p e t r i c h o r |
Waktu kecil dulu aku sering merasa terganggu dengan baunya
yang aneh. Aku menyambutnya dengan muram jika bau itu datang. Sebentar lagi
pastilah hujan; hal yang juga tidak kusuka karena hampir semua hal yang ingin
kulakukan di luar rumah menjadi terganggu karenanya.
Petrichor. Pada pelajaran biologi, untuk pertama kalinya aku
mendengar nama itu keluar dari mulut guruku. Kata Pak Dodi, namanya petrichor. tidak ada yang istimewa
dengan bau itu, seperti yang selalu diungkapkan para ABG jaman sekarang; bau
yang bisa menghantarkan pada kenangan di masa lalu. Blah!
Maaf saja, aku tidak pernah main hujan-hujanan dengan
orang-orang di masa laluku. Jika pun pernah, pasti bukan disengaja. Dan bagiku,
hal itu sama sekali tidak menyenangkan.
Panas terik khas musim kemarau menyengat tanpa ampun.
Rasanya tabir surya tidak pernah benar-benar mampu menjadi tameng yang cukup
baik untuk kulit, semahal apapun harganya. Pria itu duduk tepat di sebelahku.
Saat sekilas memangdangnya, aku merasa wajah itu tidak asing.
Dengan susah payah mengingat, kuputuskan menyerah. Ya
sudahlah. Tidak penting juga diingat.
Bibirku makin merengut setelah lima belas menit menunggu, bus
tidak kunjung menepi di halte yang kumal ini. Keringat sebesar biji jagung
menetes dari dahi. Aku benci bermandi peluh. Aku benci panas, aku benci pedas.
Keduanya membuatku berkeringat. Bahkan untuk urusan olahraga, aku hanya mau
berenang agar tidak perlu mengeluarkan keringat. Jikapun ada, pasti tersaru
oleh kuyup air dari kolam. Aku lebih rela kulitku menghitam teroksidasi
pembersih kolam renang, ketimbang terbakar sinar matahari.
Untung selalu ada buku yang cukup ampuh membunuh waktu.
Masih bagus aku mendapat kursi untuk menunggu. Sementara dua orang lain harus
cukup puas berdiri, karena empat bangku yang tersedia sudah penuh. Di tempat
dan cuaca seperti ini, cukup naïf untuk kami berbagi duduk dengan yang lain.
Siapa cepat, dia dapat. Angkat pantat, hilang tempat!
Aku tidak merasakan pertanda, namun tiba-tiba angin
melemparkan tetes-tetes air yang makin lama makin konstan rintiknya. Dua pria
yang berdiri merapat mundur ke kursi, tapi tak cukup rapat untuk membuat hujan
tak menciprati kami yang duduk. Kututup buku dan lekas kumasukkan ke dalam
ransel biruku.
Seluruh penghuni halte yang tak banyak ini mulai meracau
tidak jelas, mungkin tersamar gemercik suara hujan. Entah mengapa mataku menepi
ke arah pria-tak-asing di sebelahku itu. Aku cukup yakin dia tak sadar kalau
sedang kuperhatikan. Baguslah.
Khidmat ia menikmati suasana. Hidungnya sibuk bekerja meraup
udara berbau aneh itu untuk memuaskan paru-parunya sampai penuh sesak.
Barangkali sebagian dibawa olfaktori menuju impuls saraf menuju otaknya untuk
diterjemahkan menjadi entah apa.
Diam-diam aku mengucap syukur untuk hujan hari ini. Aneh,
bukannya aku tak suka?
Sebenarnya aku tak pernah benci pada hujan. Hanya saja jika
sedang di luar rumah, mood-ku bisa langsung rusak, terlebih jika turunnya
mendadak. Bagiku, hujan tak menjadi masalah selama aku di dalam rumah. Atau
saat aku masih ada di gedung sekolah. Aman dan teduh.
Kuikuti ke mana ekor mata pria itu tertuju. Tapi aku tak
mendapati apapun. Aku tak tahu apa yang sedang ia perhatikan. Atau memang
matanya sedang tak sibuk memerhatikan apapun. Senyum mengembang pada tipis
bibirnya.
Mataku kembali menekuri beberapa kerikil di kejauhan.
Beberapa orang datang kemari sedikit berlarian, mencari tempat peneduhan. Bau
petrichor masih menggelitik penciumanku. Seingatku, biasanya baunya tak pernah
awet seperti ini. Begitu seluruh permukaan tanah sudah basah, baunya segera
hilang. Menguap terbawa oleh kenangan
orang-orang yang menghirupnya. Terkecuali aku, mungkin.
Saat hujan mulai mereda, bus yang kutunggu datang juga. Alhamdulillah, batinku lega.
Yang melenggang meninggalkan halte ternyata hanya aku dan si
pria-tak-asing itu. Kami menaiki busyang sama. Bus cukup padat. Ada dua kursi
kosong di seat tiga sebelah kanan. Pria-tak-asing
itu menyilakanku duduk terlebih dahulu. Tapi kupersilakan balik karena aku tak
mau duduk terimpit di antara dua orang laki-laki. Saat itulah untuk pertama
kalinya mata kami bersitatap.
Dia membuka percakapan terlebih dahulu. Suaranya berat namun
sengau. Sepertinya aku akan lebih sulit melupakan suaranya dibandingkan
wajahnya.
“Ke Bogor juga?”
“Iya,” kataku sembari merogoh beberapa lembar rupiah di saku jaket. Bapak Kondektur sudah mendekat.
“Iya,” kataku sembari merogoh beberapa lembar rupiah di saku jaket. Bapak Kondektur sudah mendekat.
“Rasa-rasanya pernah beberapa kali ngeliat kamu di…. #####,
deh.” Ia bertanya sembari melirik jam tangannya.
Berarti aku tidak salah. Dia memang benar tidak asing,
ternyata. “Iya, memang aku kerja di sana.”
Ia tersenyum simpul. “Pantesan…”
Ya Tuhan, suaranya. Hahaha, apa sih aku ini?!
Dia mengulurkan tangan untuk dijabat. Tapi Pak Kondektur
tiba lebih cepat. Kuangsurkan dua lembar uang sepuluh ribuan. Lalu menerima
kembalian. Begitu juga pria-tak-asing di sampingku. Tangannya yang tadi
terjulur sibuk mencari uang kecil di dompetnya.
Aku bergantian mengulurkan tangan setelah Pak Kondektur
berlalu. Dia menyambut dengan senyum mengembang di wajahnya.
“Lala,” kataku.
“Gian.”
Lalu aku terlarut ke dalam Tintenherz yang sedang kubaca.
“Baranang Siang! Baranang Siang!” teriak Pak Kondektur. Sebagian
besar penumpang turun di sini.
Gian berada persis di belakangku. Sejuknya Air Conditioner dalam bus tiba-tiba
kurindu. Tanah kering dan udara Bogor menguarkan panas dari matahari yang berpijar. Tiga
puluh delapan derajat Celcius. Luar biasa!
“Mau terus ke mana, La?” Tanya Gian. Rupanya ia masih di
belakangku.
“Udah ini dijemput temen. Ke sini cuma mau main doing,
jajan-jajan gitu. Hehe..”
“Kalo gitu, aku pamit duluan, ya. Hati-hati nunggunya,”
angguknya sopan.
Kulihat punggungnya mulai menjauh. Lalu tiba-tiba air
sebesar biji jagung menghujani kepalalu. Juga tanah yang kerontang. Juga terpal-terpal
warung dan pedagang beroda. Mencipta sura tik..tik..tik..
yang syahdu. Kulihat Gian berbalik. Berlari menuju aku yang memantung. Udara
mulai lembap. Bau aneh itu berjejal memenuhi paru-paruku. Aku masih belum kuyup
sepenuhnya.
Kuedarkan pandangan, mencari tempat yang memungkinkanku
untuk mendapatkan perlindungan sementara. Hingga kusadari Gian sudah berada di
sebelahku, menarik lenganku untuk mengikutinya berlari dengan lamban.
“Ngapain bengong tadi, bukannya nyari tempat neduh!” ujarnya
sambil mengibas-ngibaskan tangan pada flanelnya yang belum begitu basah.
Kami berada di emperan sebuah toko oleh-oleh dekat terminal.
Bersama belasan peneduh lain. Pasti penampilanku sudah menggelikan. Tapi tetap sedikit lebih mending dibandingkan tikus
kecebur got.
“Bukumu basah?” tanyanya. Lalu menyodorkan flanelnya padaku.
“Nih keringin rambutmu, nanti bisa-bisa kena flu.”
Aku memeriksa tasku. Syukurlah tidak basah. Hanya sedikit
lembap terasa. Dengan malu-malu kuterima flanelnya. Kusampirkan begitu saja di
kepala. Dia menggeleng.
Pandangan mataku terarah pada awan yang putih di kejauhan. Yang
baru menelurkan bulir-bulir berkahnya untuk Bumi. “Hari ini aku mencium bau itu
dua kali.” Aku mengucapkannya setengah berbisik, seolah aku bicara pada diriku sendiri.
“Bau apa?”
Aku menengok ke arahnya. Dia mendengarku rupanya.”Petrichor.”
“Aku juga surprised bisa
mencium baunya di musim pertengahan kemarau kayak gini. Tapi kayaknya petrichor
ini bukan pertanda datangnya musim hujan, deh. September atau Oktober masih
lama, kan?” tanyanya.
Pertanyaan retoris. Dia sendiri juga tahu bahwa musim penghujan
masih lama datang.
“Temanmu udah di mana?” ia kembali bertanya setelah tak
mendapat jawaban sebelumnya.
“Belum ada jawaban.” Aku jadi ingat, ini sudah hampir empat
puluh menit berlalu dari jam perjanjiannya di Baranang Siang. Aku menelepon,
tapi tak juga ada jawaban.
“Kamu mau ke mana?” tanyaku pada Gian yang sudah sibuk
dengan COC.
Ia menutup handphonenya.
“Rumahku memang di Bogor. Hehe..”
“Oh..” aku mulai bosan terjebak dalam suasana begini. Hujan datang
saat aku tak sedang dalam rumah. Terlebih, aku berada di tempat yang tidak
kutahui seluk beluknya.
Tampaknya Gian
membaca gelagatku yang mulai bosan. “Kita makan asinan aja, yuk. Gak jauh kok
dari sini. Tuh, di deket jembatan penyebrangan itu,” tunjuknya.
Aku setuju tanpa perlu berpikir lagi.
“Katanya kalo hujan datang tiba-tiba padahal hari sedang
terik, itu tandanya ada orang baik yang meninggal...” Ia membuka percakapan
setelah dua mangkuk asinan buah tersaji di meja kami.
Entah mengapa dia membuka obrolan dengan topic seperti itu. Mungkin
kehilangan ide untuk mengobrol. Aku sendiri sudah pernah mendengar mitos itu
sejak kecil. Mitos yang tak pernah benar-benar kuamini.
“Terus, kalo pelangi itu,” aku menunjuk busur berwarna di
langit dengan daguku, “ada pertanda apa?” tanyaku.
Dia menoleh ke jendela luar. Menyaksikan pelangi yang kali
ini menepati janjinya untuk muncul setelah hujan reda. Dia tersenyum geli
sebelum membuka suara, “mau penjelasan ilmiah atau mitosnya, nih?”
“Melanjutkan teori hujan siang-siang itu aja,” kataku
memaksakan tersenyum.
“Itu bukan teoriku, lho, ya. Haha.”
“Iya, iya. Jadi apa?”
“Iya, iya. Jadi apa?”
Mungkin dia kira aku bercanda menanyainya tentang pelangi
itu. Dia berdehem sebentar, lalu sedikit cekikikan. Menggeleng.
“Apa, dong?” kataku sok penasaran.
“Katanya ada bidadari
turun ke bumi. Mau numpang mandi. Hahaha..”
“Wah, walaupun kita tumbuh di tempat berbeda, ternyata mitos
yang beredar sama, ya. Padahal jaman dulu belum ada internet. Tapi informasi macam
itu bisa tersampaikan secara merata. Hahaha..”
“Iya, bener juga. Hahaha..”
“Tapi yang jelas aku gak percaya sama mitos itu. Kalo jaman
dulu, mungkin aja, ya. Tapi ini 2015, man!
Memangnya di Kahyangan udah kehabisan air, ya. Sampai-sampai bidadari rela
numpang mandi di kali-kali yang udah tercemar parah di muka bumi. Hehehe..”
“Ya ampuuun si Lala,
dipikirin segala. Haha..”
Hampir setengah jam kami di sini, dan temanku masih belum
mengabari. “Makasih ya, Gian, udah nemenin. Kamu kalo mau pulang, duluan aja. Mamamu
kangen tuh, pengen ketemu. Hahaha..”
“Nanti, deh. Nunggu temenmu dulu. Kasian nanti diculik
preman terminal. Hehe.”
Garing!
Sebuah panggilan membuat ponselku berdering. Muncul di layar
sederet angka. Nomor tak dikenal.
“Holo?”
Suara di seberang sambungan terdengar panik. Susah payah dia
menuntaskan kalimatnya, “Sisil meninggal..”
Seketika bau petrichor menjejal paksa rongga paru-paruku
seribu kali lebih pekat. Lembapnya cuaca yang tadi terasa berubah menjadi panas
yang menjalar pada setiap inci permukaan kulit. Sendi-sendi terasa hilang, tak
mampu menyangga tulang penopang badan.
Demi Tuhan. Aku benci petrichor.
Waahh...kereeenn... bagus bangeett Gaann menghiburr :D
BalasHapusTerimakasih yaa :D
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus