2/23/2013

TERLILIT ....


TERLILIT ..

Aku pernah merasa disukai. Tapi sering pula aku merasa dibenci dan dihinakan. Aku pernah merasa berguna. Tapi tak jarang aku juga pernah merasa sangat bebal dan menyusahkan orang. Sekarang aku sedang merasa dibenci. Sangat dibenci!
Perasaan tidak enak ini muncul sudah empat hari belakangan. Saat aku pulang kantor, istriku menyambut dengan wajah masam. Aku pulang bukannya disuguhi minuman hangat seperti biasanya, apalagi disediakan air panas untuk mandi. Aku mencoba memasang wajah biasa. Tapi istriku langsung menyemprotku dengan serapahnya melihat aku yang seakan tak bersalah.
“Apa ini, Mas?!” semprot istriku.
“Tunggulah sebentar. Suami pulang malah main bentak saja..” ujarku pura-pura tak tahu.
Lalu istriku menyodorkan surat tagihan utang dari bank ke atas meja. “Utang apa ini, Mas? Kok aku tidak pernah tahu soal ini? Kamu pakai apa uang sebanyak itu??”
Aku terhempas di kursi yang sudah doyong. Mendadak keningku terasa pening. Aku bingung harus menjelaskan apa. Istriku masih berdiri di seberang meja di hadapanku, dengan napas memburu dan siap meledak. Tapi sebelum itu terjadi, aku segera keluar dan membanting pintu.
Ya, aku minggat dari rumah. Untuk sementara aku menginap di kontrakan teman kerjaku, Anto namanya. Dia masih bujangan, sehingga tinggal sendirian di sana. Beruntung aku diijinkannya menginap. Dan sudah empat hari pula aku tidak masuk kantor. Aku sudah tidak punya muka untuk datang ke sana. Karena aku tahu, pihak bank juga pasti akan melayangkan tagihannya ke alamat kantor. Tentu saja aku meminta Anto untuk tutup mulut mengenai keberadaanku pada siapapun.
Bukannya aku tidak merasaa malu untuk berlama-lama menginap di sini. Kemarin aku sempat berniat pulang ke rumah. Tapi tak jauh dari rumahku, aku melihat dua orang  yang sudah pasti mereka itu debt collector, sedang memaki-maki istriku. Yang satu orangnya tinggi besar dan putih. Dan rekannya agak tambun dengan warna kulit lebih gelap. Sementara istriku bersikeras berkata bahwa dia tidak tahu apa-apa. Kasihan sekali istriku. Ingin sekali aku meminta maaf dan menjelaskan yang sebenarnya terjadi. Tapi aku tahu, jika aku pulang saat itu, maka habislah aku! Maka setelah itu aku kembali lagi ke kontrakan Anto. Dan dia tidak berkeberatan, entah jujur atau tidak.
Aku bingung harus bagaimana. Aku memang telah meminjam uang lima belas juta rupiah dari bank empat bulan yang lalu. Tapi sungguh, aku mempergunakannya untuk usaha jaket kulit bersama temanku, Imas. Dan aku memang sudah terlibat dalam usahanya. Sebenarnya dia adalah mantan pacarku waktu SMA dulu. Dan sialnya, dia membawa kabur seluruh uang modal beserta keuntungannya! Padahal beberapa minggu yang lalu, pesanan jaket sudah banyak kami terima. Dan ada seorang ibu-ibu yang memesannya secara langsung padaku,katanya untuk hadiah ulang tahun suaminya. Awalnya aku hanya kasihan ketika Imas bercerita bahwa dia ditinggal suaminya, dan sedang ingin merintis usaha jaket kulit yang dibilangnya lumayan, karena sekarang ia tak memiliki penghasilan apapun untuk menyambung hidup lagi. Gaya bicaranya sangat meyakinkan, sial!
 Sebenarnya aku bukan hanya kasihan pada Imas. Tapi aku memang masih memendam rasa buatnya. Asal tahu saja, istriku yang sekarang aku nikahi itu adalah pilihan orang tuaku. Karena orang tuaku terlilit utang pada keluarga istriku. Dan oleh karena orangtuaku tidak mampu melunasinya, pihak pemilik piutang membuat penawaran dengan orang tuaku. Mereka ingin aku menikahi anak sulungnya. Dan sebagai anak yang ingin meringankan beban orang tua, aku dengan berat hati setuju saja. Maka perawan tua bernama Dedeh itu akhirnya menjadi istriku kini.
Sekarang entah aku harus bagaimana. Jika aku jujur pada istriku, ia tentu akan semakin murka. Gara-gara aku ingin membantu mantan pacar, sampai dikejar-kejar debt collector. Aku memang suami tidak tahu diri. Padahal biaya hidup keluarga saja, sebagian besar ditanggung istriku yang bekerga sebagai guru. Gajiku tidak lebih besar daripada dia. Dan dia tidak pernah merendahkan aku seperti yang dilakukan orangtuanya padaku. Kurang baik apa istriku?! Ah, sungguh aku menyesal telah begini.
Di tengah lamunanku, sebuah sms mengagetkanku. Begini isinya;
“Pak, gmn ini jket udh sblan lbih blm jadi2 aja! Bpa mau nipu?? Balikin diut sy!!”
Oh Tuhan…. Sudah seminggu ini orang itu terus menagih. Dia tidak lain adalah ibu-ibu yang memesan jaket untuk kado ulang tahun suaminya.  Aku sudah membohonginya dengan berbagai alasan. Entah harus ditaruh di mana mukaku ini. Sebenarnya aku menjanjikan jaket akan jadi seminggu setelah pembayaran. Seminggu, dua minggu, dan sekarang sudah lewat dari sebulan, jaket seharga delapan ratus ribu itu belum sampai ke tuannya. Tentu saja karena memang belum dibuatkan, gara-gara uangnya sudah raib bersama si Imas sialan itu! Yang lebih membuatku panik, ibu-ibu itu membawa keponakan laki-lakinya saat menagih utangku. Aku pernah menemui mereka, dan keponakannya yang masih muda itu mengobarkan mata yang menyala-nyala tiap aku berkelit untuk mengulur waktu.
Tak lama, sebuah panggilan masuk berdering di handphoneku. Itu nomer keponakan ibu-ibu itu! Aku tidak berani untuk mengangkatnya. Aku sudah kehabisan alasan! Tentu saja telepon itu berdering tak hanya sekali. Anak muda itu juga mengirim sms-sms umpatan dan makian yang dialamatkan padaku. Aku sama sekali tidak tersinggung dengan kata-katanya yang kasar, karena aku tidak memungkiri bahwa aku pantas untuk menerimanya.
Seminggu berlalu. Dan selama itu aku dihantui perasaan tidak tenang. Telepon dan sms makian dari anak muda keponakan ibu-ibu itu memenuhi handphoneku. Bayangan-bayangan mengenai istri dan anak perempuanku di rumah juga berkelebat tiap waktu. Dua orang debt collector tinggi besar itu selalu datang ke mimpiku, menyeretku ke pengadilan dengan perlakuan yang keji. Aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi dalam situasi seperti ini.
Malam itu juga aku pulang ke rumah. Aku tidak peduli jika nanti di rumah istriku memaki, atau ada debt collector yang menunggu di rumah dan kemudian memukuliku sampai  mati. Setidaknya aku sempat meminta maaf pada istriku sebelum kematian menjemput.
Rumah sepi. Pagar rumah agak terbuka. Aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Tak ada sahutan. Aku membuka sendiri pintu rumah, ternyata tidak dikunci. Rumah sudah gelap, padahal baru jam sembilan. Tapi aku tahu rumah ini tidak kosong. Dari arah kamarku, aku dapat mendengar dengan jelas ada suara wanita yang aku kenal. Istriku! Dan suara itu, suara yang sudah lama tak pernah aku dengar darinya. Karena kami sudah lama tidak pernah berbuat apapun di ruangan itu yang mampu membuat istriku berisik begitu.
Semakin aku mendekat, suara itu semakin jelas terdengar. Semakin terdengar pula degup jantungku. Darah sudah meletup sampai ubun-ubun. Aku mengintip ke lubang kunci. Benar saja!
“BANGSAT !!!!” aku menendang pintu hingga terbuka lebar. Dan segalanya Nampak menjadi lebih jelas.
Sontak istriku kaget. Wajahnya panik.
“Bagus kamu, ya!” kataku sangat murka.
 Aku mendekat ke ranjang. Aku mengamuk. Dan aku jambak rambut istriku yang sudah setengah telanjang. Dia menjerit kesakitan. Istriku berusaha melepaskan tanganku dari cengkeraman tangan perkasaku. Tapi percuma, sekeras apapun usahanya, dia tidak mungkin mampu melepaskan diri dari jerat tanganku.
“Mas, dengarkan dulu aku! Aku mohon..” ujar istriku seraya terus meronta.
Tapi aku kalap. Aku sudah tak mau mendengar apa-apa lagi darinya. Aku tak menyangka istriku berbuat demikian saat aku tak ada. Jangan-jangan selama aku bekerja, dia sudah sering melakukannya! Aku tambah bernafsu saja. Tak kupedulikan istriku yang terus menjerit meminta ampun. Jijik aku dibuatnya!
Darah di ubun-ubunku makin meluap saat teringat bahwa mertuaku sedari dahulu selalu merendahkan aku. Dan sekarang aku tahu, selama ini Dedeh baik terhadapku hanya untuk menutupi perbuatan selingkuhnya di belakangku, agar aku tak menaruh curiga. Sekarang rasakan pembalasanku. Biar kuinjak-injak harga diri wanita di depanku ini. Agar dia dan orang tuanya  kelak akan merasakan sakit hati yang sudah lama aku rasakan!
Dedeh terus menjerit. Aku hantam-hantamkan kepala bulatnya ke lantai. Dan aku merasa sangat puas! Sekali, dua kali, lalu lantai itu berubah warna menjadi merah. “Bisa apa kamu sekarang, heh?” ucapku penuh napsu.
Dengan terbata-bata Dedeh masih bisa bicara rupanya. “Mas, asal ttau sa-ja … a-ku melakukan ini..”, dia seperti orang mau sekarat. Dan aku makin jijik dibuatnya. Dia melanjutkan, “un-tuk membaayar.. utang kamu…yang sa..sangat be..sar ke orang-orang i-itu!” nafasnya sangat terengah.
Seketika aku menjadi lemas. Benarkah yang diucapkannya? Segera aku melirik kea rah ranjang. Pria tinggi besar yang tadi bergumul dengan istriku itu berusaha kabur setelah aku meninju tepat di wajahnya, sebelum aku menggeret istriku ke lantai. Pria itu berhasil kabur dari kamarku dengan tergopoh-gopoh. Bukan tidak ingin mengejar, tapi tiba-tiba saja lututku terasa lemas sekali.
Aku berusaha mengingatnya. Ya. Pria itu pernah aku lihat, tapi di mana? Ya! Pria itu, pria yang aku lihat beberapa hari yang lalu di rumahku, saat aku berniat pulang ke rumah dari kontrakan Anto. Pria itu… debt collector yang memaki-maki istriku waktu itu! Jadi, istriku memang melakukan itu demi menebus utang-utangku?
Terlalu lama aku berpikir. Dan saat aku melihat ke lantai, Dedeh sudah terbujur kaku. Mendadak dunia seakan runtuh. Keringat dingin membanjiri kemeja yang sudah seminggu tak diganti ini. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Sebuah suara parau di belakangku mengagetkan aku. “Dadang!!”
Aku tercengang ketika melihat beberapa tetanggaku sudah berdiri di dekat pintu kamarku. Mereka memandang dengan sorot tak percaya. Aku melilhat Pak RT melotot dan mulutnya menganga. Mungkin mereka kemari dikagetkan oleh teriakan-teriakan Dedeh tadi. Tenggorokanku tercekat. Aku tak bisa menjelaskan apa-apa.
Sejurus kemudian aku berlari ke arah meja computer. Dan kuambil botol bekas Mansion di di dekatnya, dan kubenturkan bagian bawahnya ke meja. Sontak para tetangga yang ada di sana kaget.
“Jangan mendekat!!” teriakku seraya menodongkan leher botol yang sudah meruncing.
Pak RT mencegah warganya mendekatiku. “Dang, istighfar!” ucapnya.
Aku tak menghiraukannya. Seketika hitam menyelimuti. Perutku terasa hangat dan basah. Aku merasakan sesuatu yang sangat asing menjalari tubuhku. Aku ambruk. Kulihat lantai berubah warna seperti saat aku menghantam-hantamkan kepala Dedeh.
Segala menebal
Segalamengental
Segala tak kukenal
Selamat tinggal *)

*) , Chairil Anwar


Tidak ada komentar:

Posting Komentar