4/17/2015

Film Review: Filosofi Kopi the Movie



Pertama dengar bahwa cerita ini akan diangkat ke layar lebar, tentu saya senang sekali, karena saya sudah memiliki bukunya sejak lama. Dan pada 14 April 2015 lalu saya berkesempatan untuk menyaksikan filmnya bersama beberapa kawan, meski tanpa rencana.
Pada awalnya saya kira, film ini akan seperti #RectoVerso; satu film yang memuat banyak cerita seperti pada buku aslinya. Tapi ternyata #FilosofiKopi ini hanya mengangkat satu dari kumpulan cerita karya Dee dalam bukunya yang berjudul serupa.
Kecewa, sih. Sejak jauh hari saya sudah membayangkan, akan seperti apa cerita-cerita dalam buku itu disajikan. Saya sangat menyukai cerita yang berjudul “Sikat Gigi” dan “Mencari Herman”. Bagaimana jadinya jika cerita-cerita itu dituangkan dalam bentuk visualisasinya? Tapi memang buku asli #FilosofiKopi ini tak hanya berisi cerpen, ada juga beberapa prosa puisi yang (mungkin) akan sulit jika harus juga dibuat cerita film.
Saya sudah membaca cerita #FilosofiKopi ini dua kali. Dan selama dua kali itu pula yang terbayang dalam kepala saya selalu sama. Pokoknya yang menjadi tokoh Ben adalah Lukman Sardi, dan yang menjadi Jody adalah Mathias Muchus. Mengapa Lukman? Mungkin karena beliau lumayan sering terlibat membintangi film maupun video clip yang diangkat dari tulisan-tulisan Dee. Hahaha. Ternyata yang beruntung mendapatkan peran utama itu adalah Chicco Jerikho dan Rio Dewanto (Kenapa saya gak ngebayangin Rio Dewanto pas baca cerpen? Sekseeh abis dia :*).
Di awal-awal cerita, alis saya tak berhenti bertaut. Merutuki diri dan bergelut dengan pikiran sendiri; “Loh kok begini? Ini kok ngarang? Ih, yang ini siapa pula?” dan pertanyaan keheranan lainnya.
Mulai dari kafe yang langsung bernama “Filosofi Kopi”, padahal di bukunya diceritakan bahwa pada mulanya namanya adalah “Ben & Jody”. Menurut saya akan lebih seru jika pada bagian ini dibuat sama dengan buku. Juga cara Ben yang pada cerita aslinya banyak berinteraksi dengan para pelanggannya secara langsung, tidak menonjol sama sekali di film ini.
Ketika suatu novel diangkat ke layar lebar, kebanyakan pembaca berharap mereka tidak akan menjumpai terlalu banyak improvisasi,  seperti alur apalagi ending cerita yang diubah. Namun saya rasa akan maklum jika yang diangkat adalah sebuah cerpen. Durasi film yang relatif lama tidak akan efektif untuk menjabarkan naskah cerita yang pendek. Oleh sebab itu ditambahkan “bumbu-bumbu” lain untuk membuat film menjadi lebih berisi.
Ada banyak pemeran yang “menjadi ada” dalam cerita di film. Ada tokoh El (Julie Estelle) misalnya. Ia seorang food blogger yang melakukan banyak riset unuk menyelesaikan bukunya tentag kopi. Justru ialah yang memperkenalkan Kopi Tiwus pada Ben dan Jody. Ada pula flashback masa kecil Ben. Dan yang mengagetkan saya, ada seorang Baim Wong yang berperan menjadi seorang eksmud yang berkeliling dunia demi mencari kopi terbaik. Kenapa kaget? Karena “Baim Wong-dan-Kopi” yang melekat dalam kepala saya adalah “Baim Wong dan Luwak White Coffee” seperti di iklan. Hahaha
Pada bukunya, karakter Ben pada Filosofi Kopi sangatlah idealis, sementara Jody realistis. Chicco bisa menjiwai perannya dengan cukup baik sebagai coffee maker idealis yang di sisi lain juga slengean. Pada suatu dialog, ia mengingatkan saya pada seorang teman bernama Rian Oktrivianto Ismail, tepatnya ketika dia mengumpat, “Uwanjjjii*g”. Haha mirip banget :D.
Sikap realistis Jody terhadap kefenya menjadi kian masuk akal karena ternyata (di cerita film ini) mendiang ayahnya terlilit utang yang tak sedikit jumlahnya. Jelas ia lebih memikirkan bagaimana caranya mendapat untung secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya.
Ada beberapa scene yang mengganggu saya. Ada cerita di mana Ben Kecil sedang berada di rumahnya di kampung, lalu sang Ibu berpamitan pergi mengaji. Tak lama, Ibunya tewas (entah kenapa, saya tak paham. Mungkin terbunuh. Oleh siapa?). Lalu sang Ayah yang berjasa menurunkan keahlian membuat kopi terenak itu lama kelamaan bertingkah seperti orang gila; ia membakar seluruh biji kopi yang ia punya (ia seorang petani kopi) dan melarang Ben untuk menyentuh lagi apapun yang berhubungan dengan kopi. Pada kehidupan Ben yang sudah dewasa, saat konflik sedang memuncak dan Ben memutuskan pensiun meramu kopi, ia bertekad untuk pulang ke kampungnya. Sebelum itu, ia menyempatkan diri datang ke sebuah pemakaman Kristen dan membersihkan makam dengan nisan bertuliskan (kalau tidak salah) nama laki-laki. Nah. Makam siapakah itu? Kalau itu Ibunya, bukankah sang ibu pernah berpamitan pergi mengaji? Kalau nama, yaaa banyak juga wanita yang memiliki nama belakang ayahnya. Bisa jadi, kan? Tapi kalau nisan yang ada salibnya? Jelas bukan milik orang yang pergi mengaji sebelum meninggal.
Kejanggalan lain adalah kenampakan Ayah Ben. Saat Ben masih kecil, rupa Ayahnya adalah seorang pria paruh baya berambut agak panjang dan tidak bisa disebut hitam. Dan saat Ben Dewasa pulang, kenampakan Ayahnya tak berbeda jauh. Padahal jaraknya sudah belasan tahun lalu. Hehe. Make up artistnya kurang bisa menyiasati, nih :D
Well, menurut saya secara keseluruhan film ini tidak begitu menyimpang dari inti cerita aslinya. But it’s seems totally different from its book. Bagaimana si sutradara melebarkan sayap dari suatu cerita pendek ini patut diacungi jempol. Satu jempol cukup, hehe. Dan untungnya para pemeran cerita yang terpilih bukan pemeran ‘kacangan’. Saya sangat appreciated ketika ternyata yang memerankan Pak Seno adalah Slamet Rahardjo, dan Istrinya diperankan oleh Jajang C. Noer. Wow! Hanya saja Pak Senonya tidak berbahasa dan berlogat Jawa seperti pada cerpen. Bahkan di sini dibilang bahwa Istrinya adalah wanita keturunan Gayo.
Bagi yang juga sudah membaca bukunya sebelumnya, film ini menyuguhkan sesuatu yang fresh sama sekali. Seperti disajikan secangkir kopi yang masih mengepul di hadapan kita stelah seharian penat bekerja.
Jadi nilai buat film ini dari saya, 7/10. Not bad lah !

2 komentar:

  1. Menurut saya ibunya bens dibunuh oleh orang2 yang mau lahannya ditanam sawit. Terus yang didatangi bens adalah makamnya papanya jodi

    BalasHapus
    Balasan
    1. hm, analisa yang bagus.
      iya, sih. ada adegan waktu papanya Ben bilang, "Kami tidak ingin sawit!".
      terimakasih sudah mampir :)

      Hapus