2/24/2013

katalis

Sesaat setelah aku lepas dari dia,ada sesuatu yang perlahan-lahan menutup luka robek yang sudah menganga sedemikian parah. Luka yang sejatinya ditorehkan oleh dia. Yang dia ukir tak beraturan dengan sebilah belati yang menari-nari setiap hari. Di hati aku. Di tubuh aku. Di jiwa aku. Berbekas selamanya.
Benang-benang fibrin yang menutupi sedikit demi sedikit  lukaku adalah kalian; teman-temanku, sahabat-sahabatku. Di luar itu, memang ada yang lain yang menjadi katalis pengobat lukaku. Sungguh, aku menikmati proses penyembuhan ini. Aku tau ini tak akan berlangsung cepat. Luka ini terlalu dalam, juga terlalu banyak di mana-mana. di sekujur aku.
Kalian tau? Kadang, dia masih suka datang. Dia hadir seolah ingin membantu aku mengobati luka ini. Sepertinya dia tau, aku yang lemah ini mustahil harus merawat lukakusendirian. Tapi lihat, yang tejadi malah sebaliknya. Bayangkan kauterjatuh, lalu kulitmu berdarah. Lukamu yang masih baru dan basah itu ditutupi dengan plester, lalu seketika itu juga dicabut dengan paksa. Seperti itulah yang dia lakukan padaku. Lihat lagi, lukaku kian parah kan sekarang?
Ada yang mengganjal sebenarnya. Seperti kataku di awal, ada yang lain yang menjadi katalis dalam proses pendewasaanku ini. Aku bersyukur atas kehadirannya di hidupku yang sedang rapuh ini. Dia menyemangati aku dalam banyak hal. Ya! Dia si katalis itu...
Seiring berjalannya waktu, sisi jiwaku yang satu mulai tak karuan. Rasa nyaman yang tercipta secara alami, tak dibuat-buat, dan apa adanya selalu hinggap saat aku bersama dia. Aku bisa dengan gamblang bercerita apapun kepada dia. Tanpa jaim, tanpa malu, tanpa sensor! Pola pikir kami yang satu tipe, membuat semua mengalir seolah tanpa hambatan. Tapi sebenarnya, tidak.
Sisi jiwaku yang lain menahanku. Sepertinya sisi sebelah sini lebih mendominasi. Seperti mengingatkanku kalau dia hanya katalis, yang secara teori, tak pernah terlibat dalam reaksi. Tidak akan pernah... Bagaimana mungkin dia dan aku terlibat dalam suatu reaksi, jika pandangan kami mengenai "benar" dan "salah" saja sudah bertentangan?
Memikirkan itu, aku jadi merasa rapuh sendiri. Kau bisa bayangkan, bagaimana rasanya menahan perasaan yang makin hari makin membesar. Sementara logika menyuruhku untuk menekan pertumbuhan rasa itu. Tapi aku tak ingin memikirkannya lama-lama. Biar akunikmati siksaan indah ini. Bukankah katalis ada untuk mempercepat reaksi menuju...kesempurnaan?
Aku rasa, dia bisa membaca pikiranku. Aku juga tau dia merasakan perasaan yang sama padaku. Tapi aku bingung jika suatu saat ia bertanya. Aku takut salah bicara, salah menyampaikan. Aku takut dia pergi karena merasa tak nyaman lagi denganku.
Oh, Tuhan... Apa kataku barusan? Aku takut dia pergi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar