri
sendiri: “Apakah saya bahagia berada di tengah keluarga ini?”
Entahlah, Bu. Banyak sekali kepedihan yang tergores dan
terpupuk sejak Kakak kecil. Kakak pikir seiring berjalannya waktu, pedih itu
akan menguap. Nyatanya, mereka menguar bersama udara yang Kakak hirup setiap
hari dan membuat Kakak sesak.
Sejak Kakak kecil dan mulai mengerti kehidupan dalam
keluarga, setiap tawa dan tangis membawa peran yang membentuk Kakak menjadi seperti
sekarang. Makin Kakak dewasa, Allah memberi waktu yang cukup untuk membuat Kakak
berpikir, menilai, dan menyikapi keluarga kita ini. Hal yang dulu belum Kakak
paham, seringkali berkelebat lagi. Membuat Kakak merenung.
Ibu adalah madrasah pertama tempat Kakak menimba ilmu.
Terima kasih karena Ibu berbeda. Terima kasih telah mendidik Kakak dengan
banyak kepedihan. Jika dulu Kakak dimanja, barangkali hari ini Kakak tumbuh
menjadi wanita lembek tak berguna. Ibu mengajari banyak hal yang baru kini Kakak
syukuri.
Keluarga kita mungkin tak sempurna, Ibu. Tapi Kakak memang
tak pernah mendamba yang sempurna. Buang jauh-jauh kata itu. Karena sungguh
kita tidak butuh. Tapi bolehkah Kakak harap selamanya kita semua bisa utuh?
Setiap prestasi yang dulu Kakak raih, tak ada artinya jika
tanpa senyum Ibu. Setiap iri yang muncul dalam hati, tak penting lagi jika
ingat kasih sayang Ibu. Terima kasih karena menyayangiku secara berbeda.
Kakak mungkin belum sukses sekarang. Kakak gak tau akan
seperti apa di depan sana. Tapi satu yang Kakak janjikan: gak akan bikin Ibu
malu. Kalau ada air mata Ibu yang harus tumpah, itu karena Ibu bangga dan haru.
Ibu adalah sosok yang paling hebat dan mungkin gak bisa Kakak
tiru. Tapi waktulah yang memproses Kakak menyadari hal itu. Maaf karena Kakak
terlambat sadar.
Ibu, segala kemudahan, keberuntungan, dan keberhasilan yang Kakak
capai, bukan karena Kakak hebat. Tapi karena doa dan ridha Ibu. Terima kasih
karena memberiku kebebasan memilih. Terima kasih karena selalu mendukung dan
percaya. Jangan putus memberi Kakak doa. Sunngguh, Kakak sayang Ibu.
Ya Allah, lindungilah Ibu. Sayangi Ibu dengan cara yang
paling indah, hiasi senyum tak hanya di bibirnya, tapi juga hatinya. Aku sayang
Ibu, Ya Allah... sayang banget. Makasih telah memilihkannya untukku..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar