Pertama dengar bahwa cerita ini akan diangkat ke layar
lebar, tentu saya senang sekali, karena saya sudah memiliki bukunya sejak lama.
Dan pada 14 April 2015 lalu saya berkesempatan untuk menyaksikan filmnya
bersama beberapa kawan, meski tanpa rencana.
Pada awalnya saya kira, film ini akan seperti #RectoVerso;
satu film yang memuat banyak cerita seperti pada buku aslinya. Tapi ternyata
#FilosofiKopi ini hanya mengangkat satu dari kumpulan cerita karya Dee dalam
bukunya yang berjudul serupa.
Kecewa, sih. Sejak jauh hari saya sudah membayangkan, akan
seperti apa cerita-cerita dalam buku itu disajikan. Saya sangat menyukai cerita
yang berjudul “Sikat Gigi” dan “Mencari Herman”. Bagaimana jadinya jika
cerita-cerita itu dituangkan dalam bentuk visualisasinya? Tapi memang buku asli
#FilosofiKopi ini tak hanya berisi cerpen, ada juga beberapa prosa puisi yang
(mungkin) akan sulit jika harus juga dibuat cerita film.
Saya sudah membaca cerita #FilosofiKopi ini dua kali. Dan
selama dua kali itu pula yang terbayang dalam kepala saya selalu sama. Pokoknya
yang menjadi tokoh Ben adalah Lukman Sardi, dan yang menjadi Jody adalah
Mathias Muchus. Mengapa Lukman? Mungkin karena beliau lumayan sering terlibat
membintangi film maupun video clip yang diangkat dari tulisan-tulisan Dee.
Hahaha. Ternyata yang beruntung mendapatkan peran utama itu adalah Chicco
Jerikho dan Rio Dewanto (Kenapa saya gak ngebayangin Rio Dewanto pas baca
cerpen? Sekseeh abis dia :*).
Di awal-awal cerita, alis saya tak berhenti bertaut.
Merutuki diri dan bergelut dengan pikiran sendiri; “Loh kok begini? Ini kok
ngarang? Ih, yang ini siapa pula?” dan pertanyaan keheranan lainnya.
Mulai dari kafe yang langsung bernama “Filosofi Kopi”,
padahal di bukunya diceritakan bahwa pada mulanya namanya adalah “Ben &
Jody”. Menurut saya akan lebih seru jika pada bagian ini dibuat sama dengan
buku. Juga cara Ben yang pada cerita aslinya banyak berinteraksi dengan para
pelanggannya secara langsung, tidak menonjol sama sekali di film ini.
Ketika suatu novel diangkat ke layar lebar, kebanyakan
pembaca berharap mereka tidak akan menjumpai terlalu banyak improvisasi, seperti alur apalagi ending cerita yang diubah. Namun saya rasa akan maklum jika yang
diangkat adalah sebuah cerpen. Durasi film yang relatif lama tidak akan efektif
untuk menjabarkan naskah cerita yang pendek. Oleh sebab itu ditambahkan
“bumbu-bumbu” lain untuk membuat film menjadi lebih berisi.
Ada banyak pemeran yang “menjadi ada” dalam cerita di film.
Ada tokoh El (Julie Estelle) misalnya. Ia seorang food blogger yang melakukan banyak riset unuk menyelesaikan bukunya
tentag kopi. Justru ialah yang memperkenalkan Kopi Tiwus pada Ben dan Jody. Ada
pula flashback masa kecil Ben. Dan yang
mengagetkan saya, ada seorang Baim Wong yang berperan menjadi seorang eksmud yang berkeliling dunia demi
mencari kopi terbaik. Kenapa kaget? Karena “Baim Wong-dan-Kopi” yang melekat
dalam kepala saya adalah “Baim Wong dan Luwak White Coffee” seperti di iklan.
Hahaha
Pada bukunya, karakter Ben pada Filosofi Kopi sangatlah
idealis, sementara Jody realistis. Chicco bisa menjiwai perannya dengan cukup
baik sebagai coffee maker idealis
yang di sisi lain juga slengean. Pada suatu dialog, ia mengingatkan saya pada
seorang teman bernama Rian Oktrivianto Ismail, tepatnya ketika dia mengumpat,
“Uwanjjjii*g”. Haha mirip banget :D.
Sikap realistis Jody terhadap kefenya menjadi kian masuk
akal karena ternyata (di cerita film ini) mendiang ayahnya terlilit utang yang
tak sedikit jumlahnya. Jelas ia lebih memikirkan bagaimana caranya mendapat
untung secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya.
Ada beberapa scene yang
mengganggu saya. Ada cerita di mana Ben Kecil sedang berada di rumahnya di
kampung, lalu sang Ibu berpamitan pergi mengaji. Tak lama, Ibunya tewas (entah
kenapa, saya tak paham. Mungkin terbunuh. Oleh siapa?). Lalu sang Ayah yang
berjasa menurunkan keahlian membuat kopi terenak itu lama kelamaan bertingkah
seperti orang gila; ia membakar seluruh biji kopi yang ia punya (ia seorang
petani kopi) dan melarang Ben untuk menyentuh lagi apapun yang berhubungan
dengan kopi. Pada kehidupan Ben yang sudah dewasa, saat konflik sedang memuncak
dan Ben memutuskan pensiun meramu kopi, ia bertekad untuk pulang ke kampungnya.
Sebelum itu, ia menyempatkan diri datang ke sebuah pemakaman Kristen dan
membersihkan makam dengan nisan bertuliskan (kalau tidak salah) nama laki-laki.
Nah. Makam siapakah itu? Kalau itu Ibunya, bukankah sang ibu pernah berpamitan
pergi mengaji? Kalau nama, yaaa banyak juga wanita yang memiliki nama belakang
ayahnya. Bisa jadi, kan? Tapi kalau nisan yang ada salibnya? Jelas bukan milik
orang yang pergi mengaji sebelum meninggal.
Kejanggalan lain adalah kenampakan Ayah Ben. Saat Ben masih
kecil, rupa Ayahnya adalah seorang pria paruh baya berambut agak panjang dan
tidak bisa disebut hitam. Dan saat Ben Dewasa pulang, kenampakan Ayahnya tak
berbeda jauh. Padahal jaraknya sudah belasan tahun lalu. Hehe. Make up artistnya kurang bisa
menyiasati, nih :D
Well, menurut saya secara keseluruhan film ini tidak begitu
menyimpang dari inti cerita aslinya. But it’s seems totally different from its
book. Bagaimana si sutradara melebarkan sayap dari suatu cerita pendek ini
patut diacungi jempol. Satu jempol cukup, hehe. Dan untungnya para pemeran
cerita yang terpilih bukan pemeran ‘kacangan’. Saya sangat appreciated ketika
ternyata yang memerankan Pak Seno adalah Slamet Rahardjo, dan Istrinya
diperankan oleh Jajang C. Noer. Wow! Hanya saja Pak Senonya tidak berbahasa dan
berlogat Jawa seperti pada cerpen. Bahkan di sini dibilang bahwa Istrinya
adalah wanita keturunan Gayo.
Bagi yang juga sudah membaca bukunya sebelumnya, film ini menyuguhkan sesuatu yang fresh sama sekali. Seperti disajikan secangkir kopi yang masih mengepul di hadapan kita stelah seharian penat bekerja.
Bagi yang juga sudah membaca bukunya sebelumnya, film ini menyuguhkan sesuatu yang fresh sama sekali. Seperti disajikan secangkir kopi yang masih mengepul di hadapan kita stelah seharian penat bekerja.
Jadi nilai buat film ini dari saya, 7/10. Not bad lah !
Menurut saya ibunya bens dibunuh oleh orang2 yang mau lahannya ditanam sawit. Terus yang didatangi bens adalah makamnya papanya jodi
BalasHapushm, analisa yang bagus.
Hapusiya, sih. ada adegan waktu papanya Ben bilang, "Kami tidak ingin sawit!".
terimakasih sudah mampir :)