TERLILIT
..
Aku pernah merasa disukai. Tapi sering
pula aku merasa dibenci dan dihinakan. Aku pernah merasa berguna. Tapi tak
jarang aku juga pernah merasa sangat bebal dan menyusahkan orang. Sekarang aku
sedang merasa dibenci. Sangat dibenci!
Perasaan tidak enak ini muncul sudah empat
hari belakangan. Saat aku pulang kantor, istriku menyambut dengan wajah masam.
Aku pulang bukannya disuguhi minuman hangat seperti biasanya, apalagi
disediakan air panas untuk mandi. Aku mencoba memasang wajah biasa. Tapi istriku
langsung menyemprotku dengan serapahnya melihat aku yang seakan tak bersalah.
“Apa ini, Mas?!” semprot istriku.
“Tunggulah sebentar. Suami pulang malah
main bentak saja..” ujarku pura-pura tak tahu.
Lalu istriku menyodorkan surat tagihan
utang dari bank ke atas meja. “Utang apa ini, Mas? Kok aku tidak pernah tahu
soal ini? Kamu pakai apa uang sebanyak itu??”
Aku terhempas di kursi yang sudah
doyong. Mendadak keningku terasa pening. Aku bingung harus menjelaskan apa.
Istriku masih berdiri di seberang meja di hadapanku, dengan napas memburu dan
siap meledak. Tapi sebelum itu terjadi, aku segera keluar dan membanting pintu.
Ya, aku minggat dari rumah. Untuk sementara
aku menginap di kontrakan teman kerjaku, Anto namanya. Dia masih bujangan,
sehingga tinggal sendirian di sana. Beruntung aku diijinkannya menginap. Dan
sudah empat hari pula aku tidak masuk kantor. Aku sudah tidak punya muka untuk
datang ke sana. Karena aku tahu, pihak bank juga pasti akan melayangkan
tagihannya ke alamat kantor. Tentu saja aku meminta Anto untuk tutup mulut
mengenai keberadaanku pada siapapun.
Bukannya aku tidak merasaa malu untuk
berlama-lama menginap di sini. Kemarin aku sempat berniat pulang ke rumah. Tapi
tak jauh dari rumahku, aku melihat dua orang
yang sudah pasti mereka itu debt collector, sedang memaki-maki istriku.
Yang satu orangnya tinggi besar dan putih. Dan rekannya agak tambun dengan
warna kulit lebih gelap. Sementara istriku bersikeras berkata bahwa dia tidak
tahu apa-apa. Kasihan sekali istriku. Ingin sekali aku meminta maaf dan
menjelaskan yang sebenarnya terjadi. Tapi aku tahu, jika aku pulang saat itu,
maka habislah aku! Maka setelah itu aku kembali lagi ke kontrakan Anto. Dan dia
tidak berkeberatan, entah jujur atau tidak.
Aku bingung harus bagaimana. Aku memang
telah meminjam uang lima belas juta rupiah dari bank empat bulan yang lalu.
Tapi sungguh, aku mempergunakannya untuk usaha jaket kulit bersama temanku,
Imas. Dan aku memang sudah terlibat dalam usahanya. Sebenarnya dia adalah mantan
pacarku waktu SMA dulu. Dan sialnya, dia membawa kabur seluruh uang modal
beserta keuntungannya! Padahal beberapa minggu yang lalu, pesanan jaket sudah
banyak kami terima. Dan ada seorang ibu-ibu yang memesannya secara langsung
padaku,katanya untuk hadiah ulang tahun suaminya. Awalnya aku hanya kasihan
ketika Imas bercerita bahwa dia ditinggal suaminya, dan sedang ingin merintis
usaha jaket kulit yang dibilangnya lumayan, karena sekarang ia tak memiliki
penghasilan apapun untuk menyambung hidup lagi. Gaya bicaranya sangat meyakinkan,
sial!
Sebenarnya aku bukan hanya kasihan pada Imas.
Tapi aku memang masih memendam rasa buatnya. Asal tahu saja, istriku yang
sekarang aku nikahi itu adalah pilihan orang tuaku. Karena orang tuaku terlilit
utang pada keluarga istriku. Dan oleh karena orangtuaku tidak mampu
melunasinya, pihak pemilik piutang membuat penawaran dengan orang tuaku. Mereka
ingin aku menikahi anak sulungnya. Dan sebagai anak yang ingin meringankan
beban orang tua, aku dengan berat hati setuju saja. Maka perawan tua bernama
Dedeh itu akhirnya menjadi istriku kini.
Sekarang entah aku harus bagaimana. Jika
aku jujur pada istriku, ia tentu akan semakin murka. Gara-gara aku ingin
membantu mantan pacar, sampai dikejar-kejar debt collector. Aku memang suami
tidak tahu diri. Padahal biaya hidup keluarga saja, sebagian besar ditanggung
istriku yang bekerga sebagai guru. Gajiku tidak lebih besar daripada dia. Dan
dia tidak pernah merendahkan aku seperti yang dilakukan orangtuanya padaku.
Kurang baik apa istriku?! Ah, sungguh aku menyesal telah begini.
Di tengah lamunanku, sebuah sms
mengagetkanku. Begini isinya;
“Pak,
gmn ini jket udh sblan lbih blm jadi2 aja! Bpa mau nipu?? Balikin diut sy!!”
Oh Tuhan…. Sudah seminggu ini orang itu
terus menagih. Dia tidak lain adalah ibu-ibu yang memesan jaket untuk kado
ulang tahun suaminya. Aku sudah
membohonginya dengan berbagai alasan. Entah harus ditaruh di mana mukaku ini.
Sebenarnya aku menjanjikan jaket akan jadi seminggu setelah pembayaran.
Seminggu, dua minggu, dan sekarang sudah lewat dari sebulan, jaket seharga
delapan ratus ribu itu belum sampai ke tuannya. Tentu saja karena memang belum
dibuatkan, gara-gara uangnya sudah raib bersama si Imas sialan itu! Yang lebih
membuatku panik, ibu-ibu itu membawa keponakan laki-lakinya saat menagih
utangku. Aku pernah menemui mereka, dan keponakannya yang masih muda itu
mengobarkan mata yang menyala-nyala tiap aku berkelit untuk mengulur
waktu.
Tak lama, sebuah panggilan masuk
berdering di handphoneku. Itu nomer keponakan ibu-ibu itu! Aku tidak berani
untuk mengangkatnya. Aku sudah kehabisan alasan! Tentu saja telepon itu berdering
tak hanya sekali. Anak muda itu juga mengirim sms-sms umpatan dan makian yang
dialamatkan padaku. Aku sama sekali tidak tersinggung dengan kata-katanya yang
kasar, karena aku tidak memungkiri bahwa aku pantas untuk menerimanya.
Seminggu berlalu. Dan selama itu aku
dihantui perasaan tidak tenang. Telepon dan sms makian dari anak muda keponakan
ibu-ibu itu memenuhi handphoneku. Bayangan-bayangan mengenai istri dan anak
perempuanku di rumah juga berkelebat tiap waktu. Dua orang debt collector
tinggi besar itu selalu datang ke mimpiku, menyeretku ke pengadilan dengan perlakuan
yang keji. Aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi dalam situasi seperti ini.
Malam itu juga aku pulang ke rumah. Aku
tidak peduli jika nanti di rumah istriku memaki, atau ada debt collector yang
menunggu di rumah dan kemudian memukuliku sampai mati. Setidaknya aku sempat meminta maaf pada
istriku sebelum kematian menjemput.
Rumah sepi. Pagar rumah agak terbuka.
Aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Tak ada sahutan. Aku membuka
sendiri pintu rumah, ternyata tidak dikunci. Rumah sudah gelap, padahal baru
jam sembilan. Tapi aku tahu rumah ini tidak kosong. Dari arah kamarku, aku
dapat mendengar dengan jelas ada suara wanita yang aku kenal. Istriku! Dan
suara itu, suara yang sudah lama tak pernah aku dengar darinya. Karena kami
sudah lama tidak pernah berbuat apapun di ruangan itu yang mampu membuat
istriku berisik begitu.
Semakin aku mendekat, suara itu semakin
jelas terdengar. Semakin terdengar pula degup jantungku. Darah sudah meletup
sampai ubun-ubun. Aku mengintip ke lubang kunci. Benar saja!
“BANGSAT !!!!” aku menendang pintu
hingga terbuka lebar. Dan segalanya Nampak menjadi lebih jelas.
Sontak istriku kaget. Wajahnya panik.
“Bagus kamu, ya!” kataku sangat murka.
Aku mendekat ke ranjang. Aku mengamuk. Dan aku
jambak rambut istriku yang sudah setengah telanjang. Dia menjerit kesakitan.
Istriku berusaha melepaskan tanganku dari cengkeraman tangan perkasaku. Tapi
percuma, sekeras apapun usahanya, dia tidak mungkin mampu melepaskan diri dari
jerat tanganku.
“Mas, dengarkan dulu aku! Aku mohon..”
ujar istriku seraya terus meronta.
Tapi aku kalap. Aku sudah tak mau
mendengar apa-apa lagi darinya. Aku tak menyangka istriku berbuat demikian saat
aku tak ada. Jangan-jangan selama aku bekerja, dia sudah sering melakukannya!
Aku tambah bernafsu saja. Tak kupedulikan istriku yang terus menjerit meminta
ampun. Jijik aku dibuatnya!
Darah di ubun-ubunku makin meluap saat
teringat bahwa mertuaku sedari dahulu selalu merendahkan aku. Dan sekarang aku
tahu, selama ini Dedeh baik terhadapku hanya untuk menutupi perbuatan
selingkuhnya di belakangku, agar aku tak menaruh curiga. Sekarang rasakan pembalasanku. Biar kuinjak-injak harga diri wanita di
depanku ini. Agar dia dan orang tuanya
kelak akan merasakan sakit hati yang sudah lama aku rasakan!
Dedeh terus menjerit. Aku
hantam-hantamkan kepala bulatnya ke lantai. Dan aku merasa sangat puas! Sekali,
dua kali, lalu lantai itu berubah warna menjadi merah. “Bisa apa kamu sekarang,
heh?” ucapku penuh napsu.
Dengan terbata-bata Dedeh masih bisa
bicara rupanya. “Mas, asal ttau sa-ja … a-ku melakukan ini..”, dia seperti
orang mau sekarat. Dan aku makin jijik dibuatnya. Dia melanjutkan, “un-tuk
membaayar.. utang kamu…yang sa..sangat be..sar ke orang-orang i-itu!” nafasnya
sangat terengah.
Seketika aku menjadi lemas. Benarkah
yang diucapkannya? Segera aku melirik kea rah ranjang. Pria tinggi besar yang
tadi bergumul dengan istriku itu berusaha kabur setelah aku meninju tepat di
wajahnya, sebelum aku menggeret istriku ke lantai. Pria itu berhasil kabur dari
kamarku dengan tergopoh-gopoh. Bukan tidak ingin mengejar, tapi tiba-tiba saja
lututku terasa lemas sekali.
Aku berusaha mengingatnya. Ya. Pria itu
pernah aku lihat, tapi di mana? Ya! Pria itu, pria yang aku lihat beberapa hari
yang lalu di rumahku, saat aku berniat pulang ke rumah dari kontrakan Anto.
Pria itu… debt collector yang memaki-maki istriku waktu itu! Jadi, istriku
memang melakukan itu demi menebus utang-utangku?
Terlalu lama aku berpikir. Dan saat aku
melihat ke lantai, Dedeh sudah terbujur kaku. Mendadak dunia seakan runtuh.
Keringat dingin membanjiri kemeja yang sudah seminggu tak diganti ini. Apa yang
harus aku lakukan sekarang?
Sebuah suara parau di belakangku
mengagetkan aku. “Dadang!!”
Aku tercengang ketika melihat beberapa
tetanggaku sudah berdiri di dekat pintu kamarku. Mereka memandang dengan sorot
tak percaya. Aku melilhat Pak RT melotot dan mulutnya menganga. Mungkin mereka
kemari dikagetkan oleh teriakan-teriakan Dedeh tadi. Tenggorokanku tercekat.
Aku tak bisa menjelaskan apa-apa.
Sejurus kemudian aku berlari ke arah
meja computer. Dan kuambil botol bekas Mansion di di dekatnya, dan kubenturkan
bagian bawahnya ke meja. Sontak para tetangga yang ada di sana kaget.
“Jangan mendekat!!” teriakku seraya
menodongkan leher botol yang sudah meruncing.
Pak RT mencegah warganya mendekatiku.
“Dang, istighfar!” ucapnya.
Aku tak menghiraukannya. Seketika hitam menyelimuti.
Perutku terasa hangat dan basah. Aku merasakan sesuatu yang sangat asing
menjalari tubuhku. Aku ambruk. Kulihat lantai berubah warna seperti saat aku
menghantam-hantamkan kepala Dedeh.
Segala menebal
Segalamengental
Segala tak kukenal
Selamat tinggal *)
*) , Chairil Anwar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar