4/14/2015

Fendira



Gelombang panas musim kemarau membawa kenangan itu secara tiba-tiba. Datang begitu saja. Dira bersumpah tidak sedang teringat dengan pria itu. Lagipula sebentar lagi ia akan menikah. Bersama pria yang adalah pilihannya. Tapi sekarang, saat daun-daun kecoklatan meranggas dengan ganas di seberang café tempatnya duduk beterbangan dengan dramatisnya, bayangan itu melintas kembali.
***
Waktu itu jam empat sore, tepat setelah bel pulang berbunyi. Dira menunggu di lobi. Seperti biasa, Alvin hampir selalu pulang telat. Pria itu yang sanggup memacu detak jantungnya lebih kencang. Menyibak semburat kemerahan di  wajahnya yang berpoleskan make-up nuansa tembaga. Awalnya tak banyak yang tahu itu. Dira hanayalah gadis dingin yang hanya bisa akrab dengan beberapa teman laki-laki saja. Tapi Alvin membuatnya bisa memancarkan hangat. Atau mungkin karena akhirnya ada manusia yang lebih dingin dibanding dirinya; Alvin.
“Sori lama.”
Sosok pria tinggi-kurus berdiri di hadapannya. Mengalihkan matanya yang sedari tadi tertuju pada layar handphone-nya. “Enggak apa.”
Mereka berdua keluar menuju parkiran.
“Aku gak bawa helm dua. Tadi buru-buru. Ke kosan dulu aja, ya”, kata Alvin tanpa mengalihkan pandangannya dari kerikil yang berserakan.
“Iya.”, jawab Dira. Hatinya berdesir lembut.
Kosan Alvin tak begitu jauh dari kantor tempat mereka bekerja. Hanya sepuluh menit ditempuh dengan motor. Selama sepuluh menit itu pula mereka diam.
“Nyampe. Mau nunggu atau ikut ke dalam?”
Dira menunduk, berpura-pura memainkan handphonenya yang sebenarnya sudah lama habis baterai. “Di sini aja.”
Tanpa bertanya dua kali, Alvin langsung melenggang meninggalkan Dira di luar gerbang kosan. Tak lama ia kembali dengan sebuah helm ungu dan sebotol air mineral.
“Makasih,” kata Dira.
Mereka berlalu meninggalkan kosan Alvin. Lima menit berikutnya masih belum ada percakapan. Mereka hanya kikuk. Ini baru ke dua kalinya mereka pergi bersama. Yang pertama, ketika bertemu di swalayan saat Dira belanja bulanan. Alvin lalu mengantarnya sampai depan gerbang kosan. Dan yang ke dua…
“Kamu lagi pengen ke mana?”
Jantung Dira berdegup luar biasa cepat. Secepat jawaban yang mengalir dari mulut mungilnya, “cewek gak suka ditanya”. Lalu ia merasa bodoh dan ingin terjun andai saja sekelilingnya adalah kasur busa, bukan aspal.
Alvin mengernyitkan alisnya, tapi tidak kelihatan karena terhalang helm. “Kata siapa?”. Ada nada menahan tawa di sana.
“Milea. Eh, itu aku baca Dilan. Eh, ya gitu deh.” Dira refleks menggaruk helm yang ia kenakan untuk menutupi salah tingkahnya. Salah besar jika ia menganggap Alvin tidak melihat. Padahal sudah, dari spion.
Alvin tak bisa menahan tawanya lebih lama lagi.
“Apa yang lucu?” Dira merengut
“Kamu.”
Tadinya Dira ingin bilang, ‘memang’, tapi tidak jadi karena takut terdengar norak. Ia diam saja.
“Kalo gitu kamu temenin aku makan.”
“Iya.”
Mereka tiba di restoran cepat saji yang menjadikan pizza sebagai menu utamanya.
Alvin memesan satu pizza medium, satu porsi hot chicken wings, dan dua gelas minuman buah bersoda. Dira menunggu di kursi. Mereka memilih duduk di kursi sebelah luar. Menikmati sore yang hangat dengan daun-daun yang sudah rontok dan terbias cahaya senja menjadi keemasan.
Tangan Dira berkeringat dingin. Ia tahu apa yang ia rasakan. Meski belum yakin. Karena biasanya tidak secepat ini. Bahkan sebelumnya Alvin tak pernah ada di pikirannya. Dia hanya pria dingin yang tak memiliki banyak teman, tak begitu pandai bergaul, dan bukan orang cukup berada. Entah mengapa merasa aneh dengan pernyataan terakhir di pikirannya.
Ia sendiri merasa bukan wanita yang spesial. Ah, mungkin pria biasa memang untuk wanita biasa. Seperti dirinya dengan Alvin.
Alvin datang dengan tray penuh. Saat tahu apa yang dibawanya, Dira agak menahan napasnya, seperti ada yang tercekat di kerongkongan.
“Yuk, dimakan.” Alvin tersenyum, mungkin pada makanan. Karena ia tak menatap Dira.
“Umm.. aku gak minum soda, dan gak kuat pedes juga. Hehe..”
“Iya udah aku pesenin yang lain ya,” kata Alvin cepat. Nada suara dan sorot matanya biasa saja. Ah, Alvin memang laki-laki biasa saja.
“Jangan, Vin. Aku pizzanya aja cukup kok. Lagian aku gak pernah bisa makan banyak sekaligus. Minumnya, nih..” ujar Dira polos sembari mengeluarkan air mineral pemberian Alvin tadi dari tasnya. Mungkin ia merasa bersalah karena membuat Alvin tak mau bertanya pada wanita. Takut-takut kalau memang wanita tidak suka ditanya.
“Yakin?”
Dira mengangguk mantap.
“Kamu maag, ya?” Tanya Alvin seraya menyeruput sodanya.
“Dari kelas dua SMP.”
Ada noda saos di pinggir mulut Dira. Alvin hendak memberi tahunya. Tapi tidak jadi, dibiarkan saja. Karena jadi kelihatan lucu.
Dira hanya sanggup menghabiskan dua slice pizza. Oranye di langit hampir sepenuhnya berganti kelabu. Padahal rasanya baru dua menit.
“Masih betah?” kali ini Alvin berbicara sambil menatap Dira. Tepat di kedua bola matanya.
Caranya bertanya, bersikap, tersenyum, menatap, adalah yang pertama kali Dira lihat dan rasakan dalam hidupnya. Mungkin terdengar dramatis. Tapi ke-serbabiasaan Alvin menjadi sesuatu yang luar biasa baginya. Dira tak yakin bahwa Alvin sedang melakukan pendekatan dengannya. Ya, tentu saja terlalu dini untuk menyimpulkan. Ini baru ‘jalan’ yang ke dua kalinya. Sebelum Alvin mengantarnya pulang dari swalayan, SMS dan chatting lainnya hanya tentang pekerjaan dan basa-basi lainnya. Setelah itu pun masih wajar dan tidak terlihat seperti anak muda sedang pendekatan. Ah, oke umur Dira 22 tahun dan terpaut lebih muda dua tahun darinya. Mungkin pria dua puluh empat tahun tidak PDKT seperti cara anak SMA.
Sedari tadi Dira berpikir. Mungkin ia berpikir terlalu jauh. Mungkin GR. Mungkin Alvin hanya butuh teman keluar. Itu saja, tidak ada perasaan sedikitpun. Perasaan apapun. Mungkin besok-lusa ia bisa keluar dengan siapapun lagi selain darinya.
Diam-diam Dira menyadari, dirinya kesepian. Dua tahun tanpa kekasih. Dua tahun memupuk sakit dalam hatinya. Dua tahun yang menjadikannya kehilangan keceriaan. Dua tahun yang membuatnya tertutup dan terlalu banyak memilih. Dan di sini ia sadar, pilihan tak selamaya datang. Terkadang kita yang harus mencarinya sendiri.
“Fendira?”
Pandangannya terhalang kaca-kaca bening yang tipis. Tapi segera dikuasainya. “Ya?”
“Kamu ngelamun.”
“Maaf.”
“Mau pulang sekarang?” Alvin ingin memastikan Dira baik-baik saja. Tapi entah mengapa ia tak bertanya apapun. Ada sesuatu yang seperti menahannya. Belum saatnya.
Dira berdiri dan mengambil tasnya yang entah sejak kapan sudah jatuh ke kaki meja. “Yuk.”
Alvin mengekor dari belakang. Membiarkan Dira berjalan di depannya. Ia tahu Dira tadi hampir menangis. Padahal seorang Dira bukan perempuan melankolis, ia juga tahu itu. Atau jangan-jangan, ia memang tak tahu apa-apa tentang Dira.
Dira menemukan noda saos di pinggir mulutnya ketika mengangkat helmnya dari spion. Matanya melotot dan dengan cepat membersihkannya dengan ujung lengan jaketnya.
“Kenapa dibersihin? Itu lucu.” Alvin tersenyum lebar, hampir mirip orang ingin tertawa. Memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi dengan satu gingsul di taringnya. Manis.
“Ih kalo tau kenapa gak bilaang?!” Dira kesal dan refleks mencubit lengan Alvin yang dengan  gesit bisa menghindar.
“Kenapa? Kamu gak mau kelihatan jelek depan aku, ya?” kata Alvin santai. Pertanyaan itu membuat Dira malu.
“Enggak. Hih..” bibirnya mengerucut. Cepat-cepat mengenakan helm dan melipat kedua tangannya di dada.
“Ayo naik.”
Dira melihat itu adalah senyum paling indah yang pernah Alvin berikan. Diam-diam ia berterima kasih pada Tuhan karena sekarang hari sudah mulai gelap. Jika masih terang, Alvin akan melihat pipinya kini bersemu merah. Tapi yang tak terlihat belum tentu tak bisa dirasakan…

Setelah lima bulan menjalin kedekatan, Dira merasa semakin nyaman. Ia yakin Alvin juga begitu. Tapi ia merasa bahwa ini hanya akan menjadi perjalanan tanpa akhir. Setidaknya, bukan akhir yang diimpikan Dira. Ia tahu kebanyakan laki-laki seperti apa. Bukan tidak mungkin akhir perjalanan mereka berujung hanya sampai tempat tidur dengan cuma-cuma. Tanpa ikatan. Mereka cukup dewasa untuk mengerti hal seperti itu. Dan Dira tidak mau.
Tidak sulit untuk berkata, “perasaan kamu ke aku gimana?”, atau “kamu cinta aku?”, atau “kamu serius gak sih sama aku?”, atau pertanyaan lain yang serupa. Tapi pada Alvin, semua menjadi sulit. Atau mungkin Dira yang tak cukup pandai memahami Alvin, mungkin juga tak cukup sabar, mungkin juga terlalu takut. Semuanya menjadi begitu memungkinkan.
Hingga Felix datang dan perlahan masuk di kehidupan Dira. Alvin hanya senyum dan berkata ikut bahagia. Ada sakit di hati Dira. Mungkin ia merasa telah sadar, bagaimana perasaan Alvin terhadapnya selama ini. Mungkin juga ia kesal, mengapa Alvin mengalah tanpa syarat pada Felix. Dira benci harus bertanya-tanya dan semua jawaban yang ia dapat hanya berupa kemungkinan. Bukan kepastian.
Alvin benar-benar menjauh setelah itu. Hanya sekali mereka bicara lagi; hari terakhir Alvin di kantor. Ia akan pindah. Bahkan ia tak pernah ceritakan itu pada Dira sebelumnya. Entah. Tapi saat itu hati Dira benar-benar remuk. Selama ini ia merasa bisa bertahan karena masih bisa melihatnya meski jauh. Ia sadar hatinya untuk siapa. Atau mungkin juga tidak.
“Kenapa?” katanya waktu itu.
“Apanya?”
Ya Tuhan, inilah Alvin yang mungkin orang lain kenal. Hari itu ia begitu dingin pada Dira. Sorot mata yang dulu ia anggap biasa, jauh lebih hangat daripada yang sedang ia lihat kini.
“Pindah?” suaranya bergetar. Dengan jelas.
“Hanya ingin pindah.” Alvin tersenyum pada Dira seperti ia tersenyum kepada orang-orang lain.
Senyum tergetir Alvin yang pernah Dira terima. Sampai-sampai ia lebih memilih lantai marmer abu tua yang mereka pijak sebagai pusat perhatiannya. Ia mengangguk-angguk. “Dua bulan lagi aku tunangan sama Felix. Sempetin dateng, ya?”
“Menurutmu?” Alvin menatap tajam. Tapi Dira tidak melihatnya. Tidak berani.
Pandangannya pada marmer abu membuyar. Kaca tipis bening menjelma air mata dan isakan yang ia coba tahan akhirnya mengalir begitu saja. Alvin meninggalkannya tanpa ingin tahu apa ia baik-baik saja.
Dan Alvin tidak pernah datang. Biarlah. Dira merasa ia berhak bahagia. Ia hanya bisa berdoa semoga Alvin juga. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa Felix juga pria yang baik. Dia akan membahagiakannya.

“Maaf sayang. Aku ada klien dulu tadi. Katanya mau ada kejutan? Kejutan apa, Sayang?” Felix datang dengan senyumnya yang selalu paling manis. Ia membawa sebuket bunga mawar pink kesukaan Dira, plus kecupan hangat di kedua pipinya.
Felix adalah laki-laki romantis yang hampir tak pernah mengecewakan. Dira mungkin satu-satunya yang beruntung, menjadi pilihannya di antara banyak wanita yang menggilainya. Tampan, kaya raya, dan tahu cara memanjakan wanita. Usia mereka terpaut empat tahun. Felix sudah mapan. Dan akhir tahun ini mereka akan menikah.
Dira tersenyum simpul. Meletakkan bunganya di samping dua gelas kosong yang tadinya terisi penuh minuman buah bersoda.
“Sejak kapan kamu minum soda?” Tanya Felix terheran. Dua tahun bersama, ia tahu betul Dira tak pernah memesan soda.
“Fe..”
“Ya, sayang?” Felix meraih jemari Dira. Mengecup jari manisnya yang berhias cincin pertunangan mereka.
Dira menghela napas panjang. Menarik lembut jemarinya dari Felix. “Kayaknya aku gak bisa terusin lagi hubungan kita. Aku minta maaf..”
Tak usah ditanya bagaimana perasaan Felix. Seluruh tubuhnya melemas. “Kenapa?” ia tak yakin suaranya terdengar.
“Maaf..” hanya itu. Air mata ikut berempati untuknya. Untuk keadaan ini. Dira ingin berkata; “Kamu lebih dari cukup,Fe. Kamu gak pernah ngecewain aku. Kamu selalu berusaha bahagiain aku. Tapi sekarang aku sadar, selama ini hati aku buat siapa. Ada rasa yang belum tuntas. Maafin aku yang baru sadar sekarang. Maaf..” tapi mulutnya terkunci rapat.
Felix hanya tertunduk lemah. Entah mengapa semua yang ia lakukan selama ini terasa sia-sia. Segala telah ia lakukan untuk membuat Dira bahagia. Hanya satu yang belum; melihat Dira ceria dan menjadi dirinya yang utuh kembali. Ia sudah lama mengenal Dira. Ia tahu Dira seperti apa, sampai Rico, sahabatnya membuat Dira menjadi asing bagi dunia.
Selama dua tahun ini ia terus mencoba mengembalikan Dira yang dulu. Yang tak pernah kehabisan rasa humornya, yang pandai bergaul, yang terkadang konyol dan manja seperti anak taman kanak-kanak. Felix tahu Dira sangat menyukai gula-gula lebih dari apapun di dunia ini. Tapi sekarang bahkan ia menghindarinya. Dira menjadi benar-benar asing.
Felix sadar, Dira tidak berpura-pura bahagia. Ia tahu, Dira pun sama seperti dirinya; mencoba. Tapi dua tahun ini juga menjadi sia-sia bagi Dira. Memang bukan dengan Felix ia bahagia. Felix tidak salah. Dira juga tidak. Jika saja mereka mau terbuka.
“Terima kasih untuk mau mencoba,” kata Felix akhirnya. Ia tak kehilangan seyum manisnya.
Dira melepas cincinnya. Menaruhnya pada genggaman tangan Felix. Lalu memeluknya, mungkin yang terakhir. Ia benci harus terisak seperti ini. Tapi apa daya. “Terima kasih..” bisiknya lirih.
Felix mengacak-acak pelan rambut Dira. Mengangguk tersenyum. Matanya yang telah sembab tak kehilangan binarnya. Kali ini yang ia cari akhirnya ditemukan; senyum paling tulus dari seorang Fendira. Dira yang dulu. Lalu merelakannya pergi menjemput bahagianya sendiri.


EPILOG
Sekarang aku sadar, kepada siapa sebenarnya hatiku tertuju. Mungkin keputusanku ini bodoh, tapi tak sebodoh ketika aku melepaskanmu. Aku tak peduli jika keadaan sudah jauh berubah saat aku menemuimu –atau, menemukanmu. Yang aku ingin hanya menuntaskan perasaan ini. Mendapat jawaban pasti dari semua pertanyaan-pertanyaan yang tak sempat ditanyakan. .
Untuk itu semua aku mencarimu,
Fendira

Tidak ada komentar:

Posting Komentar