DIMENSI KETERASINGAN
Kabut
pagi itu menutupi dirimu. Bahkan juga bayanganmu sendiri. Hanya suaramu sayup
dan samar terdengar. Mungkin karena kau telah jauh dari tempat aku berdiri
sekarang.
Aku
sendirian. Temani aku, kumohon. Teruslah bersuara, memanggil aku dari hatimu.
Aku ingin terus mendengarmu agar aku tau harus melangkah ke mana. Agar aku tau
kamu ada di mana.
Kabut
berganti hitam. Gelap. Ini sudah tak pagi lagi. Malam mengaburkan rupamu,
apalagi bayanganmu. Hanya suaramu yang… tidak! Tidak ada lagi suara apapun
sekarang. Aku di mana? Kamu di mana? Kenapa tak ada jawaban? Apa kau juga
mencari aku?
Aku
sendirian. Temani aku, kumohon. Bersuaralah lagi. Panggil namaku lagi, agar aku
tau harus menghambur ke mana. Aku takut, kenapa kau diam saja? Apa kau tidur?
Apa aku juga harus diam, atau tidur? Menunggu pagi datang. Mudah-mudahan tak
ada kabut lagi. Kabut yang tebal dan muncul lama sekali. Sampai-sampai aku tak
menemukan fasa siang. Tahu-tahu gelap. Membuat aku makin tersesat.
Ya,
aku akan diam. Dan mungkin tidur akan lebih baik. Dalam pejaman mata aku
melihat hitam itu sirna. Perlahan namun pasti. Kemudian warna warni asing
menyilaukan mata, memilukan hati. Ini apa? Aku di mana? Tapi aku senang
menemukanmu lagi di…di sini?
Kau
tersenyum padaku. Getir. Sekali lagi aku merasa pilu. Aku berjalan mendekatimu.
Tapi ubin hijau muda yang sama-sama kita pijak ini tiba-tiba menjadi lebih
panjang dan menjauhkan jarak kita. Aku berlari sekencang-kencangnya, namun ubin
gila ini memanjang lagi. Aku letih terengah. Sementara kau di sana merentangkan
tanganmu, bersiap mendekap.
Senyummu
masih getir. Bagaimana aku bisa menuju dekapanmu, sementara ubin hijau ini terus menjauhkan jarak kita? Sekali lagi
hatiku serasa diiris sembilu. Mudah-mudahan jangan lagi.
Saat
senyummu memudar, aku mencoba mendekat kembali. Ubin ini diam. Aku berlari, dan
ubin ini tak memanjang lagi. Tapi tanganmu sudah tak kau rentangkan lagi. Tidak
apa-apa. Aku semakin mendekat. Dan sekarang sudah sangat dekat.
Napasku
memburu. “Panggil aku lagi. Akuk tak tau harus berjalan ke mana jika kabut atau
gelap itu datang lagi.”
Kau
menatapku kosong. “Aku tak bisa memanggilmu lagi.”
“Lalu
aku harus ke mana?”
Kau
tersenyum. Kali ini dengan tulus. “Tidur” , jawabmu singkat.
Senyumku
juga membalas tulus. Tapi entah mengapa mendengar jawaban itu, aku merasa pilu
lagi.
Aku
tak bisa menemukanmu di manapun. Kau tak terjangkau. Bahkan dalam pejaman
mataku saat tidur, tidak melulu dirimu yang datang. Kamu di mana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar