Pemimpin
popular, pentingkah?
Selama jelang musim pemilu di Indonesia
belakangan ini, banyak dijumpai calon-calon pemimpin yang mendaftarkan diri
dengan modal popularitas yang dimilikinya. Kebanyakan orang-orang popular
tersebut digaet untuk ditempatkan sebagai wakil pemimpin. Masalahkah? Menurut
saya itu hal yang sah-sah saja. Tapi pertanyaannya, apakah sosok popular yang
digaet atau justru mencalonkan dirinya itu memiliki pemahaman yang mumpuni di
bidang politik?
Sebagai contohnya, pada putaran Pemilu Gubernur
Jabar periode lalu, Pak Ahmad Heryawan meminang Pak Dede Yusuf untuk menjadi
wakilnya. Setelah terpilih dan memimpin Jabar selama ini, saya rasa “hasil
pekerjaan” beliau-beliau ini cukup memuaskan dan ada hasilnya. Banyak program
kerja yang terealisasikan dengan baik. Imej Pak Aher di mata masyarakatpun
dinilai positif. Lalu apa hubungannya dengan topik pemimpin popular ini?
Seandainya saja dulu Pak Aher tidak
didampingi oleh Pak Dede yang notabenenya adalah seorang public figure yang
sudah dikenal masyarakat sejak lama, mungkin
beliau tidak akan terpilih menjadi Gubernur seperti sekarang ini, sebab
sosok Pak Aher sebelum menjadi gubernur tidak terlalu dikenal khususnya oleh
masyarakat awam. Syukurlah, beliau bisa membuktikan kinerja bagusnya untuk
Jabar. Jadi menurut saya, dalam hal ini Pak Dede bukan dijadikan sebagai tameng
untuk memenangkan banyak suara pada pemilu periode lalu.
Menjadi sosok yang popular memang tidak
lepas dari peranan media. Misalnya artis yang sering muncul di layar kaca yang
kemudian tenggelam dan tiba-tiba naik ke permukaan dalam balutan profesi yang
berbeda. Pada kasus ini biasanya program entertainment banyak
menggembar-gemborkan berita itu. Sebut saja Rieke Diah Pitaloka, Angelina
Sondah, Rano Karno, dll. Dari sanalah masyarakat kemudian mengetahui informasi
tersebut. Berbeda dengan tokoh yang memang mengawali karir politiknya bukan dari
jalur keartisan, sebagus apapun prestasi mereka, hanya segelintir orang saja
yang mengetahuinya. Sangat jarang hal tersebut dibesar-besarkan.
Walau sangat jarang, bukan berarti tidak
ada. Karena meskipun tidak pernah menjadi artis, ada pula pemimpin yang
kemundian menjadi amat terkenal. Masih segar dalam ingatan kita semua, belum
lama ini Gubernur DKI terpilih untuk periode 5 tahun ke depan adalah Pak Jokowi
yang dulunya menjadi walikota di Solo. Beliau dinilai berprestasi dan sukses
dalam jabatannya sebagai pemimpin. Namun barangkali yang mengetahui kesuksesan
beliau itu tadinya hanya warga Solo dan segelintir petinggi-petinggi lainnya
saja. Tapi sekarang, Pak Jokowi menjadi sosok yang sangat popular, bukan hanya
di Jakarta atau Solo, bahkan sepertinya se-Indonesia pun tahu siapa beliau.
Berbeda dengan Pak Jokowi yang
popularitasnya melejit karena prestasi, Bupati Kabupaten Garut, Pak Aceng Fikri
juga sedang ramai dibicarakan. Beliau mendadak tenar di seantero media massa
nasional karena kasus pernikahan sirinya selama empat hari. Dulunya Pak Aceng
menggaet Pak Dicky Chandra yang pada akhirnya mengundurkan diri jauh sebelum kasus
Pak Aceng ini heboh. Kalau seperti ini, bukan tidak mungkin bahwa orang popular
hanya dijadikan alat untuk mendongkrak perolehan suara saat pemilu. Karena
kebanyakan masyarakat di kita ini tidak banyak mengetahui sosok calon
pemimpinnya, sehingga cenderung memilih sosok yang menurutnya familiar.
Bagaimana dengan sosok Raja Dangdut; Rhoma Irama? Diberitakan bahwa
beliau akan maju sebagai calon presiden. Popularitas beliau di Indonesia sudah
tak perlu diragukan lagi. Sepertinya dari Sabang sampai Merauke juga mengetahui
sosoknya. Apakah jika memang beliau fix maju sebagai capres, lagi-lagi
masyarakat kita akan memilih hanya karena familiar saja? Apakah pemimpin yang
popular memang mutlak diperlukan dan menjamin bahwa kepemimpinannya bisa
sukses??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar