9/27/2015

Petrichor

p e t r i c h o r

Waktu kecil dulu aku sering merasa terganggu dengan baunya yang aneh. Aku menyambutnya dengan muram jika bau itu datang. Sebentar lagi pastilah hujan; hal yang juga tidak kusuka karena hampir semua hal yang ingin kulakukan di luar rumah menjadi terganggu karenanya.
Petrichor. Pada pelajaran biologi, untuk pertama kalinya aku mendengar nama itu keluar dari mulut guruku. Kata Pak Dodi, namanya petrichor. tidak ada yang istimewa dengan bau itu, seperti yang selalu diungkapkan para ABG jaman sekarang; bau yang bisa menghantarkan pada kenangan di masa lalu. Blah!
Maaf saja, aku tidak pernah main hujan-hujanan dengan orang-orang di masa laluku. Jika pun pernah, pasti bukan disengaja. Dan bagiku, hal itu sama sekali tidak menyenangkan.
Panas terik khas musim kemarau menyengat tanpa ampun. Rasanya tabir surya tidak pernah benar-benar mampu menjadi tameng yang cukup baik untuk kulit, semahal apapun harganya. Pria itu duduk tepat di sebelahku. Saat sekilas memangdangnya, aku merasa wajah itu tidak asing.
Dengan susah payah mengingat, kuputuskan menyerah. Ya sudahlah. Tidak penting juga diingat.
Bibirku makin merengut setelah lima belas menit menunggu, bus tidak kunjung menepi di halte yang kumal ini. Keringat sebesar biji jagung menetes dari dahi. Aku benci bermandi peluh. Aku benci panas, aku benci pedas. Keduanya membuatku berkeringat. Bahkan untuk urusan olahraga, aku hanya mau berenang agar tidak perlu mengeluarkan keringat. Jikapun ada, pasti tersaru oleh kuyup air dari kolam. Aku lebih rela kulitku menghitam teroksidasi pembersih kolam renang, ketimbang terbakar sinar matahari.
Untung selalu ada buku yang cukup ampuh membunuh waktu. Masih bagus aku mendapat kursi untuk menunggu. Sementara dua orang lain harus cukup puas berdiri, karena empat bangku yang tersedia sudah penuh. Di tempat dan cuaca seperti ini, cukup naïf untuk kami berbagi duduk dengan yang lain. Siapa cepat, dia dapat. Angkat pantat, hilang tempat!
Aku tidak merasakan pertanda, namun tiba-tiba angin melemparkan tetes-tetes air yang makin lama makin konstan rintiknya. Dua pria yang berdiri merapat mundur ke kursi, tapi tak cukup rapat untuk membuat hujan tak menciprati kami yang duduk. Kututup buku dan lekas kumasukkan ke dalam ransel biruku.
Seluruh penghuni halte yang tak banyak ini mulai meracau tidak jelas, mungkin tersamar gemercik suara hujan. Entah mengapa mataku menepi ke arah pria-tak-asing di sebelahku itu. Aku cukup yakin dia tak sadar kalau sedang kuperhatikan. Baguslah.
Khidmat ia menikmati suasana. Hidungnya sibuk bekerja meraup udara berbau aneh itu untuk memuaskan paru-parunya sampai penuh sesak. Barangkali sebagian dibawa olfaktori menuju impuls saraf menuju otaknya untuk diterjemahkan menjadi entah apa.
Diam-diam aku mengucap syukur untuk hujan hari ini. Aneh, bukannya aku tak suka?
Sebenarnya aku tak pernah benci pada hujan. Hanya saja jika sedang di luar rumah, mood-ku bisa langsung rusak, terlebih jika turunnya mendadak. Bagiku, hujan tak menjadi masalah selama aku di dalam rumah. Atau saat aku masih ada di gedung sekolah. Aman dan teduh.
Kuikuti ke mana ekor mata pria itu tertuju. Tapi aku tak mendapati apapun. Aku tak tahu apa yang sedang ia perhatikan. Atau memang matanya sedang tak sibuk memerhatikan apapun. Senyum mengembang pada tipis bibirnya.
Mataku kembali menekuri beberapa kerikil di kejauhan. Beberapa orang datang kemari sedikit berlarian, mencari tempat peneduhan. Bau petrichor masih menggelitik penciumanku. Seingatku, biasanya baunya tak pernah awet seperti ini. Begitu seluruh permukaan tanah sudah basah, baunya segera hilang. Menguap terbawa oleh  kenangan orang-orang yang menghirupnya. Terkecuali aku, mungkin.
Saat hujan mulai mereda, bus yang kutunggu datang juga. Alhamdulillah, batinku lega.  
Yang melenggang meninggalkan halte ternyata hanya aku dan si pria-tak-asing itu. Kami menaiki busyang sama. Bus cukup padat. Ada dua kursi kosong di seat tiga sebelah kanan. Pria-tak-asing itu menyilakanku duduk terlebih dahulu. Tapi kupersilakan balik karena aku tak mau duduk terimpit di antara dua orang laki-laki. Saat itulah untuk pertama kalinya mata kami bersitatap.
Dia membuka percakapan terlebih dahulu. Suaranya berat namun sengau. Sepertinya aku akan lebih sulit melupakan suaranya dibandingkan wajahnya.
“Ke Bogor juga?”
“Iya,” kataku sembari merogoh beberapa lembar rupiah di saku jaket. Bapak Kondektur sudah mendekat.
“Rasa-rasanya pernah beberapa kali ngeliat kamu di…. #####, deh.” Ia bertanya sembari melirik jam tangannya.
Berarti aku tidak salah. Dia memang benar tidak asing, ternyata. “Iya, memang aku kerja di sana.”
Ia tersenyum simpul. “Pantesan…”
Ya Tuhan, suaranya. Hahaha, apa sih aku ini?!
Dia mengulurkan tangan untuk dijabat. Tapi Pak Kondektur tiba lebih cepat. Kuangsurkan dua lembar uang sepuluh ribuan. Lalu menerima kembalian. Begitu juga pria-tak-asing di sampingku. Tangannya yang tadi terjulur sibuk mencari uang kecil di dompetnya.
Aku bergantian mengulurkan tangan setelah Pak Kondektur berlalu. Dia menyambut dengan senyum mengembang di wajahnya.
“Lala,” kataku.
“Gian.”
Lalu aku terlarut ke dalam Tintenherz yang sedang kubaca.
“Baranang Siang! Baranang Siang!” teriak Pak Kondektur. Sebagian besar penumpang turun di sini.
Gian berada persis di belakangku. Sejuknya Air Conditioner dalam bus tiba-tiba kurindu. Tanah kering dan udara Bogor  menguarkan panas dari matahari yang berpijar. Tiga puluh delapan derajat Celcius. Luar biasa!
“Mau terus ke mana, La?” Tanya Gian. Rupanya ia masih di belakangku.
“Udah ini dijemput temen. Ke sini cuma mau main doing, jajan-jajan gitu. Hehe..”
“Kalo gitu, aku pamit duluan, ya. Hati-hati nunggunya,” angguknya sopan.
Kulihat punggungnya mulai menjauh. Lalu tiba-tiba air sebesar biji jagung menghujani kepalalu. Juga tanah yang kerontang. Juga terpal-terpal warung dan pedagang beroda. Mencipta sura tik..tik..tik.. yang syahdu. Kulihat Gian berbalik. Berlari menuju aku yang memantung. Udara mulai lembap. Bau aneh itu berjejal memenuhi paru-paruku. Aku masih belum kuyup sepenuhnya.
Kuedarkan pandangan, mencari tempat yang memungkinkanku untuk mendapatkan perlindungan sementara. Hingga kusadari Gian sudah berada di sebelahku, menarik lenganku untuk mengikutinya berlari dengan lamban.
“Ngapain bengong tadi, bukannya nyari tempat neduh!” ujarnya sambil mengibas-ngibaskan tangan pada flanelnya yang belum begitu basah.
Kami berada di emperan sebuah toko oleh-oleh dekat terminal. Bersama belasan peneduh lain. Pasti penampilanku sudah menggelikan. Tapi tetap sedikit lebih mending dibandingkan tikus kecebur got.
“Bukumu basah?” tanyanya. Lalu menyodorkan flanelnya padaku. “Nih keringin rambutmu, nanti bisa-bisa kena flu.”
Aku memeriksa tasku. Syukurlah tidak basah. Hanya sedikit lembap terasa. Dengan malu-malu kuterima flanelnya. Kusampirkan begitu saja di kepala. Dia menggeleng.
Pandangan mataku terarah pada awan yang putih di kejauhan. Yang baru menelurkan bulir-bulir berkahnya untuk Bumi. “Hari ini aku mencium bau itu dua kali.” Aku mengucapkannya setengah berbisik, seolah aku bicara pada diriku sendiri.
“Bau apa?”
Aku menengok ke arahnya. Dia mendengarku rupanya.”Petrichor.”
“Aku juga surprised bisa mencium baunya di musim pertengahan kemarau kayak gini. Tapi kayaknya petrichor ini bukan pertanda datangnya musim hujan, deh. September atau Oktober masih lama, kan?” tanyanya.
Pertanyaan retoris. Dia sendiri juga tahu bahwa musim penghujan masih lama datang.
“Temanmu udah di mana?” ia kembali bertanya setelah tak mendapat jawaban sebelumnya.
“Belum ada jawaban.” Aku jadi ingat, ini sudah hampir empat puluh menit berlalu dari jam perjanjiannya di Baranang Siang. Aku menelepon, tapi tak juga ada jawaban.
“Kamu mau ke mana?” tanyaku pada Gian yang sudah sibuk dengan COC.
Ia menutup handphonenya. “Rumahku memang di Bogor. Hehe..”
“Oh..” aku mulai bosan terjebak dalam suasana begini. Hujan datang saat aku tak sedang dalam rumah. Terlebih, aku berada di tempat yang tidak kutahui seluk beluknya.
 Tampaknya Gian membaca gelagatku yang mulai bosan. “Kita makan asinan aja, yuk. Gak jauh kok dari sini. Tuh, di deket jembatan penyebrangan itu,” tunjuknya.
Aku setuju tanpa perlu berpikir lagi.
“Katanya kalo hujan datang tiba-tiba padahal hari sedang terik, itu tandanya ada orang baik yang meninggal...” Ia membuka percakapan setelah dua mangkuk asinan buah tersaji di meja kami.
Entah mengapa dia membuka obrolan dengan topic seperti itu. Mungkin kehilangan ide untuk mengobrol. Aku sendiri sudah pernah mendengar mitos itu sejak kecil. Mitos yang tak pernah benar-benar kuamini.
“Terus, kalo pelangi itu,” aku menunjuk busur berwarna di langit dengan daguku, “ada pertanda apa?” tanyaku.
Dia menoleh ke jendela luar. Menyaksikan pelangi yang kali ini menepati janjinya untuk muncul setelah hujan reda. Dia tersenyum geli sebelum membuka suara, “mau penjelasan ilmiah atau mitosnya, nih?”
“Melanjutkan teori hujan siang-siang itu aja,” kataku memaksakan tersenyum.
“Itu bukan teoriku, lho, ya. Haha.”
“Iya, iya. Jadi apa?”
Mungkin dia kira aku bercanda menanyainya tentang pelangi itu. Dia berdehem sebentar, lalu sedikit cekikikan. Menggeleng.
“Apa, dong?” kataku sok penasaran.
 “Katanya ada bidadari turun ke bumi. Mau numpang mandi. Hahaha..”
“Wah, walaupun kita tumbuh di tempat berbeda, ternyata mitos yang beredar sama, ya. Padahal jaman dulu belum ada internet. Tapi informasi macam itu bisa tersampaikan secara merata. Hahaha..”
“Iya, bener juga. Hahaha..”
“Tapi yang jelas aku gak percaya sama mitos itu. Kalo jaman dulu, mungkin aja, ya. Tapi ini 2015, man! Memangnya di Kahyangan udah kehabisan air, ya. Sampai-sampai bidadari rela numpang mandi di kali-kali yang udah tercemar parah di muka bumi. Hehehe..”
“Ya ampuuun  si Lala, dipikirin segala. Haha..”
Hampir setengah jam kami di sini, dan temanku masih belum mengabari. “Makasih ya, Gian, udah nemenin. Kamu kalo mau pulang, duluan aja. Mamamu kangen tuh, pengen ketemu. Hahaha..”
“Nanti, deh. Nunggu temenmu dulu. Kasian nanti diculik preman terminal. Hehe.”
Garing!
Sebuah panggilan membuat ponselku berdering. Muncul di layar sederet angka. Nomor tak dikenal.
“Holo?”
Suara di seberang sambungan terdengar panik. Susah payah dia menuntaskan kalimatnya, “Sisil meninggal..”
Seketika bau petrichor menjejal paksa rongga paru-paruku seribu kali lebih pekat. Lembapnya cuaca yang tadi terasa berubah menjadi panas yang menjalar pada setiap inci permukaan kulit. Sendi-sendi terasa hilang, tak mampu menyangga tulang penopang badan.
Demi Tuhan. Aku benci petrichor.

3 komentar: