2/23/2013

DIMENSI KETERASINGAN


DIMENSI KETERASINGAN

Kabut pagi itu menutupi dirimu. Bahkan juga bayanganmu sendiri. Hanya suaramu sayup dan samar terdengar. Mungkin karena kau telah jauh dari tempat aku berdiri sekarang.
Aku sendirian. Temani aku, kumohon. Teruslah bersuara, memanggil aku dari hatimu. Aku ingin terus mendengarmu agar aku tau harus melangkah ke mana. Agar aku tau kamu ada di mana.
Kabut berganti hitam. Gelap. Ini sudah tak pagi lagi. Malam mengaburkan rupamu, apalagi bayanganmu. Hanya suaramu yang… tidak! Tidak ada lagi suara apapun sekarang. Aku di mana? Kamu di mana? Kenapa tak ada jawaban? Apa kau juga mencari aku?
Aku sendirian. Temani aku, kumohon. Bersuaralah lagi. Panggil namaku lagi, agar aku tau harus menghambur ke mana. Aku takut, kenapa kau diam saja? Apa kau tidur? Apa aku juga harus diam, atau tidur? Menunggu pagi datang. Mudah-mudahan tak ada kabut lagi. Kabut yang tebal dan muncul lama sekali. Sampai-sampai aku tak menemukan fasa siang. Tahu-tahu gelap. Membuat aku makin tersesat.
Ya, aku akan diam. Dan mungkin tidur akan lebih baik. Dalam pejaman mata aku melihat hitam itu sirna. Perlahan namun pasti. Kemudian warna warni asing menyilaukan mata, memilukan hati. Ini apa? Aku di mana? Tapi aku senang menemukanmu lagi di…di sini?
Kau tersenyum padaku. Getir. Sekali lagi aku merasa pilu. Aku berjalan mendekatimu. Tapi ubin hijau muda yang sama-sama kita pijak ini tiba-tiba menjadi lebih panjang dan menjauhkan jarak kita. Aku berlari sekencang-kencangnya, namun ubin gila ini memanjang lagi. Aku letih terengah. Sementara kau di sana merentangkan tanganmu, bersiap mendekap.
Senyummu masih getir. Bagaimana aku bisa menuju dekapanmu, sementara ubin hijau  ini terus menjauhkan jarak kita? Sekali lagi hatiku serasa diiris sembilu. Mudah-mudahan jangan lagi.
Saat senyummu memudar, aku mencoba mendekat kembali. Ubin ini diam. Aku berlari, dan ubin ini tak memanjang lagi. Tapi tanganmu sudah tak kau rentangkan lagi. Tidak apa-apa. Aku semakin mendekat. Dan sekarang sudah sangat dekat.
Napasku memburu. “Panggil aku lagi. Akuk tak tau harus berjalan ke mana jika kabut atau gelap itu datang lagi.”
Kau menatapku kosong. “Aku tak bisa memanggilmu lagi.”
“Lalu aku harus ke mana?”
Kau tersenyum. Kali ini dengan tulus. “Tidur” , jawabmu singkat.
Senyumku juga membalas tulus. Tapi entah mengapa mendengar jawaban itu, aku merasa pilu lagi.

Aku tak bisa menemukanmu di manapun. Kau tak terjangkau. Bahkan dalam pejaman mataku saat tidur, tidak melulu dirimu yang datang. Kamu di mana?




Tidak ada komentar:

Posting Komentar