2/23/2013

OPINI - pemimpin populer, pentingkah?

Pemimpin popular, pentingkah?

Selama jelang musim pemilu di Indonesia belakangan ini, banyak dijumpai calon-calon pemimpin yang mendaftarkan diri dengan modal popularitas yang dimilikinya. Kebanyakan orang-orang popular tersebut digaet untuk ditempatkan sebagai wakil pemimpin. Masalahkah? Menurut saya itu hal yang sah-sah saja. Tapi pertanyaannya, apakah sosok popular yang digaet atau justru mencalonkan dirinya itu memiliki pemahaman yang mumpuni di bidang politik?
Sebagai contohnya, pada putaran Pemilu Gubernur Jabar periode lalu, Pak Ahmad Heryawan meminang Pak Dede Yusuf untuk menjadi wakilnya. Setelah terpilih dan memimpin Jabar selama ini, saya rasa “hasil pekerjaan” beliau-beliau ini cukup memuaskan dan ada hasilnya. Banyak program kerja yang terealisasikan dengan baik. Imej Pak Aher di mata masyarakatpun dinilai positif. Lalu apa hubungannya dengan topik pemimpin popular ini?
Seandainya saja dulu Pak Aher tidak didampingi oleh Pak Dede yang notabenenya adalah seorang public figure yang sudah dikenal masyarakat sejak lama, mungkin beliau tidak akan terpilih menjadi Gubernur seperti sekarang ini, sebab sosok Pak Aher sebelum menjadi gubernur tidak terlalu dikenal khususnya oleh masyarakat awam. Syukurlah, beliau bisa membuktikan kinerja bagusnya untuk Jabar. Jadi menurut saya, dalam hal ini Pak Dede bukan dijadikan sebagai tameng untuk memenangkan banyak suara pada pemilu periode lalu.
Menjadi sosok yang popular memang tidak lepas dari peranan media. Misalnya artis yang sering muncul di layar kaca yang kemudian tenggelam dan tiba-tiba naik ke permukaan dalam balutan profesi yang berbeda. Pada kasus ini biasanya program entertainment banyak menggembar-gemborkan berita itu. Sebut saja Rieke Diah Pitaloka, Angelina Sondah, Rano Karno, dll. Dari sanalah masyarakat kemudian mengetahui informasi tersebut. Berbeda dengan tokoh yang memang mengawali karir politiknya bukan dari jalur keartisan, sebagus apapun prestasi mereka, hanya segelintir orang saja yang mengetahuinya. Sangat jarang hal tersebut dibesar-besarkan.
Walau sangat jarang, bukan berarti tidak ada. Karena meskipun tidak pernah menjadi artis, ada pula pemimpin yang kemundian menjadi amat terkenal. Masih segar dalam ingatan kita semua, belum lama ini Gubernur DKI terpilih untuk periode 5 tahun ke depan adalah Pak Jokowi yang dulunya menjadi walikota di Solo. Beliau dinilai berprestasi dan sukses dalam jabatannya sebagai pemimpin. Namun barangkali yang mengetahui kesuksesan beliau itu tadinya hanya warga Solo dan segelintir petinggi-petinggi lainnya saja. Tapi sekarang, Pak Jokowi menjadi sosok yang sangat popular, bukan hanya di Jakarta atau Solo, bahkan sepertinya se-Indonesia pun tahu siapa beliau.
Berbeda dengan Pak Jokowi yang popularitasnya melejit karena prestasi, Bupati Kabupaten Garut, Pak Aceng Fikri juga sedang ramai dibicarakan. Beliau mendadak tenar di seantero media massa nasional karena kasus pernikahan sirinya selama empat hari. Dulunya Pak Aceng menggaet Pak Dicky Chandra yang pada akhirnya mengundurkan diri jauh sebelum kasus Pak Aceng ini heboh. Kalau seperti ini, bukan tidak mungkin bahwa orang popular hanya dijadikan alat untuk mendongkrak perolehan suara saat pemilu. Karena kebanyakan masyarakat di kita ini tidak banyak mengetahui sosok calon pemimpinnya, sehingga cenderung memilih sosok yang menurutnya familiar.
Bagaimana dengan sosok  Raja Dangdut; Rhoma Irama? Diberitakan bahwa beliau akan maju sebagai calon presiden. Popularitas beliau di Indonesia sudah tak perlu diragukan lagi. Sepertinya dari Sabang sampai Merauke juga mengetahui sosoknya. Apakah jika memang beliau fix maju sebagai capres, lagi-lagi masyarakat kita akan memilih hanya karena familiar saja? Apakah pemimpin yang popular memang mutlak diperlukan dan menjamin bahwa kepemimpinannya bisa sukses??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar