5/09/2015

Syauqi Alief Attar



Ada yang kenal dengan Syauqi Alief Attar?
Gue udah pernah search nama itu di Om Gugel. Gak nemu informasi yang memuaskan, ah! Pentingkah dia? Hmm, sebenarnya gue cuma penasaran aja, sih. Atau jangan-jangan, nama itu gak pernah ada. Hanya nama samaran, atau nama pena.
Kenapa gue nanya si Syauqi itu?
Seperti biasa, kita bertele-tele dulu lah sebentar:
Waktu itu sekitar kelas empat atau lima SD. Karena hanya memiliki edikit sekali buku bacaan di rumah, maka gue akan membaca apa saja selama menurut gue isinya menarik. Mulai dari cerpen di koran Minggu, sampai buku pelajaran SMA milik salah satu kakak sepupu gue.
Khusus untuk buku pelajaran, gue paling senang sama Bahasa Indonesia karena biasanya memuat beberapa cerpen dan dialog singkat. Ada juga puisi, yang emang gue seneng banget sampai-sampai gue ngumpulin karangan puisi gue di salah satu buku khusus. Walaupun dalam membuat puisi gue Cuma bisa bikin yang standar tanpa banyak makna kias, buat gue itu semua adalah hiburan yang menyenangkan.
Di antara buku-buku kakak gue yang sering gue kepoin itu, ada juga majalah bulanan atau mungkin tri wulanan sekolahnya. Isinya macem-macem. Ada profil guru dan atau murid pilihan, kiriman puisi atau cerpen, dan dari majalah itu pula untuk pertama kalinya gue tau istilah “anekdot”, hehe...
Gue seneng berlama-lama di rubrik puisi. Ada puisi kiriman murid, ada pula yang kutipan dari penyair tanah air. Kadang suka berkomentar sendiri dengan bacaan yang ada di situ. Nah, ada sebuah puisi yang entah mengapa sampai sekarang bisa gue hapal di luar kepala. Judulnya “Bahasa Gelombang”. Nama penulisnya, ya itu, si Syauqi Alief Attar itu.
Meski gue belum terlalu paham , tapi menurut gue isinya memikat. Gue suka sama diksinya. Gaya bahasanya juga. Begini puisinya. Maaf kalo penggalan kalimatnya salah, soalnya gue cuma inget isinya doang. Hehe
Sudah lelah
Ke hutan-hutan seorang penyair
Merindu pohon-pohon belukar
Dikejar diam ke dalam batu-batu
Embun berangkat ke langit-langit dadanya
Dan pada rumput, matahari mabuk
Mengguncang darah jam yang tak kunjung pejam
Dalam simpuh tembang luka mengekal
Dan di dasar sujud;
Gelombang pulang

Ya Allah, Tuhan. Maha Suci Engkau yang menganugerahkan daya pikir dan kreativitas pada kami; manusia. Selain “Aku” milik Chairil Anwar, maka Bahasa Gelombang bisa jadi adalah satu lagi puisi yang bisa gue hapal di luar nalar.
 Istimewa. Seolah saya terbius pada kata-katanya; Merindu pohon-pohon belukar || Mengguncang darah jam yang tak kunjung pejam... dan kalimat lain sampai tamat.
Jika ada yang tahu siapa dia, kasih info ke gue ya. Gue penasaran. Mungkin jaraknya sudah sepuluh tahun sejak pertama kali gue membacanya. Tapi buat gue, puisi itu selalu terdengar segar. Meski mungkin tak sesegar makna yang dikandungnya.
Jadi semakin pengen gue masuk sastra, namun semakin nampak pula bahwa keinginan itu sudah seperti oasis bagi gue yang terdampar di Gurun Entah-berantah ini :’)


2 komentar:

  1. Saya kenal orangnya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. halo, Mbak. sebelumnya terima kasih sudah mampir ;)
      oh, ya? apakah ada link yang bisa saya kunjungi? saya pernah iseng2 mencari dan menemukan https://iamagnostic.wordpress.com/ . apakah yang itu?
      thanks ^^

      Hapus